Ajarkan Anak ‘Menikmati’ Bosan

Ajarkan Anak ‘Menikmati’ Bosan

Dunia anak-anak adalah bermain, dalam arti melakukan aktivitas fisik yang mengharuskan mereka bergerak sehingga mood dan fokus mereka menjadi baik, mereka perlu melatih ketrampilan motorik kasar dan halus, butuh belajar berteman, serta belajar aktif dan punya peran ketika bermain bukan hanya menjadi penonton saja.

Minggu yang damai tanpa bergegas. Alarm dimatikan, food prep tak seketat biasanya. Pagi tanpa urat leher tertarik sebab menjerit. Mengapa?

Libur telah tiba, libur telah tiba … hore, hore.

Di Indonesia, nyaris sebulan ini 100% anak usia sekolah sedang rehat. Tidak hanya anaknya, orang tuanya, supirnya, pembantunya, termasuk guru-guru yang mendapat jeda tak dikejar kesibukan administrasi maupun persiapan materi mengajar.

Kini giliran tempat wisata edukasi, destinasi wisata keluarga, yang bersiap disesaki.

Euforianya berapa lama? Saya yakin, tak lebih dari sepuluh hari saja. Sesudahnya,

“Aku mau ke sekolah, Bu. Bosan nggak ngapa-ngapain di rumah.”

“Mi, aku main ke rumah teman ya. Pulangnya sore ya, abis di rumah nggak ngapain.”

Berikutnya sang ibu yang mengomel, “Mabar terus, YouTube-an terus?”

“Ya, nggak apa aku kan liburrr!”

“Tapiii ….”

Relate, Bu? Apa hal ini yang mulai terjadi di rumah-rumah keluarga kita?

Atau, Ibu tipe seperti di bawah ini? Memenuhi waktu jeda anak itu dengan program liburan. Agar kekosongan rutinitas itu tak sia-sia, agar anak tak menganggur, supaya mereka tak bosan tentu saja.

Hmmm.

BOSAN. Kata yang menjadi tantangan ketika semua berhadapan dengan liburan rutinitas.

Tak terkecuali si bungsu. Sebagai Gen Alpha yang kesehariannya tak lepas dari gadget, ketika baterai off, kuota habis, wifi mati, seketika dia panik. Gabut, kata anak sekarang. Suami saya selalu berkomentar, “Ya, kayak kamu. 24hrs with handphone!”

Saya tak mendebat, walau hendak bilang, dalam seminggu ini ponsel sempat tertinggal dua kali di rumah tanpa saya merasa panik atau bingung mau melakukan apa.

Kok bisa? Apakah saya sedang dalam fase bosan dengan dunia maya, sementara sehari-hari pekerjaan saya seputar hal tersebut? Atau, seperti si bungsu ucapkan saat kami berbincang tentang bosan.

“Aku lupa hpku saat lagi seru sama teman-teman. Main, ngobrol, lari-larian, jajan bareng ….”

Ya, saya setuju. Saya menjadi tak memerlukan ponsel, ketika otak saya telah bersiap akan adanya keseruan, dalam bentuk obrolan, yang sungguh tak tergantikan dengan percakapan dalam aplikasi meski berjam-jam lamanya.

Lalu, sama seperti lanjutan ucapan si bungsu.

“Aku perlu hp saat aku perlu dihibur, waktu aku sendirian dan nggak tahu mau mengerjakan apa.”

Fix, begitulah ternyata. Saya dan si bungsu ternyata ‘haus’ untuk dihibur, dahaga buat mencari solusi kebosanan dengan menceburkan diri dalam hal semu bernama dunia maya.

Saya jadi berpikir, apakah di luar sana, orang-orang juga berada dalam situasi yang saya dan si kecil alami?

Kebosanan dan Psikologi

Jennifer Casarella, MD pernah mengungkapkan bahwa kebosanan adalah emosi atau sinyal bahwa kita tidak melakukan sesuatu yang kita senangi, entah karena kita tidak fokus pada apa yang dilakukan atau hal yang dilakukan tak bermakna apa-apa, tak berguna dan tak menantang. Umumnya karena merasa terpaksa melakukan hal tersebut.

