Penulis: Nana Padmosaputro
Suatu sore, aku berbincang-bincang dengan seorang psikolog dan terapis lulusan Amerika…
Duduk di ruang kerjanya yang rapi, kami ngobrolin betapa banyaknya pasangan yang tidak bahagia, yang datang konseling padanya
Kutanya,
“Apa sih penyebab yang paling besar dari perceraian? Faktor finansial ya Bu..?”
Beliau menjawab,
“Orang awam kan ngelihat cuma dari hal-hal yang kasat mata, Na…. maka alasan uang sering dianggap sebagai penyebab. Padahal itu cuma pemicu, bukan penyebab masalah.”
“Terus penyebabnya apa Bu?”
Lalu dia pun menjelaskan, bahwa ada 4 jenis compatibilitas (kecocokan) yang perlu ada, agar pernikahan LANGGENG & BAHAGIA.
“Langgeng DAAAAN bahagia lho Na. Bukan langgeng doang karena dipaksakan untuk tetap menikah, padahal nggak bahagia.” ujarnya, memberi intonasi penting.
“Jadi…?” tanyaku bego.
Lalu beliau menjelaskan :
Pertama, harus ada Intellectual Compatibility.
Kecocokan pikiran. Kalau ngobrol bisa klik dan nyambung. Memiliki dimensi pemahaman yang setara dan bisa membuat pembicaraan menjadi bernas dan berkembang.
Kebayang nggak kalau anda ketemu sama orang di ruang antri dokter, lalu ngobrolnya ngeklik…? Bisa asik kan? Dan lantas lupa waktu, nggak terasa sudah nunggu 3 jam.
Bayangin aja gimana rasanya pernikahan yang mustinya berlangsung seumur hidup, tapi pikiran nggak nyambung. Sekedar ngobrol aja udah bete…. karena misscom terus.
Kedua, Emotional Compatibility.
Kecocokan perasaan. Kedua pihak sama-sama cinta. Juga memiliki bahasa cinta yang sama. Bahasa Cinta ini penting lho. Karena kalau nggak sama, juga akan menimbulkan rasa frustrasi.
Bayangin, kalau pihak istri menyatakan cinta dengan cara serving (melayani) seperti : memasakkan makanan enak… membersihkan rumah sampai rapi dan terasa nyaman… tapi pasangannya tidak sadar bahwa rumahnya rapi dan selalu ada masakan di meja, karena suami lebih mementingkan hubungan sex, misalnya. Ya lama-lama si istri akan merasa tidak dihargai, dan malah merasa ‘gue cuma diperhatiin kalau di ranjang doang’
Hal ini juga bisa terjadi di suami lho. Kalau suami menyatakan cinta dengan cara serving (melayani) seperti : membereskan pipa ledeng yang bocor…. mau susah payah memanjat genting untuk memperbaiki yang bocor… tapi istrinya cuma ngomel-ngomel soal uang belanja yang kurang. Ya lama-lama si suami akan merasa tidak dihargai, dan malah merasa ‘gue cuma diporotin doang’
Urusan ketidak-cocokan perasaan ini, juga bisa berupa : si istri tipenya hangat dan ekspresif…; eeeh suaminya jengah kalau digandeng atau dielus rambutnya.
Atau, yang satu berjenis terbuka dan suka diskusi; sementara pasangannya tertutup dan diemmm aja.
dll, dst, dsb.
Lama-lama, pasangan seperti ini jadi ilfil dan hambar. Lalu mulai selingkuh sendiri-sendiri. Lalu semakin lebar lah jurang perasaannya.
(soal bahasa cinta ini akan saya bahas khusus di postingan lain, agar jelas dan detail)
Ketiga, Sexual Compatibility.
Kecocokan secara fisik. Kedua pihak merasa nyaman dan cocok dalam melakukan aktivitas seksual. Bisa bereksplorasi dan memahami sensasi tubuhnya sendiri atas setiap rangsangan, dan juga mengenali reaksi pasangan atas setiap ‘kegiatan’ yang dilakukannya.
Namun, ada ribuan kasus, dimana pasangan yang tidak ‘click’ di urusan sex, menjadi frustrasi. Yang lelaki punya selera sex yang besar, eeeh istrinya adem….
Atau sebaliknya : istrinya ingin bereksplorasi, eh suaminya ejakulasi dini. Boro-boro mencoba aneka gaya, lha wong 5 kali genjotan sudah kelar. Lalu rasa frustrasi itu tanpa sadar disalurkan menjadi ekspresi judes dan ngomel-ngomel ke urusan lain (terutama mempertengkarkan uang dan kurangnya nafkah)… atau malah jadi ogah-ogahan ML karena selalu kecewa pada performa pasangannya.
Keempat, Spiritual Compatibility.
Kecocokan spiritual ini BUKAN kesamaan agama, ya…! Tapi memiliki kecocokan visi, misi, nilai-nilai, dan cara memandang hidup.
Misalnya : sama-sama melihat bahwa hidup adalah sebuah proses pembelajaran…. sehingga jika salah satu melakukan kesalahan, selalu ada pintu maaf dan bersama-sama memperbaiki diri.
Atau, sama-sama memprioritaskan keuangan bagi pendidikan anak. Bukan malah : salah satu mengutamakan beli mobil mewah, atau perhiasan… sementara pihak lain ingin memasukkan anak ke sekolah bagus..
Atau, sama-sama berprinsip bahwa bumi ini sudah penuh, dan kita nggak usah punya anak aja deh, lalu yuk kita bikin panti asuhan dan mencintai anak-anak yang dibuang oleh ortunya. Bukan malah : yang satu mau punya anak banyak….dan harus darah daging sendiri. Ya bakal ribut lah.
Kebayang kan kalau ribut terus…?
Nah pernikahan yang ribut terus, apakah bahagia…?
Ketika beliau selesai menjelaskan, aku bertanya :
“Bu, aspek ke 1, 2 dan 4 kan bisa kita coba tuh selama pacaran. Kita bisa penjajagan buat nyobain apakah klik atau nggak… Lha kalau sex, penjajagannya gimanaaaaa…?”
Beliau ketawa. Lalu malah tanya,
“Menurutmu gimana?”
Aku nggak kalah pinter dong, kubalik aja pertanyaanku :
“Lha pengalaman ibu jadi konselor gimana? Kasus yang ada, seperti apa?”
Perempuan dengan gelar PhD itu tambah ngakak sambil goyang-goyangin jari telunjuknya, merasa terjebak oleh pertanyaanku, tapi toh beliau menjawab juga :
“Wah, banyak banget pasutri yang dateng ke sini malah berantem di depan saya. Si istri menyalahkan ukuran penis suami yang kecil, sementara suaminya menuduh vagina istrinyalah yang njeber. Psikolognya mumet. Lha saya nggak bisa ngecek ke TKP kan..?”
aku ngakak…
“Tapi kamu pasti nggak akan nyangka kalau saya kasih tahu ini, Na.”
“Kasih tahu apa, bu?”
“Mayoritas klien perempuan saya, mengaku belum pernah mengalami orgasme. Mereka nggak tahu gimana rasanya orgasme.”
Kali ini aku nggak bisa ngakak.
Menjalani pernikahan, tapi tidak pernah mengalami orgasme…. itu sih namanya jejak genital. Eh, kekejaman genital.
( Nana Padmosaputro )