Generasi masa kini harus tahu bahwa Indonesia punya sejarah kelam dan mengerikan, ketika rasa kemanusiaan dicampakan, dinistakan. Ketika sebagian anak anak bangsa begitu bengisnya, tega menyiksa, membunuh sesama, tanpa ampun. Ratusan mahasiswa, intelektual yang sedang belajar di Eropa dan China tak bisa kembali ke Tanah Air, karena menolak pengakuan pada pemerintah baru. Foto: Law-justice.co/Winna Wijaya.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SAYA pernah mengira bahwa Martin Aleida – saya memanggil beliau Pak Martin – akan “habis”. Sebagaimana seniornya, sesama sastrawan kiri, Pramoedya Ananta Toer, yang merasa sudah “habis” – setelah menulis masterpeace Tetralogi Pulau Buru. Kondisi fisiknya menurun, kreatifitasnya macet. Hari hari Pram dilewati dengan mengumpulan kliping dan menyusun kronologi untuk buku sejarah. Selain bersih bersih kebon dan membakar sampah. “Saya sudah tidak ada tenaga, mata saya kabur, “ keluh nominator peraih Nobel Sastra yang meninggal di usia 81 tahun itu.
Saya kira Martin Aleida akan begitu. Sastrawan asal Tanjung Balai – Sumut, ini sudah melewati usia 70 tahun juga. Dia akan kelelahan menggugat tragedi pembunuhan massal tahun 1965, sebagai cerita yang pedih. Dia akan berhenti menggugah anak anak bangsa ikhwal kisah kelam 57 tahun lalu itu.
Lagi pula, bagaimana dia terus mendapatkan “bahan” dan mengolah kreatifitasnya dan pembaca tidak jenuh karenanya? Martin akan letih dan menyerah – begitulah dugaan saya.
Dugaan saya ternyata keliru! Cerita tragedi 1965-’66 begitu banyaknya, drama dan tragedi bangsa kita itu begitu panjangnya, sehingga nyaris dia tak istirahat, kecuali terus bersuara. Penulis Sumatera yang menikahi perempuan Jawa ini memang sudah teruji puluhan tahun. Sastrawan kelahiran 31 Desember 1943 – yang kemarin memasuki usia 80 tahun – ini bersaksi dan bersuara tapi juga menyajikannya dalam karya sastra, yang keindahannya meraih penghargaan. Bahkan di kala usianya sudah tak muda lagi.
Malam Natal 2022 kemarin, saya menerima buku barunya, Tuhan Menangis, Terluka dalam format reportase seputar peristiwa 1965-’66 dari berbagai daerah. Sebelumnya beliau mengirim pesan via messenger, apa alamat saya berubah? Saya menjawab, tidak. Dan buku terkirimkan. Saya sungguh terharu.
Tuhan Menangis, Terluka adalah naskah panjang dan buku tebal non-fiksi tentang rangkaian pengejaran dan pembinasaan manusia paskaG30S, dari mereka yang tertangkap, lari dan ditemukan lalu dibawa ke penjara, termasuk kisah dari kamp-kamp tahanan di seluruh Indonesia. Buku non fiksi ini diselesaikannya menyambut usianya yang 80 tahun, 31 Desember 2023 ini. Tebalnya 598 halaman.
Sebelumnya sastrawan bertubuh jangkung ini merilis Teropong dan Suryakanta (2021), memoar Romantisme Tahun Kekerasan, (2020) dan Tanah Air yang Hilang, (2017, kumpulan wawancara dan cerita para pelarian 1965 di Eropa (eksil).
Martin Aleida adalah wartawan cum sastrawan yang pernah bekerja untuk majalah berita mingguan TEMPO yang dirintis Goenawan Mohamad dan koran Harian Rakjat pimpinan Njoto, yang kemudian dikenal sebagai tokoh elite (central committee) PKI.
Di majalah TEMPO, Martin ikut mewarnai bentuk awal jurnalisme sastra – reportase jurnalistik dalam kemasan sastrawi. Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Amarzan Loebis, dan Martin Aledia adalah sastrawan hebat yang membentuk jurnalisme TEMPO.
Sekeluar dari TEMPO, setelah sempat mengenyam pendidikan di Georgetown University, Washington DC – AS, dia kembali menjadi sastrawan, yang menulis karya cerpen dan esai dari kisah kisah nyata, berbasis jurnalistik. Sastra jurnalisme.
