Diana Damayanti
Ketika menyampaikan kata sambutan setelah acara Misa Requiem selesai, sahabatku berkata, “Saya bisa menjadi saya yang sekarang ini berkat asuhan Mami. Walaupun kondisi ekonomi keluarga kami cukupan saja, Mami, juga Papi; selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kami, ketiga anaknya. Mami juga tidak pernah berhenti mendoakan kami.” Sahabat saya itu memang tergolong sukses dalam hidupnya. Ke mana-mana diantar mobil mewah, dan seorang ajudan selalu siap menjaganya.
Mendengar apa yang dikatakannya, kucolek teman yang duduk di sebelahku, “Duuh… nanti kalau aku ‘pergi’, anak-anakku ngomong gitu ndak ya tentang aku? Kalau iya, bahagianya….” Temanku itu langsung membelalakkan mata. “Ngaco…,” katanya singkat. Tidak tahu apa maksudnya.
Sejak memiliki anak pertama, Gita Fara Praditya, aku sudah berniat untuk menjadi ibu yang baik baginya. Sebagai ibu baru konsepku tentang a good mom adalah ibu yang melakukan apa pun untuk anaknya. Jadilah, aku urus semuanya sendiri. Mulai dari menyusui, memandikan, belanja ke pasar, menyiapkan makanan, sampai menidurkannya. Praktis waktuku habis untuk mengurus Gita.
Ketika putri kedua, Pradila Galuh Savitri lahir tahun 1987 dan usianya mencapai 5 bulan, aku mulai bekerja di sebuah majalah untuk pasangan muda. Pekerjaan ini kurasa sangat pas bagiku saat itu. Berkat pekerjaan ini, aku bertemu dengan banyak ahli, dokter atau psikolog, untuk mengumpulkan bahan artikel. Ilmu yang kudapat dari wawancara sangat berguna dalam merawat dan mendidik anak-anak. Di sisi lain kehidupan bersama anak-anak setiap hari memperkaya tulisan-tulisanku karena kualami sendiri sebagai first-hand experiences. Kurasa kehidupanku bersama anak-anak dan pekerjaan berjalan serasi.
Sampai kelahiran anak ketiga, Shastri Hening Gayatri (Sasya) pada tahun 1989, aku merasa sangat nyaman sebagai ibu dan terus berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Anak-anak pun tumbuh sehat, cerdas dan ceria layaknya anak-anak seusia mereka. Tetapi, kuakui aku sering merasa kelelahan. “Aku ingat pas kelas 4, bukuku Mama lempar karena aku nggak hafal-hafal isi pelajarannya,” ujar Galuh suatu kali. Sudah pasti hari itu aku kewalahan dengan pekerjaan di kantor ditambah tugas mempersiapkan anak-anak untuk ulangan keesokan harinya. Buku itulah jadi korbannya, juga perasaan Galuh.
Tahun 2003, dalam usia 43 tahun, aku melahirkan Aswandatu Putra, anak bungsuku; satu-satunya laki-laki. Tak lama kemudian, aku dipindahkan ke sebuah majalah untuk pasangan muda dengan anak-anak yang lebih besar, usia SD. Mengelola majalah ini, konsepku tentang a good mom berubah. Ibu yang baik adalah ibu yang mengurus anaknya, tetapi tetap happy karena punya waktu juga untuk dirinya sendiri.
Mataku seolah dibuka. Benar… selama ini kulakukan banyak hal, bahkan hampir semua hal, untuk anak-anak. Rasa lelah kerap kuabaikan, demi anak-anak! Konsep majalah baru ini telah mengubah pola hubunganku bersama anak-anak. Minimal setahun sekali aku menyisihkan waktu untuk me time, melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku, misalnya, bisa menikmati hari-hariku bersama Sasya di tempat kuliahnya di Belanda, tanpa terlalu khawatir meninggalkan Putra, yang masih balita. Suatu hal yang dulu tak mungkin kulakukan! Ternyata, setelahnya, aku bisa kembali kepada keluarga dan bekerja dengan lebih bersemangat dan lebih happy! Keberadaan anak-anak lebih bisa kunikmati sebagai sesuatu yang menyenangkan ketimbang kewajiban. Dalam suasana happy, semua terasa lebih ringan, bukan?
