OLEH ; SYAEFUDIN SIMON
Rabu, 4 Zulhijjah, tahun 23 Hijriyah. Fajar baru saja menyingsing ketika Khalifah Umar Ibn Khatab datang ke masjid hendak mengimami salat Subuh. Sebelum salat, Umar menunjuk beberapa orang di masjid agar meluruskan saf. Setelah semua saf sudah lurus dan teratur, Salat pun siap dilaksanakan. Tapi baru saja Umar mulai niat salat, tiba-tiba muncul seorang laki-laki di saf pertama, di belakang Umar. Sang lelaki itu, langsung menikam Umar dengan pedangnya berkali-kali. Umar pun roboh. Beberapa jam kemudian Umar tewas akibat luka-lukanya yang parah di perutnya.
Siapa pembunuh kejam itu? Abu Lu’lu’ah Fairuz! Ia seorang budak milik Al-Mugirah bin Syu’bah, berasal dari Persia. Kedatangannya ke Masjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi buta tersebut. Fairuz dendam kepada Umar — Khalifah Islam yang telah mengalahkan Kerajaan Persia, negara yang dibanggakannya.
Fairuz, seorang radikal. Ia memendam kebencian terhadap Umar yang menghancurkan negeri nenek moyangnya. Ia pun nekad membunuh Umar, melampiaskan dendamnya. Redemption — pinjam istilah pengamat terorisme Nurhuda Ismail — menjadikan Fairuz nekad untuk menebus dosanya akibat tak mampu memberikan sumbangan kepada negeri yang dicintainya ketika dihancurkan Umar.
Dua belas tahun kemudian, hari Jumat 18 Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, Khalifah Ustman tewas. Setelah mengepung 40 hari, para pemberontak berhasil memasuki kediaman Khalifah. Ustman pun dibunuh ketika sedang membaca Alqur’an. Para pemberontak tersebut, lagi lagi berasal dari kelompok radikal yang tidak menyukai Khalifah Ustman. Ustman dianggap lembek dan nepotis; tak bisa menjadi khalifah yang baik dan adil.
Lima tahun setelah wafatnya Ustman, Khalifah Ali bin Abi Thalib juga tewas mengenaskan di tangan muslim radikak. Pembunuhnya Abdurrahman ibnu Muljam. Ibnu Muljam seorang ahlussunnah, fasih membaca Alquran, dan hafiz (penghafal Alquran) yang disegani karena kesalihannya. Ia pernah diutus oleh Khalifah Umar bin Khatab pergi ke Mesir untuk mengajar Alqur’an di Negeri Fir’aun itu.
Ibnu Muljam membunuh Ali karena pengaruh paham radikal Khawarij. Bagi Ibnu Muljam — Khalifah Ali dalam menjalankan pemerintahan tidak berhukum pada Alqur’an. Bayangkan, tiga khlaifah generasi utama, ketiganya sahabat terbaik Rasulullah, dalam kurun 40 tahun setelah Hijrah, tewas dibunuh secara mengenaskan.
Tragisnya, para pembunuhnya juga orang-orang Islam. Mereka ekstrim dan radikal. Dari keempat khalifah utama tersebut, hanya Abu Bakar As-Shiddiq yang meninggal wajar tanpa dibunuh. Itulah awal perjalanan sejarah Islam.
Dari gambaran di atas, salahkah jika orang menyatakan Islam itu radikal dan ekstrim? Jika ada orang menuduh Islam seperti itu, jangan marah dulu. Juga tak perlu apriori. Sejarah memang membuktikannya. Radikalisme diakui atau tidak, memang sudah tercatat di awal perkembang sejarah Islam.
Tiga orang khalifah al rasyidin, yang juga sahabat-sahabat Rasul terdekat — Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib — meninggal karena radikalisme. Terlebih lagi setelah perang Siffin, antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, radikalisme Islam makin menjadi-jadi. Setelah itu, kekhalifan-kekhalifahan Islam bermunculan silih berganti — baik dari dinasti Umayyah maupun Abbasiyah — dengan pemerintahan despot dan berlumur darah. Hampir setiap pergantian khlalifah berlangsung dengan cara yang tidak wajar. Dendam, pengkhianatan dan pembunuhan.
Lahirnya kelompok Khawarij yang mengusung doktrin “la hukma illallah” pada masa itu yang mengkafirkan siapa saja yang berbeda paham dengannya, menjadikan ‘orang luar’ melihat Islam sebagai agama teror. Pasang surut paham dan gerakan radikal ini tercatat dalam perjalanan sejarah Dunia Islam. Meski agama Islam secara esensial dihadirkan Allah melalui Nabi Muhammad sebagai agama damai, tapi paham radikal tersebut tak pernah benar-benar lenyap. Bahkan ketika kelompok Khawarij secara historis telah hilang, paham dan ideologi radikal tetap hidup. Ideologi radikalisme tak pernah mati sepanjang sejarah Islam.