Sementara Simone Redaelli Ph. D mengungkapkan, kebosanan merupakan kondisi psikologis yang merefleksikan situasi nyata di mana kita tak terlibat penuh dengan apa yang dilakukan, baik aktivitasnya maupun lingkungan sekitar kita saat itu. Karena ketika bosan, waktu terasa sangat lambat dan kita kesulitan untuk tetap berkonsentrasi.

Menurutnya lagi, saat itu kita perlu menyadari untuk meng-switch sebenarnya mau melakukan apa.

Sebuah eksperimen sosial menunjukkan situasi kondisi tak bertujuan dapat memicu kebosanan, dan orang-orang yang bosan cenderung mencari kegiatan untuk bisa lepas dari situasi kondisi tersebut, termasuk melakukan hal-hal negatif.

Namun, mengapa ada orang yang begitu cepat bosan, ada yang tidak?

Mudah bosan ternyata terkait dengan stimulasi mental yang kurang optimal atau ketidakmampuan seseorang mengontrol rutinitasnya.

Sebuah riset menunjukkan orang yang begitu mudah merasa bosan, mungkin juga mudah teralih perhatiannya, kurang mampu mengontrol diri, termasuk kepercayaan dirinya; bahkan bila sesaat saja kita seketika bosan, perlu dievaluasi juga apakah kondisi mental saat itu sedang tidak baik-baik saja.

Alasannya, bagi sebagian orang kebosanan merupakan cara untuk melepaskan diri dari perasaan negatif atau mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Jadi, daripada dipaksa melakukan hal yang tak menyenangkan; lebih baik ‘masuk’ saja dalam situasi dan kondisi yang membosankan.

Bandingkan dengan kasus saya dan si bungsu. Sebelum kami berdua masuk ke dalam situasi membosankan, kami ‘lari’ dulu dalam aktivitas dunia maya.

Apakah hal itu lebih baik? Ehm, tidak juga.

Atau, harusnya …?

Lalu … Bagaimana pendapat kebosanan itu sebenarnya BAIK dalam proses pengasuhan anak?

Sekali-kali Biarkan Anak Bosan

Serius? Katanya tadi malah bisa melakukan hal yang negatif.

Saya mencoba merangkum beberapa referensi yang menunjukkan kebosanan malah mengajarkan anak sesuatu.

Pertama yang jelas membantu anak kreatif berpikir dan mendorongnya percaya diri mengambil inisiatif.

Pada dasarnya anak maupun dewasa perlu belajar mengelola rencana dadakan ketika dihadapkan waktu luang.

Duduklah bersama si kecil dan obrolkan minat dan kesukaan anak. Buatlah daftar aktivitas apa yang bisa dilakukan saat dilanda kebosanan? Apa membersihkan, lalu memilah isi kotak mainan? Atau menata ulang buku-buku di ruang keluarga? Atau mencuci mainan yang washable, hingga tak disemuti lagi? Atau membuat boredom jar (toples solusi bosan) yang berisi aktivitas yang bisa dilakukan saat mulai bosan; semisal main monopoli bareng, bikin donat atau dog treats, main sepeda ke taman perumahan, role play minimarket dengan uang-uangan yang dibuat sendiri, role play salon/barbershop dan pelanggannya melukis dengan jari, melakukan banyak DIY seperti yang pernah ditonton, dstnya.

Banyak sebenarnya aktivitas untuk, oleh dan dari si kecil. Dan, ingatkan anak, semua aktivitas itu dialah desainer dan atau pemimpinnya.

Dia yang perlu menyiapkan barang-barang, tempatnya di ruang mana di dalam rumah atau di luar rumah, apakah ada biaya yang diperlukan, serta anaklah yang menjelaskan kepada orang tua langkah-langkah aktivitas tersebut.

