#3. Belajar Mendengarkan
Jujur saja, dalam kondisi lelah, dengan begitu banyak tanggung jawab dan waktu sempit, orangua biasanya tidak bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya pada anak. Selain itu. tak bisa bersabar dan cenderung cepat menghakimi.
Dalam kondisi seperti itu, anak pasti tak sudi mendekat. Ia berasumsi orangtuanya tak mau mendengarkannya dan tak berusaha memahami dirinya. Dengan pemikiran sederhana seperti itu, dipastikan anak tak akan mau bicara pada orangtuanya.
Padahal saat orangtua tak mau mendengarkan dan anak tak mau bicara, konflik yang ada pun menjadi semakin tajam dan kian sulit pula dicarikan jalan keluarnya.
Dalam banyak keluarga, sumber konflik itu sendiri umumnya adalah komunikasi intens yang tak dibangun sejak awal.
Sebaliknya, orangtua yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk mendengarkan ketimbang hanya sebatas bicara dan bicara, biasanya akan lebih berhasil membangun relasi sebagaimana mestinya.
Bermodalkan Kesediaan Mendengar
Kesediaan orangtua untuk mendengarkan, dengan sendirinya akan mendorong anak untuk membuka diri. Orangtua dengan persuasive parenting akan berusaha menunjukkan perhatian sepenuhnya saat anak bicara. Ia akan berusaha mendengarkan dengan telinga anak, bukan dengan telinganya sendiri. Di pihak anak, ketika ia tahu bahwa orangtuanya mendengarkannya, anak pun akan dengan senang hati mendengarkan apa yang Anda coba sampaikan.
Dalam membangun komunikasi dengan anak, kepekaan orangtua amat dibutuhkan. Ini perlu, mengingat ada begitu banyak hak yang tak bisa ditangkap maupun diutarakan anak.
Di sinilah dituntut kejelian orangtua untuk “membaca” kebutuhan anak. Bukan hanya dengan telinga, tapi juga dengan hati, dengan membaca gerak-gerik dan bahasa tubuh anak. Cobalah pahami, apa yang ada di balik semua “bahasa” anak tadi. Mau tak mau orangtua pun sebenarnya memang dituntut untuk terus belajar dan belajar.
Bersikap Proaktif
Kuncinya, jangan pernah bersikap reaktif, melainkan harus proaktif. Saat orangtua menunjukkan sikap reaktif, itu berarti orangtua tidak mendengarkan anak dengan sungguh-sungguh.
Contohnya, seperti apa reaksi kita saat bocah balita di hadapan kita melampiaskan kemarahannya dengan mengatakan “Aku enggak mau jadi anak Mama!”
Sikap reaktif orangtua akan ditunjukkan dengan teriakan yang tak kalah keras, “Ya sudah, kamu pergi aja sana! Mama juga enggak suka punya anak kayak kamu!”
Sikap reaktif semacam itu jelas-jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada malah membuat masalah jadi semakin runyam dan anak pun semakin menjauh.
Ingat, dalam berbagai situasi, sikap reaktif selalu tidak menguntungkan siapa pun.
Sebaliknya, dengan bersikap proaktif, orangtua mencoba menentukan arah.
Caranya? Dengan mengambil tanggung jawab sambil bertanya pada diri sendiri, “Saya bisa berbuat apa untuk menyelesaikan masalah ini?”
Tak gampang memang, tapi cobalah pahami apa yang dimaksud anak dengan mengatakan kalimat tadi. Mungkin anak amat kecewa pada Anda? Atau boleh jadi begitu marah yang sudah mengarah pada keputus-asaan?
Sapaan Lembut
Yang pasti, jika anak teriak, imbangi dengan sapaan bernada lembut. “Kakak marah banget ya sama Mama?” Sapaan sederhana ini bisa meluluhkan hati anak lho.
Lajutkan dengan kalimat-kalimat senada yang intinya berusaha memahami anak. “Kenapa sih kamu marah sama Mama?“
Pendek kata, pancing terus keterbukaan dan jawaban anak. Namun ingat, bukan dengan menginterogasinya. Tunjukkan bahwa kita siap menerima kekecewaan dan kemarahannya.
Boleh dibilang, sampai pada tahap ini saja (bersikap proaktif) sebetulnya orangtua sudah jauh bergerak maju: mau memikirkan apa solusinya. Ingat, sikap proaktif ditandai dengan kalimat yang tidak dimulai dengan kata-kata bernada ultimatum, seperti “pokoknya”, “harus” atau “selalu”.
Penulis : Puspayanti