Di zaman modern, ideologi Islam radikal makin menakutkan. Peristiwa 11/9/01 yang menghancurkan World Trade Center, New York, menjadi isu radikalisme agama terpenting di abad 21. Kehadiran Negara Islam Irak dan Siria (ISIS) menambah ketakutan dunia terhadap Islam. Sejak ISIS mendeklarasikan diri sebagai Kekhalifahan Islam, 2004, ratusan ribu orang dibunuh di Irak, Suria, dan wilayah wilayah yang dikuasainya.
ISIS makin menakutkan setelah organisasi radikal Islam yang lain seperti Boko Haram di Nigeria, Thaliban di Afghanistan, dan Abu Sayaf di Filipina berbai’at kepada Abu Bakar Al Baghdadi, Khalifah ISIS. Kehadiran ISIS makin menguatkan keyakinan masyarakat internasional bahwa ideologi Islam radikal tak akan pernah mati.
Saat ini, fenomena radikalisme di dunia internasional makin mencekam karena gerakan-gerakan ideologi radikal dan ekstrimtersebut. Negara-negara Islam dan Timur Tengah menjadi panggung pertunjukan kekejamannya. Dunia kini menyaksikan jutaan
pengungsi dari Timur Tengah dan negara-negara Islam lain menyerbu Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia. Mereka ketakutan, lari dari negaranya yang terus berperang.
Kini, Suriah, Palestina, Irak, Yaman, Pakistan, Afghanistan, Filipina, Indonesia, Mesir, Libya, Ethiopia, dan Nigeria, – semuanya negara Islam atau mayoritas penduduknya beragama Islam – menjadi tempat yang yang dianggap berbahaya, karena banyaknya aksi-aksi terorisme yang mengancam kemanusiaan.
Lalu, bagaimana Indonesia – negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia? Akankah digerogoti ideologi Islam radikal yang membahayakan itu? Dunia tak akan pernah melupakan ledakan dahsyat bom Bali satu dan dua. Setelah itu, puluhan bahkan ratusan
kasus terorisme menggetarkan Indonesia. Kelompok kelompok intoleran dan radikal pun tumbuh di mana mana. Bahkan kelompok intoleran ini — kadang mendapat dukungan sebagian tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan pegawai negeri.
Setara Institute, misalnya, dalam risetnya menemukan banyak perguruan tinggi negeri ternama yang sudah terpapar virus intoleransi dan radikalisme. Kita masih ingat, bagaimana seorang dosen salah satu perguruan tinggi negeri ternama menjadi “dalang” pemboman di Jakarta. Di pihak lain, banyak organisasi berlabel Islam yang aksi-aksinya mengindikasikan penyebaran intoleransi dan radikalisme.
Gambaran tersebut, jelas sangat mencemaskan masa depan Indonesia yang negaranya berdasarkan Pancasila. Kenapa? Intoleransi dan radikalisme adalah benih-benih terorisme. Orang menjadi teroris awalnya intoleran dulu. Lalu radikal. Kemudian menjadi teroris.
Jadi, jangan anggap remeh meruyaknya intoleransi di sekitar kita. Di tahap ini, sebagian umat beragama masih melindungi intoleransi dengan alasan “keyakinan agama” yang harus dipelihara. Dari intoleransi, tumbuh radikalisme. Pada tahap ini pun, tak sedikit umat mendukungnya — atas nama fanatisme dan pemurnian ajaran agama. Ketika aksi terorisme meledak, para pendukung intoleransi dan radikalisme cuci tangan, dengan menyatakan tak ada terorisme dalam agama. Wah!
Sayyidina Ali ketika menyaksikan kaum radikal membentangkan bendera bertuliskan kalimat dua syahadat di hadapannya, menyatakan: Mereka sesungguhnya kaum kafir dan munafik yang menunggangi Islam untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka adalah musuh-musuh Allah dan Rasulnya.
Apa yang dinyatakan Ali, menantu Rasulullah, kini terbukti. Agama telah ditunggangi kaum radikal dan teroris untuk menghancurkan kemanusiaan atas nama Tuhan. Jauh sekali dengan tujuan Allah menghadirkan Nabi Muhammad di muka bumi: Untuk memperbaiki akhlak manusia dan rahhmat bagi alam semesta.