Seide.id- Beberapa pelukis seangkatan Affandi, kerap mengeluh atau ngedumel dalam nada gurau. Keluhannya kurang-lebih begini: “Jika kami melukis bareng ‘on the spot’ atau langsung di tengah-tengah objek, kami bukannya melukis, tapi asyik dan terpaku menyaksikan Affandi melukis”. Saat-saat terakhir hidupnya, affandi bukan saja menampilkan lukisan-lukisan ekspresif, ..tapi cara dia melukis pun sungguh atraktif, ekspresif dan menjadi tontonan tersendiri.
Tentang tontonan tersendiri ini, seorang teman pernah bercerita. Sang teman yang sedang kuliah di Yogya, pernah seperti (menurut istilahnya sendiri) “mendapat kehormatan” menyaksikan Affandi melukis di saat-saat terakhir usianya. Beberapa hari kemudian (kalau tak salah ingat, kata sang teman), sang maestro wafat di usia 83 tahun.
Kala itu, Affandi sepertinya memang sengaja di-set (wah di…apa ya?,.
..didapuk?) oleh panitia pergelaran seni untuk menjadi semacam ‘gong’ di acara itu. Sang maestro yang saat itu sudah sakit-sakitan di usianya yang sudah kepala 8, datang dengan cara dipapah atau malah dibopong oleh bbrp orang. Sang maestro nampak sudah uzur dan sedemikian renta. Tapi, tatapannya masih tajam. Matanya tetap berbinar dan terlihat antusias datang ke-“tempat pertunjukan”.
Beberapa orang petugas acara, mempersiapkan segala sesuatunya. Persiapan standar saja bagi pelukis. Kanvas (yang sudah terpasang di tiang-tiang penyangga), kuas, cat dan tentu saja minyak cat.
Melihat semua perlengkapan itu, tiba-tiba tubuh sang maestro, tegak. Seperti bara di tungku yang ditiup dengan ‘song-song’ bambu. Bara itu lalu berkobar-kobar menjadi api! Affandi meminta kanvas diturunkan. Affandi memang lebih suka melukis dengan kanvas yang diletakkan di lantai. Diletakkan horizontal daripada vertikal dengan kemiringan sekitar 160 derajat (eh,…berapa derajat ya?,…yaa, tegak lurus itu ‘kan sekitar 180 derajat, jadi miring sedikitlah). Karena di lantai itu rasanya lebih leluasa ketika berekspresi. Seperti, menekan, menoreh, menggosok, mendusel, menciprat bahkan mencabik (seperti aku juga, jika melukis, hehehe).
Kuas-kuas disingkirkan. Minyak cat disingkirkan. Kuas-kuas disingkirkan? Yak!
Lalu, sang maestro melukis. Bersemangat, heboh, berkeringat, bergairah, ..hidup. Seluruh tubuhnya seakan-akan melukis. Seperti seorang… dirijen orkestra, ..ah bukan ..tepatnya seperti seorang pendekar sedang bertarung dengan lawan yg tangguh. Caranya melukis, seperti menularkan gairah kepada orang-orang di sekitar yang menontonnya. Tak heran jika ketika sang maestro melukis ‘on the spot’ bersama teman-temannya. Alih-alih melukis objek, eeh teman-temannya malah menonton kehebohannya ketika melukis.
Setelah selesai,…tubuhnya lungkrah. Seperti api itu, bara itu seolah-olah kembali meredup. Tinggal karyanya yang tetap berkobar, menyala. Affandi kembali dibopong oleh 2 rang asistennya.
Affandi, menurutku adalah pelukis yang paling jelas terlihat perubahan dan pencapainnya dalam dunia senilukis. Aku kerap membandingkan Affandi dengan Picasso. Ketika keduanya masih muda, mereka adalah pelukis dengan bakat melukis realis yang luarbiasa. Picasso ketika berumur 15 tahun, melukis sosok ibunya dengan gaya realis. Karya dengan warna dan tehnik yang sudah sangat matang di usia sangat muda itu, mencengangkan para kritisi seni. Affandi, ketika di usia relatif muda pun melukis sosok ibunya dengan teknik realis yang mengagumkan.
Kedua maestro itu, di usia lanjut, seperti menemukan ‘gaya tersendiri’ dalam pencarian diri yang terus-menerus mereka lakukan. Mereka seperti tak lagi ‘mengejar’ detail, tapi substansi. Menampakkan ‘jiwa’ kata Sudjojono, seorang maestro senilukis lain. Masyarakat umum, lalu mengenal Picasso sebagai ‘penemu’ atau pencipta apa yang dinamakan teknik kubisme. Picasso kadang berimajinasi menumpuk-numpuk indra (anggota tubuh yang ada) di wajah objek lukisannya. Misalnya mata, bertumpuk-tumpuk dengan hidung, telinga dan bibir. Akan halnya kubisme, itu berasal dari ‘kube’ (kubus, kotak), hal lain lagi. Lukisan-lukisan Picasso pada saat matangnya dianggap menyederhanakan objek yg dilihatnya seperti bentuk kubus.
