Oleh AHMAD ERANI YUSTIKA
Piala Eropa 2020 yang diselenggarakan pada 2021 (akibat Covid-19) mendekati ujung. Italia masuk final dan mungkin saja akan menjadi pemenang palagan. Saya bukan fans berat negara Eropa untuk urusan bola, karena saya pecinta permainan Amerika Latin, khususnya Brazil. Namun, Italia lumayan meresap di hati sebab klub sepak bola yang saya puja adalah Napoli. Kisah ini panjang bila diceritakan, tapi kecintaan muncul sejak awal dekade 1990-an ketika Maradona bermain di sana. Kembali ke Italia, ada satu pemain masa lalu yang selalu saya kenang: Roberto Baggio. Penampilannya unik (rambut panjang bagian belakang, mirip poni kuda) dan prestasinya ciamik.
Kebetulan pula saya baru menonton film dokumenter tentangnya yang mengharu biru: _”Baggio: The Divine Ponnytail.”_ Sinema ini meriwayatkan legenda bola Roberto Baggio, salah satu pemain besar yang amat dicintai Italia. Bakat, semangat, dan nyali adalah identitas hidupnya. Sejak kecil Ayahnya (yang punya 8 anak dengan kondisi miskin) melihat Roby (panggilan Baggio) punya talenta bola yang luar biasa. Ia ingin anaknya menjadi pemain besar. Bapaknya mengarang cerita bahwa sejak berumur 3 tahun Roby sudah berjanji untuk mengalahkan Brazil di Piala Dunia. Itu yang menjadi landasan dan fokus hidup Roby: bermain bola sepanjang usia.
Pada usia 18 tahun ia telah bermain bola di liga Seri B dengan bayaran tertinggi. Pada saat motivasinya di puncak tetiba kakinya dihajar di lapangan, yang mengharuskan Roby operasi besar dan istirahat sangat lama. Dia patah. Ia bahkan sempat berucap agar Ibunya segera membunuhnya. Langit gelap. Tapi, pacar yang kelak menjadi istri dan memberinya 3 anak (Andreana), selalu menyalakan bara api: kerja keras dan tegakkan kepala. Roby bangkit lagi. Ia lantas menjadi pemain terbaik dunia 1993 _(Ballon d’Or)._ Roby bermain perkasa hingga dimasukkan Arrigo Sacchi ke skuad Piala Dunia 1994. Jalan bintang makin terang.
Pertandingan pertama Piala Dunia memukul Roby: takluk melawan Irlandia. Sacchi (pelatih legendaris Italia dan klub-klub besar dunia) marah besar dan menganggap Roby hanya seperti anak kecil yang berlarian di lapangan. Roby yang punya karakter keras selalu bersitegang dengan pelatihnya. Ia juga pernah muak ketika Sacchi mengeluarkannya di tengah pertandingan. Miliaran orang melihat dengan jelas ia mengucapkan kata “pelatih gila” atas keputusan Sacchi kala itu. Singkat kisah, Italia sampai final dan bertemu Brazil. Pertandingan seru harus diakhiri dengan adu penalti. Hasilnya? Tendangan penalti terakhir dilakukan Roby dan bola melambung di atas mistar. Italia gegar!
Selama 6 tahun sejak itu hidup Roby dipenuhi trauma. Kepalanya tidak pernah tegak. Ia merasa menjadi pecundang Italia. Namun, istri, ayah, dan guru spiritualnya (Roby penganut Buddha) membuatnya kembali merumput. Bapaknya bilang: Italia membutuhkanmu di Piala Dunia 2002. Ia lalu menerima tawaran masuk ke Brescia, menyelamatkan klub itu dari zona degradasi. Ia bermain gemilang, yang membuat Trapattoni (pelatim timnas 2002) datang ke rumahnya dan berjanji akan memanggil Roby ke timnas asal kondisinya bugar. Hidup Roby kembali mekar: bungah. Lagi-lagi takdir hidup tak bisa dielakkan. Roby kakinya diterjang kembali secara brutal di lapangan.
Istrinya hanya bisa berlinang air mata melihat dari TV. Andreana tahu, cedera ini mungkin akan mengubur selamanya peluang Piala Dunia. Namun, Roby tak menyerah. Saat itu Piala Dunia kurang 6 bulan dan dokter bilang ia paling cepat pulih 6 purnama. Tiap hari ia berlatih jalan, yang secara ajaib membuatnya pulih dalam 3 bulan. Ia bugar kembali dan bermain atraktif. Saat bahagianya di puncak datang telpon dari Trapattoni: Roby tak dipanggil ke timnas. Luka. Duka. Nestapa. Ia merasa dibohongi. Sesaat Roby mengamuk, tapi segera padam. Ia telah cukup masak berpikir bahwa kebesarannya bukan terletak di Piala Dunia, namun oleh perjalanannya mendaki di medan bola.
Riwayat seperti Roby ini amat banyak di kehidupan. Kepahitan dan manis hidup datang silih berganti, entah mereka sebagai atlet, politisi, saudagar, pengacara, musisi, aktor, intelektual, aktivis, agamawan, dan seterusnya. Tidak semua aktor hebat pernah memperoleh Piala Oscar. Demikian pula, tidak seluruh ilmuwan jempolan mendapatkan penghargaan Nobel. Namun, bakat raksasa akan terus dikenang karena donasinya yang besar bagi kehidupan pada bidangnya masing-masing. Roby tak pernah memeluk Piala Dunia, gagal ikut Piala Eropa, dan tidak pernah merasakan gelar Champions. Tetapi, itu semua tidak bisa menyembunyikan pesonanya sebagai salah satu pemain bola masyhur dunia. Hidup bukan soal piala, tapi kesanggupan menyumbangkan cahaya. *
Ahmad Erani Yustika, Penikmat Sinema, Arabika, dan Bola