Foto: Aspek
Ada teman mau buat produk minuman ringan. Ini sebenarnya minuman orang kampung. Dari Cincau saja. Sekelas minuman herbal. Kata nenek kita, itu obat panas dalam. Dia ajukan izin ke Kementerian perindustrian. Disodori lengkapi prasyarat. Standar lab. Rekomendasi dari menteri pertanian. Maklum bahan baku dari tanaman. Dia datangi menteri pertanian. Diminta lengkapi proses tanam dan kemitraan dengan petani. Dan diminta rekomendasi tekhnologi pengolahan dari Lembaga riset dan pastikan lolos BPOM. Dia mondar mandir dari satu instansi ke instansi lain. Tiga bulan lewat. Antar kantor saling jerat.
Akhirnya teman saya itu terbang ke Malaysia. Dia ajukan izin. Seminggu izin keluar. Dia hanya buat pernyataan bahwa dia bertanggung jawab secara hukum kalau produk itu beresiko kepada konsumen. Tapi pernyataan itu dasarnya kepatuhan dia melengkapi sarana produksi yang menjamin kebersihan. Izin keluar satu pintu dari kantor investasi. Dalam tiga bulan pabrik sudah berdiri di kawasan industri. Kemudian, distributor indonesia impor produknya. Lucunya BPOM keluarkan izin. Lucu ya. Padahal awal dia mau buat pabrik di Indonesia dihambat.
Mengapa? Karena distributor atau importir indonesia itu sudah punya koneksi kuat dengan BPOM. Apapun dia bisa impor dan pasti lolos BPOM. Coba kalau distributor atau importir yang engga kuat. Mana bisa gampang dapat izin pasarkan produk makanan dan minuman di Indonesia. Setelah itu , teman saya dapat kabar, sudah ada orang indonesia yang buat pabrik cincau. Ya dia ajukan lagi izin. Sejak tahun lalu sampai kini izin belum juga keluar. Saya senyum aja akan kegigihannya. Karena yakin era Jokowi ada perubahan.
Makanya jangan kaget. Harga barang impor itu murah di luar negeri. Tapi masuk pasar dalam negeri jadi mahal. Mahal, karena rente izin. Budaya impor ini telah membuat orang cepat kaya. Hidup hedonis. Makanya jangan kaget generasi milenial terpancing untuk jadi kaya cepat lewat mindset importir.
10 tahun era SBY kita mengalami deindustrialisasi. Kita kehilangan 10 tahun era emas untuk jadi negara besar setelah krismon. Yang difocuskan adalah perluasan lahan sawit dan tambang batu bara. Ekspor komoditas alam yang tingkat tradeble nya rendah sekali. Makanya jangan kaget bahwa gini rasio pertanahan saat ini ( 2017) sudah 0,58. Apa artinya ? Hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang.
Data dari Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) menyebutkan, 25 grup usaha besar menguasai 51 persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Belum lagi lahan untuk IUP. Indonesia memang tidak di design sebagai negara modern. Tetap dengan mindset menjajah dan terjajah. Mau gimana lagi.? Udah takdir. Negara lemah bukan karena pemerintah tetapi rakyatnya dungu. Karena memilih orang sembarangan jadi wakilnya di DPR.
BACA JUGA