Affandi dikenal masyarakat sebagai pelukis dgn berbagai julukan. Ada yang menyebut: ‘gaya pletat-pletot, gaya spontan, gaya urek-urek-uwek-uwek, gaya jelebret art, dan sebagainya. Para kritikus dunia menjuluki lukisan-lukisan Affandi bergaya ekspresionisme. Sangat mudah diduga, penamaan ini mengambil dari kata aksresif. Hasil dan gaya ketika Affandi melukis.
Maestro kelahiran Cirebon 18 Mei, 1907 dengan nama Affandi Koesoema itu sesungguhnya tak terlalu hirau dengan berbagai julukan itu julukan penghormatan itu ketika dia melukis.
Affandi sejak muda berkarakter bersahaja dan sederhana. Sejak muda memang suka menggambar. Jika teman-teman pelukisnya mengidolakan tokoh wayang yang gagah dan tampan seperti Arjuna, Bima, Kresna atau Gotot Kaca, Affandi mengidolakan Sukrasana, yang jauh dari tampan. Dia pernah menjadi guru, bahkan nyambi menjadi petugas penyobek karcis bioskop. Tapi karena hasrat melukis lebih kuat, maka kedua ‘profesi’ itu ditinggalkannya. Di Bandung, dia bergabung dengan beberapa pelukis yang kelak juga menjadi pelukis-pelukis hebat: Hendra Gunawan, Barli, Sudarso dan Wahdi Sumanta.
Tahun-tahun di mana semua dari kita waktu itu sedang berjuang untuk menghalau penjajah supaya hengkang, tak terus menjajah dan mengangkang, tentu melibatkan semua orang. Rakyat jelata, petani, pedagang, guru, juga peofesional dan seniman. Affandi yang ketika tahun 1945 itu berusia 38 tahun membuat poster yg digunakan untuk terus menyemangati perjuangan rakyat. Dia membuat poster berdasarkan ide Chairil Anwar (rasanya tak perlu aku jembrengkan lagi siapa Chairil ini ‘kan?) dengan model: Dullah, juga seorang pelukis realis dahsyat. Ide poster itu kalau tak salah digagas oleh Soekarno. Poster itu menggambarkan seseorang sedang berteriak, mengangkat bendera. Lengannya meregang, memutus rantai yang membelenggu. Di bawah lukisan sosok itu ada tulisan: “Boeng ayo boeng!” dengan huruf kapital.
Ada peristiwa lucu. Waktu itu Soekarno memberikan beasiswa bagi para pelukis untuk belajar melukis di India. Di sebuah sekolah seni terkenal dan disegani dunia bernama Santiniketan yang didirikan oleh Rabindranath Tagore, sastrawan India. Pelukis Rusli pernah belajar di sini. Berangkatlah Affandi untuk belajar melukis di sana. Tapi baru beberapa hari di sana, Affandi disuruh pulang kembali. Karena berdasarkan beberapa lukisan yang dibuat,… Santiniketan menganggap Affandi tak perlu lagi belajar.
Memasuki, masa perjalanan atau pencarian diri sebagai pelukis. Lalu Affandi mulai meninggalkan detail. Dia mulai melukis dengan teknik yang lebih mementingkan substansi. Lukisan-lukisannya mulai spontan dan ekspresif. Kasar, tapi tetap menggunakan kuas. Lho, tentu saja menggunakan kuas, …memang menggunakan apa lagi? Eiits,…hehe,…dia kemudian memang meninggalkan kuas. Dia tak lagi menggunakan kuas, tapi… menggunakan jemarinya untuk melukis. Lalu,…seolah tak puas menggunakan jemari, Affandi melukis langsung dari tube catnya. Affandi melakukan semua itu, bukan untuk gagah-gagahan. Tapi pada awalnya mungkin saja, ..dia seperti ‘kebelet’ ingin menumpahkan semua gagasan ke-atas kanvas, tapi kuas-kuas juah dari jangkauannya (hehe, ..ini dugaanku saja). Maka melukislah dia dengan jemari dan telapak tangannya. Lalu, dia melukis langsung dari tube catnya yang dipencet atau ‘dipotot’ (seperti memencet pasta gigi ketika kita hendak menggosok gigi).
Affandi, tak hirau, tehnik apa yang digunakannya. Ketika kritikus senilukis dunia menjulukinya sebagai salah-satu ‘pelukis ekspresionism’, dia malah bertanya: “Waah,…teknik apa pula itu?”
Lukisan-lukisan para maestro konon banyak dipalsu. Untuk menghindari pemalsuan itu, sebetulnya kurator dunia sudah sepakat mengeluarkan semacam lisensi, sertifikat, surat keterangan atau apa pun namanya, untuk menegaskan bahwa lukisan itu bukan lukisan palsu. Misalnya menduplikasi lukisan Affandi, Picasso atau Soedjojono. Lukisan para maestro itu diduplikasi persis seperti aslinya, tapi ditandatangani oleh siapa pun yg menduplikasi lukisan itu. Dan itu legal. Jika, dilukis oleh pelukis lain, tapi ditandatangani oleh Affandi, Picasso atau Soedojono itu namanya pemalsuan.
Jika Affandi masih hidup, umurnya 116 tahun sekarang.
Ilustrasi: Lukisan Affandi ini aku orat-oret bbrp menit lalu dgn media akrilik di kertas bekas kalender, berukuran sekitar 40x30cm. Dari lukisan “potret diri” yang dicetak untuk prangko, pada tahun 1997…
(Aries Tanjung)