Seide.id – Fanatisme boleh, asal tidak kebablasan. Apa pun hasilnya, kita hormati itu, dan kita tetap bersaudara sebagai anak bangsa.”
Pilpres 2024 masih setahun lagi, tapi genderang perang itu sudah ditabuh. Suasana makin gaduh, gegap gempita, panas, dan kian nggegirisi.
Saya anggap nggegirisi, karena situasi di medsos itu ibarat perang suporter. Seperti itukah kefanatikan mereka terhadap para jagoannya?!
Sesungguhnya, fanatik pada capres yang dijagoan itu tidak dilarang dan sah. Asal, kita tidak kebablasan untuk saling menyerang, menghujat, menyakiti, atau menebar fitnah. Alangkah bijak, jika persaingan itu disikapi dengan jujur dan pikiran jernih agar demokrasi bertumbuh makin dewasa.
Masih terpampang dalam ingatan saya, ketika Pilpres 2014 yang lalu. Saya melihat perselisihan dalam satu keluarga, antara seorang Ayah dengan anak lelakinya yang beda pilihan. Mereka bersitegang, dan ribut. Sehingga didamaikan oleh tetangga. Sebenarnya apa yang mereka perebutkan, dan apa yang mereka peroleh?
Memang ada sebagian orang beranggapan, bahwa kegaduhan menjelang pilpres itu merupakan hal biasa. Konon, sebagai ‘bumbu penyedap’. Padahal ekses yang berlebihan dari kefanatikan pemilih terhadap jagoannya itu sering kali membuat kita lepas kontrol, dan itu suloyo. Tidak hanya rugikan kita, tapi juga semua pihak.
Sesungguhnya, salah besar, jika kita miliki anggapan, bahwa kegaduhan sebagai bumbu demokrasi. Pilpres itu pesta demokrasi, kegembiraan rakyat untuk memilih dan menyambut presiden yang baru demi Indonesia jaya.
Faktanya, di lingkungan sekitar dan di medsos itu mudah sekali dijumpai hujatan, kebencian, hoaks, fitnah, dan perang antar pendukung yang kehilangan adab.
Sesungguhnya, ketika kegaduhan atau gesekan itu dianggap sebagai hal biasa dan ekses berdemokrasi, apakah hal itu juga terbiasa terjadi dalam keluarga sendiri?
Coba direnungkan bersama!
Kebiasaan buruk dan jelek itu tidak seharusnya dikembang-biakkan dalam keluarga. Sesungguhnya, “perilaku kita di luaran adalah cerminan dari dalam keluarga sendiri.”
Tidak perlu dipungkiri dan diingkari. Lebih baik, kita buang anggapan itu. Gesekan atau konflik sebagai proses pendewasaan berdemokrasi itu salah. Karena hilangkan adab kita sebagai anak bangsa.
Alangkah bijak, jika kita sadar diri. Tak ada guna kita memulai atau menanggapi tulisan di medsos itu. Kita kontrol diri agar tidak mudah terpancing oleh berita yang tendensius, minim dara, dan tidak valid itu. Abaikan juga kata-kata orang lain yang menghina atau menyerang salah satu konstestan. Karena, kita juga tidak mempunyai hubungan personal dengan seorang kontestan itu.
Sesungguhnya, apa pun konfliknya itu diciptakan oleh diri sendiri. Ketika kita menanggapi, komentari, atau menyerang balik pada si pembuat berita dan memberi komentar negatif pada pendukung yang lain.
Sesungguhnya, lebih baik jika kita mempromosikan sisi positif calon yang hendak diusung itu, tanpa menyerang dan menghakimi pihak lain.
Kini saatnya kita berani mendidik diri sendiri dengan berbagi hal-hal baik dan positif agar bermanfaat bagi masyarakat. Sekaligus kita memberi pencerahan dan mengedukasi masyarakat.
Selalu ingin menaikkan elekbilitas secara beradab, tanpa merusak persahabatan. Karena kita semua bersaudara sebagai anak bangsa. Demi Indonesia Jaya!
Mas Redjo / Red-Joss