Ada “Obat Kuat” untuk Perempuan?

Seide.id – Selama ini “obat kuat” identik dengan pria loyo, impoten, atau yang mengalami gangguan seksual dalama berhubungan intim dengan istri. Padahal, untuk perempuan juga ada obat jenis tersebut.

Obat itu diberikan kepada pasien setelah berbagai pemeriksaan yang hasilnya membuktikan bahwa pasien bersangkutan mengalami gangguan seksual yang disebut frigiditas.

Jangan harap cespleng
Boleh-boleh saja perempuan merasa perlu obat kuat untuk meningkatkan libido. Namun, jangan mencoba mengobati diri sendiri dengan aneka eksperimen yang justru bisa berakibat fatal.

Bila pasien benar-benar mengalami frigiditas, dokter ahli atau konsultan seks terkait akan memberi obat untuk meningkatkan gairah seks.

Salah satunya adalah golongan aphrodisiac, yang dianggap bisa membantu meningkatkan produksi hormon-hormon seksual.

Namun, tetap saja pasien harus menjalani sejumlah pemeriksaan dulu. Setidaknya, lewat pemeriksaan fisik yang biasanya dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium.

Nah, berdasarkan semua pemeriksaan, dokter ahli atau konsultan seks akan menentukan apakah gangguan mengenai gairah seksual rendah disebabkan oleh faktor fisik atau psikis. Baru, selanjutnya, terapi ditentukan.

Pemberian dosis obat pun disesuaikan dengan tingkat keparahan gangguan yang dialami pasien. Yang jelas, karena bersifat pengobatan, efek obat jenis tersebut tidak bisa sesaat, tetapi baru dirasakan untuk jangka panjang.

Jadi, jangan harap dengan minum menjelang berintim-intim lantas cespleng. Artinya, dengan minum aphrodisiac tidak serta-merta membuat kemampuan seks jadi luar biasa.

Hanya dokter yang bisa memastikan dosisnya, berapa lama efek obat itu bisa dirasakan, dan kapan harus berhenti diminum.

Sebab, tujuannya, pasien sembuh total dan bukan untuk saat tertentu saja. Bukan diminum 15-30 menit sebelum berhubungan intim, seperti halnya obat impotensi atau gangguan ejakulasi pada pria.

Jangan terkecoh iklan
Selain mencari bantuan ke dokter ahli terkait, berhati-hatilah terhadap gencarnya serbuan iklan bernada bombastis.

Banyak produsen menggembar-gemborkan suplemen tertentu sebagai obat kuat atau penambah gairah. Ditambah lagi, tampilan visual iklannya pun amat menggoda. Padahal mungkin isinya multivitamin saja. Apalagi, pembuktiannya secara ilmiah selama ini belum pernah ada.

Namun, bisa jadi suplemen itu secara tidak langsung memberi keuntungan tertentu. Contohnya, menyegarkan tubuh karena mengandung multivitamin dan beberapa mineral seperti kalium, zinc, dan kalsium.

Kandungan tersebut memang dibutuhkan oleh tubuh, baik laki-laki maupun perempuan. Sekaligus, zat-zat itu bisa mencukupi kebutuhan kalori atau energi yang diperlukan tubuh.

Jika tetap dikonsumsi, kelebihan vitamin B dan C dalam suplemen tersebut akan dibuang oleh tubuh lewat air seni dan keringat.

Jika tidak, takaran berlebihan dari unsur-unsur pembentuk suplemen itu malah akan tertimbun dalam tubuh dan memberi dampak merugikan pada hati, ginjal, atau organ vital lain.

Lebarkan pembuluh darah
Yang tergolong sebagai aphrodisiac, yang diyakini bisa meningkatkan libido seksual, adalah akar ginseng dan sanrego.
Contoh produk lokalnya, tabat barito dan pasak bumi.

Tentu saja, pemberian obat itu seharusnya diawasi ketat oleh dokter ahli, dengan dosis dan aturan konsumsi tertentu, sebelum, sesudah, atau selagi makan, atau di antara dua waktu makan. Efek masingmasing berbeda.

Sayangnya, khasiat aphrodisiac pun bukan berdasarkan penelitian ilmiah secara khusus. Berangkatnya dari mitos-mitos yang hidup subur di tengah masyarakat.

Sanrego, contohnya, konon ditemukan oleh seorang petani yang memiliki kuda. Ternyata, setiap kali makan rumput-rumputan tersebut, si kuda jadi bernapsu setiap kali melihat betinanya. Lantas si petani pun menganalogikan “temuan”-nya dalam kehidupan manusia.

Peluang semacam itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh produsen, termasuk “janji manis” seputar kemampuan dalamnberhubungan intim.

Sementara, mekanisme kerja aphrodisiac relatif sama pada perempuan dan laki-laki, yakni melebarkan pembuluh darah.

Selain itu, harus diingat, pada dasarnya obat merupakan “racun”. Jika tak diberikan secara tertakar lewat resep, itu bisa berdampak buruk atau malah mematikan. (Puspayanti, kontributor)