“Tik…tik…bunyi hujan di atas genting.”
Itu sepenggal syair tentang turunnya hujan yang sering saya dengar. Baik sewaktu saya masih kecil, maupun saat ini setelah menjadi eyang bagi 2 orang cucu.
Bagi saya, hujan itu selalu menyenangkan dan membawa kenangan indah tersendiri. Makanya, agak sulit bagi saya untuk mencerna anggapan banyak orang yang mengidentikkan hujan sebagai ancaman bahaya.
Dari biang kemacetan, omelan para ibu karena jemuran numpuk gara-gara cucian tak kering, rumah bocor, air got meluap ke jalan raya, sampai banjir yang mampu menenggelamkan kawasan pemukiman.
Saya tak begitu aware tentang petrichor alias aroma tanah kering terkena tetesan air hujan. Bagi sebagian orang konon petrichor merupakan aroma terwangi mengalahkan bebauan apa pun. Sedangkan bagi saya, jatuhan air hujan itu yang memiliki daya tarik luar biasa.
Sangat mungkin, pengamatan ini menjadi semacam “hikmah” lantaran dulu sewaktu kecil saya termasuk anak yang sakit-sakitan. Kena hujan gerimis sedikit saja alamat bakal absen sekolah berhari-hari. Itulah mengapa, orangtua terkesan begitu ketat melindungi saya untuk tidak pernah main air, apalagi main hujan-hujanan yang justru amat sangat mengasyikkan.
Bebek Menari
Jadilah setiap kali hujan turun saya hanya bisa memandanginya dari balik kawat pembatas jendela. (Dulu bagi kami kelewat mewah untuk mampu membeli kaca nako yang terpasang di jendela).
Untungnya, saya tak pernah bosan. Meski sesekali muncul rasa sebal gara-gara merasa terkungkung, semakin lama saya justru sangat menikmatinya. Semakin saya amati, semakin menyenangkan melihat jatuhan air hujan di tanah.
Di mata saya, jatuhan air hujan saat mengenai tanah, lalu membuncah atau memantul ke atas, tak ubahnya seperti seekor bebek kecil yang tengah menari-nari riang.
Nah, semakin banyak bebek kecil yang terlihat menari-menari riang pasti semakin asyik dan menyenangkan. Tak heran kalau sampai sekarang, di usia 60 tahun, di mana pun, saat hujan turun, tak jarang saya menyempatkan diri untuk menyaksikan pertunjukan “bebek kecil menari” ini.
Saat sudah semakin besar, larangan mandi hujan pun terdengar menggoda untuk dilanggar. Makanya, ketika sudah duduk di bangku SMP, untuk bisa main hjan-hujanan seperti anak lain, saya malah sengaja pura-pura rajin membantu orangtua. Semisal mencuci piring meski bukan giliran tugas. Atau seregep menampung air hujan yang besok-besok bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Padahal sih niat ingsun adalah cari kesempatan untuk mandi hujan. Begitulah. (Puspa)