Seide.id – Kasus pemenang Oscar 2022 Will Smith menampar Chris Rock di podium acara akbar penganugerahan Oscar, beberapa waktu lalu, menjadi pembelajaran bagi kita. Will Smith dihukum 10 tahun tidak bisa ikut nominasi Oscar lagi, selain beban sosial lain yang harus dipikulnya, akibat melakukan sesuatu yang tidak elok, tidak sepatutnya di muka umum, hanya karena istrinya diperolok-olok MC Chris Rock pada acara Oscar.
Kita melihat, kasus Will Smith, bahwa prestasi sehebat apa pun, baru saja meraih Oscar, pada saat yang sama tercoreng nama besar dan menggugurkan apresiasi terhadap prestasinya, hanya akibat melakukan perbuatan menampar MC di depan publik dunia yang menyaksikan acara terhormat, dan bergengsi. Berprestasi tapi bukan orang baik, merugikan diri sendiri.
Pembelajaran lain buat kita, perbuatan menampar yang spontan ini jelas bukan perbuatan terpuji, dan tidak elok, tidak sepatutnya. Besar kemungkinan sebab kecerdasan emosinya (EQ) rendah.
Kita membaca peran EQ terhadap kesuksesaan seseorang bisa lima kali lebih besar ketimbang peran IQ. Jadi sehebat, sepintar apapun, bila EQ rendah saja, kecil untuk bisa meraih sukses, atau untuk kasus Will Smith, sukses yang dibatalkan, yang digugurkan sendiri.
Amarah, geram, disertai emosi negatif lainnya, apakah keserakahan, kebencian, sikap tidak suka, ujungnya kebinasaan, ini kata pepatah kuna. Will Smith sudah mengalaminya sendiri. Tidak boleh mengambil keputusan saat sedang emosi, karena berisiko merugikan diri sendiri. Ucapan kalau merasa diri direndahkan, dilecehkan, “Dia atau saya yang keluar?”, ini ungkapan klise yang tidak cerdas emosi, karena berakibat kehilangan pekerjaan, jalan meniti karier, atau jabatan.
Hal kedua, kasus ini terjadi selain seseorang memiliki EQ rendah, bagi setiap orang beradab, perlu punya sikap menjunjung tinggi kebenaran, yang senantiasa menguasai akal sehat, dan nilai religi. Orang baik menyimpan kesemua ini.
Hanya apabila hati kita bening, setiap orang mampu merawat akal sehatnya. Sikap-pikir-lakunya benar di mata semua orang berakal sehat, pada setiap waktu, di semua tempat. Itulah kebenaran yang kita maksudkan, dan mestinya juga meliput juga kebenaran ilahi, apabila seseorang tergolong orang beriman.
Itu perlunya pendidikan humaniora bagi mereka yang hatinya tidak atau belum bening, yang sikap-pikir-lakunya serong, kembali merestrukturisasi superego, polisi batin, yang mengendalikan ego yang beringas, ego yang tidak tahu aturan, ego yang tidak beradab.
Sehebat apapun, seberkuasa sekaya apapun, sepintar apapun, bila tidak cerdas merawat akal sehat, bukan saja merugikan diri sendiri, malah mencoreng nama sendiri, selain kemungkinan juga bisa membuat orang banyak tidak nyaman.
Dalam hidup dan kehidupan selalu butuh dan perlu berakal sehat, siapapun kita. Akal sehat yang mengantarkan kita sukses hidup, mengantarkan kita menjadi somebody, menjadi sesiapa karena berpihak pada kebenaran. Benar kata orang banyak, pada setiap waktu, dan di setiap tempat. Kebenaran universal. Bahasa hati nurani.
Berakal sehat membawa seseorang yang tahu aturan, menghargai orang lain, menghormati kehidupan, melihat segala sesuatu sebagai nilai. Mampu menalar kalau berdebat dan berdiskusi. Tanpa berakal sehat, berdebat menjadi pokrol, karena tidak mungkin nyambung, oleh karena ada emosi di sana, ada sikap tidak suka di sana, sehingga kalau mengkritik, lemah saja argumentasinya.
Mengkritik kebijakan omnibus law, misalnya, tapi arti omnibus law tidak tahu. Baru wacana, sudah didemo. Pihak yang bicara benar dibenci, diserang, dilawan. Kondisi begni yang berpotensi membuat bangsa berisiko terbelah.
Malu kita sebagai bangsa besar yang dunia melihatnya bangsa beradab, bila ada pihak-pihak yang membuatnya tidak beradab. Bila gara-gara ada muatan kepentingan tertentu. Bila gara-gara ada politik menghalalkan cara.
Oleh karena tidak menyimpan akal sehat, alih-alih merawatnya, pihak yang benar bisa dijadikan seteru. Kebenaran lalu menjadi pilihan selera. Benar kata kamu, belum tentubenar, atau tidak benar menurut aku. Di sini berawal kekacauan etis, bisa jadi berisiko merusak keutuhan bangsa.
Salam berakal sehat,
Dr Handrawan Nadesul