BUKU Tuhan Menangis, Terluka – Kompedium Kisah Kisah Kejahatan Terjadap Kemanusiaan 1965-66, sungguh wajib dibaca semua saja yang peduli sejarah. Terutama mereka yang tertarik pada kronik dan isu isu post 1965. Agar kita tak mengulangi tragedi memilukan itu. Sampul merahnya menampikan foto patung Concise History of Mass Murder in Indonesia karya Dolorosa Sinaga.
Generasi masa kini harus tahu bahwa Indonesia punya sejarah kelam dan mengerikan, ketika rasa kemanusiaan dicampakan, dinistakan. Ketika sebagian anak anak bangsa begitu bengisnya, tega menyiksa, membunuh sesama, tanpa ampun. Ratusan mahasiswa, intelektual yang sedang belajar di Eropa dan China tak bisa kembali ke Tanah Air, karena menolak pengakuan pada pemerintah baru.
Hanya karena ulah segelintir orang yang gagal merebut kekuasaan di Jakarta, jutaan orang di seantero negeri kehilangan nyawa dan jutaan lainnya tersiksa dan terstigma.
Generasi 1950-‘60an menjadi saksi proses pembunuhan massal, penyiksaan dan pembinasaan manusia dengan cara yang ganasnya melebihi pembantaian terhadap binatang – notabane oleh manusia dan masyarakat yang telah menyembah Tuhan, mengenal agama, kaum santri, seperti di Aceh dan Sumatera Barat – juga di Jawa, Bali, Nusa Tenggara – serta daerah lainnya. Sebagian dari mereka minta dibunuh – karena tak tahan disiksa – atau memilih bunuh diri.
Setelah sejarah kelam kamar-kamar gas Auschwitz di Jerman di zaman Nazi, Jakarta mengulangi dengan ratusan ribu simpatisan PKI dibinasakan dan jutaan lainnya dinistakan.
Jutaan simpatisan PKI dibantai, dipisahkan dari keluarga dan orang orang yang dicintai – dipenjarakan tanpa pengadilan, dibuang ke pulau Buru dan Nusa Kambangan. Laki laki perempuan bahkan anak anak, dari Aceh hingga Ambon disiksa dan dibunuh atas tuduhan PKI. Sedang yang hidup dijadikan budak, seperti di Pulau Buru, yang perempuan diperkosa, keluarganya diusir paksa dari rumahnya, dan tindakan persekusi lainnya.
Setelah mengungkap Cornell Paper (Benedict Anderson dan Ruth McVey), Guru Sosiologi Belanda WE Wertheim, kali ini Martin Aleida mendedah tulisan peneliti Australia Jes Melvin bertajuk The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. Peneliti Australia itu membantah kesimpulan penguasa (Orde Baru) selama ini yang menyebut tragedi 1965 sebagai “konflik horisontal”, dengan bukti 3.000 halaman telegram komunikasi militer “sangat rahasia” – yang ditemukannya secara tak sengaja di Aceh.
Dari berbagai dokumen dan salinannya yang dijadikan kajian oleh Melvin dipaparkan bahwa genosida 1965-‘66 itu dinisiasi noleh militer dengan memobilisasi dan mempersenjarai anggota anggota paramiliter yang ambil bagian dalam “operasi berdikari” yang diinisiasi dan dilancarkan militer. Selain menggunakan senjata juga propaganda.
Tulisannya itu merupakan pengembangan tesis doktoral yang memenangi penghargaan Asian Studies Association of Australian President Prize 2016. Selain mempelajari dokumen, peneliti yang fasih bahasa Aceh itu juga mewawancarai 70 narasumber di Aceh.
Apa lagi yang ada di buku setebal 598 halaman ini ?
Laporan penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, penghilangan paksa mereka yang terlibat kegiatan PKI, underbouw, ormas simpatisan, dan warga tak berdosa sekadar ikut ikutan dan keluarganya, dari Aceh hingga Ambon. Kesaksian para korban pelarian dan penyiksaan yang bertahan hidup, hingga hari ini, menguak Peran NU pada September – Okober 1965, keterlibatan Inggris dan kesimpulan Komnas Ham. Ada juga Surat dari Dewi Soekarno pada Suharto.
Generasi masa kini harus membaca buku ini. Terutama anak anak sekolah dan mahasiswa, para intelektual, supaya tidak termakan kampanye masif rezim Orde Baru, yang enteng “mem-PKI-kan” orang tanpa paham runtutan sejarah dan peristiwanya.
Sekali lagi, sebagaimana buku buku sebelumnya, karya reportase, cerpen, novel, opini, esai dari Martin Aledia – wartawan cum sastrawan kita ini – sangat menggetarkan dan menggugah.
Dan juga masih bikin merinding. ***