Tentang Putra, anak bungsuku, ceritanya lain lagi. Berbeda dengan kakak-kakaknya, sejak kecil ia sudah merasa dirinya Katolik. Kami memang keluarga berbeda agama, Micky suamiku beragama Katolik, sementara aku, Islam. Ketika duduk di kelas 3 SD, Putra bertanya, “Mama, aku Katolik, tapi kok aku nggak punya nama depan seperti teman-teman?” Naluriku mengatakan, ada kebutuhan pada diri Putra untuk menjadi seorang Katolik. Karena ini, aku kemudian berkoordinasi dengan Suster Kepala Sekolah dan guru-guru di sekolahnya, sehingga pada akhirnya upacara pembaptisan Putra pun diurus sepenuhnya oleh Kepala Sekolah dan para gurunya.
Sejak saat itu, aku rutin mengantar Putra ke gereja. Aku ingin ia bertanggung jawab pada pilihannya. Tetapi, tentu ia memerlukan pendampingan ibunya, aku. Karena Putra rajin bertugas sebagai misdinar atau putra altar, aku jadi lebih sering ke gereja atau kapel dibanding teman-temanku yang orang Katolik sungguhan. Apalagi sekarang, setelah ia duduk di kelas XI, seringkali ia harus bertugas untuk Misa Requiem di gereja atau rumah duka. Aku pun dengan setia mengantarnya.
Banyak orang bertanya, mengapa aku kok rajin banget mengantar Putra? Jawabku, “Karena aku ingin menjadi seorang ibu yang baik! Aku ingin Putra happy menjalankan pilihan hidupnya.” Tetapi, ini hanya jawaban di dalam hati, sih. Biasanya, pertanyaan itu hanya kubalas dengan senyum.
Apakah segala yang telah kulakukan untuk menjadi ibu yang baik, berdampak baik pula bagi anak-anakku? Kalau anak-anakku berbahagia, kuanggap lumayan berhasillah aku sebagai ibu.
Maka suatu hari aku pun menanyakannya via WA. “Apakah kamu bahagia dengan hidupmu?”
Inilah jawaban Gita: “Superdong, Mam….” . Lalu ia menyertakan kutipan ini:
“Berbahagialah dia yang makan dari keringat sendiri,
bersuka karena usahanya sendiri dan
maju karena pengalamannya sendiri.”
(Pramoedya Ananta Toer)
Jawaban Galuh menyebutkan nama anaknya, Dani, “I’m happy, Mom! Udah ada De’ Dani, kondisi kesehatanku baik, cukup makan dan cukup istirahat. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang tersayang.”
“Walau kerjaan suka bikin stres, tapi overall aku happy sama hidupku, Ma,” tulis Sasya. “Apalagi aku udah punya Mas Ausi as my support system,” tambahnya. Mas Ausi adalah suaminya.
Dan ini jawabab si bungsu Putra: “Interaksi sama teman-teman, penghargaan yang aku terima dari orang-orang lain seperti pujian atau piagam dan lain-lain, masih bisa makan enak, masih punya rumah yang nyaman… semua pengalaman itu secara kolektif bikin aku happy, Mom!”
Eeehhh….mereka balik bertanya, “Are you happy with your life, Mom?”
“As long as you’re happy, I’m happy, Nak!” (Diana Damayanti/BG)
“Sebagai ibu, kau tidak pernah sendirian di alam pikiranmu. Seorang ibu senantiasa berpikir dua kali, sekali untuk dirinya sekali lagi untuk anaknya.” – Sophia Loren