Apabila setelah obrolan selesai, anak-anak tetap tak berminat dengan ide yang ditawarkan, ketahuilah, bahwa saat itu anak hanya ingin kita memberi banyak perhatian kepadanya, terutama dengan menuruti yang diinginkan. Jangan segera memenuhinya. Karena anak akan berpikir lain kali tolak saja semua ide orang tua agar mendapat hal yang diinginkan.

Semisal mereka meminta ijin menggunakan laptop, menonton TV, sebagai pengganti kuotanya atau baterainya yang habis. Menawarkan hiburan serupa screen time semacam itu hanya akan menjadikan proses pengasuhan kontra produktif lagi.

Tawarkan satu dari dua kegiatan yang mesti mereka pilih. Dan, bila tetap tidak berjalan sesuai rencana, ajarkan anak bahwa hidup pun menawarkan pilihan-pilihan seperti itu, yang tidak selalu sesuai yang kita kehendaki.

Laman Aha!Parenting, menuliskan sesungguhnya anak-anak berada pada fase paling bahagia ketika bermain permainan kreasi/ciptaan mereka sendiri. Karena bermain adalah pekerjaan utama anak, termasuk merasakan sensasi permainan dan pengalaman-pengalaman baru. Lihatlah anak-anak yang bermain di lapangan, mereka akan menjadi pencipta, pemimpin, pelaksana, maupun penggembira saja.

Di akhir tulisan ini, ada beberapa pertanyaan yang silakan dijawab sendiri oleh Ibu, atau Ayah yang mungkin membaca ini.

Ketika anak mulai berujar bosan, dan tak menemukan ide apapun untuk melakukan hal apapun, pertama-tama ladeni dia, tanyakan apa keinginannya, sambil tawarkan untuk membantu kita melakukan pekerjaan domestik. Biasanya anak yang tak terlalu berminat dengan apa yang kita lakukan, akan segera beralih ke kegiatan yang mereka ciptakan sendiri, dan lebih mereka minati.

Sambil berproses dengan anak ketika itu, orang tua bisa melakukan evaluasi. Periksalah :

• Apakah mereka terlalu kita manjakan dengan hiburan dari layar ponsel, tab, laptop, dan televisi?

• Apakah keseharian mereka sudah kita atur dari jam ke jam, sehingga ketika tidak ada rutinitas, mereka menjadi bingung dan tak mampu berpikir sendiri?

• Apakah mereka tak memiliki teman bermain di sekitar rumah, dan belum menemukan keasikan melakukan segala sesuatu sendiri?

• Apakah mereka hanya beraktivitas, bila diatur, didesain waktu maupun apa yang harus dilakukan oleh orang tua, tak bisa berinisiatif sendiri?

Semua jawaban, hanya Ibu dan Ayah yang tahu, dan bisa dijadikan evaluasi untuk langkah selanjutnya.

Ingatlah selalu, anak-anak Gen Alpha (kelahiran 2012 sampai sekarang) ini sangat candu dengan tayangan, hiburan dunia maya. Karena gadget memang didesain untuk menghasilkan “dopamin” ketika beraktivitas dengannya, yang membuat anak-anak menikmati dan merasa terhibur.

Namun, dunia anak-anak adalah bermain, dalam arti melakukan aktivitas fisik yang mengharuskan mereka bergerak sehingga mood dan fokus mereka menjadi baik, mereka perlu melatih ketrampilan motorik kasar dan halus, butuh belajar berteman, serta belajar aktif dan punya peran ketika bermain bukan hanya menjadi penonton saja.

Jadi,

Siapkah Ibu atau Ayah, bersama anak ‘menikmati’ bosan di waktu liburan ini?

Dicoba ya ….

https://seide.id/toleransi-dalam-sepiring-pecel/

https://seide.id/kisah-perempuan-drama-korea-dan-realita/

https://seide.id/arahkan-pikiran-tentukan-masa-depanmu/

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta