Oleh EDDY J SOETOPO
OTORITARIANISME sebagai mahzab barangkali tidaklah berbahaya. Apalagi bila dipahami sebatas paham ilmu pengetahuan. Lain hal bila otoritarianisme bukan lagi dimengerti sebagai isme, melainkan praksis pemaksaan paradigmatik. Di situlah otoriterianisme berubah menampakkan jatidirinya sebagai hantu yang menakutkan. Apalagi ketika penguasa negara, dalam berbagai kenyataan di Indonesia, acapkali m mpraktikkan paham itu menjadi bagian dari sistem pemerintahan otoriter.
Masih ingat, peristiwa 27 Juli beberapa tahun silam, ketika kekuasaan negara berupaya meluluhlantakkan struktur demokrasi, yang sedang dibangun para aktivis, sebagai pilar gerakan pro demokrasi. Berbagai upaya dilakukan aparat keamanan negara melibas setiap gerak-gerik aktivis yang mereka nilai berseberangan diametral dengan kemauan rezim pemerintahan otoriter yang ingin bercokol mempertahankan kekuasaan, misalnya.
Tidaklah mengherankan bila stigma mencari-cari kesalahan ditebar untuk menyudutkan kelompok-kelompok perlawanan, banyak ditemui dengan mata telanjang. Meskipun pelabelan yang dilekatkan ke kelompok-kelompok perlawanan itu, tidak masuk akal sehat sekalipun, toh penghamburan stigma itu sangat efektif membungkam gerakan aktivis, apalagi mereka —tidak sedikit aktivis jumlahnya— bernyali ciut.
Di zaman pemerintahan rezim otoriter Soeharto berkuasa, saat penyerbuan kantor PDI Perjuangan pada 27 Juli 1996 di Jakarta, almarhum Menteri Koordinator Keamanan Susilo Sudarman dalam siaran pers yang di tayangkan televisi, menuduh kerusuhan di Jalan Diponegoro didalangi OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, pernyataan yang dilontarkan Susilo Sudarman tanpa disertai bukti-bukti valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Tidak hanya itu. Selang beberapa hari kemudian, stigma lain yang tidak masuk akal digulirkan Kasospol ABRI, Mayjen TNI Syarwan Hamid. Menurut Syarwan, dalang penyerbuan di kantor PDI Perjuangan yang memicu kerusuhan massal mengakibatkan puluhan orang tewas ditunggangi oleh Partai Rakyat Demokrati s (PRD). “Dari cara bersiulnya, saya bisa membedakan ideologi orang itu komunis atau bukan. PRD itu berhaluan komunis,” kata Syarwan Hamid.
Sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Syarwan Hamid bisa mengetahui kalau orang yang sedang bersiul berhaluan komunis atau bukan. Mungkinkah siulan seseorang dapat dibedakan, apakah ia berideologi komunis atau tidak. Sungguh berbahaya stigma yang dilontarkan seorang pejabat negara yang mestinya mengayomi rakyat, justru menggelontorkan stigma menakutkan seperti itu.
Bisa dibayangkan hanya dengan menempelkan stigma sebagai penganut ideologi komunis kepada seseorang, sertamerta orang tersebut tercampak ke posisi yang sangat mengerikan. Tak dapat disangkal dengan pelabelan pada seseorang berideologi Komunisme, Marxisme dan Leninisme, aparat keamanan negara mudah menciduk seseorang dan menjebloskan ke penjara tanpa melalui proses peradilan.
Mereka beranggapan menangkap, menyiksa, membungkam dan menjebloskan ke penjara —bahkan membunuh sekalipun— pada orang yang dinilai berhaluan Komunisme, Marxisme dan Leninisme secara sepihak, menjadi
sah karena dilindungi negara. Oleh karena ajaran itu, hingga kini, dilarang dan diharamkan di Indonesia melalui ketetapan MPRS No.XXV/1966. Jadi janganlah heran bila stigma itu masih tetap menakutkan.
Pertanyaannya adalah, siapakah yang sebenarnya berhak menentukan apakah ideologi seseorang terkategori sebagai mahzab sesat dan tidak? Apalagi mengadilinya dengan semena-mena tanpa proses peradilan yang jujur dan terbuka karena paham yang dianut seseorang itu dianggap sesat.
Ketika seseorang dengan mudah untuk mengatasnamakan kebenaran dan kemudian menganggap yang lain tidak benar, bukankah hal itu merupakan klaim pembenaran atas kebenaran? Padahal tidak ada kebenaran absolut yang mampu ditegakkan siapa pun melalui klaim pembenaran dalam tataran ideologi.
Budaya menghakimi tanpa proses peradilan yang jujur dan transparan saat itu, menjadi salah satu ciri pemerintahan rezim Orde Baru di bawah kendali Soeharto. Tidak banyak aktivis yang benar-benar berani menentang bekas presiden kala itu. Kalau pun toh ada, hanya segelintir orang nekat yang berani
“pasang badan” untuk memperjuangkan suatu tatanan masa depan bangsa yang lebih baik. Absurd memang. Seabsurd sejarah bangsa Indonesia yang seringkali dibawa ke suatu wilayah abu-abu. Serba tidak jelas.
Aktivis dalam Bahaya?
Dalam pernyataan memperingati hari Hak Asasi Manusia sedunia beberapa waktu lalu mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa penghormatan terhadap HAM di Indonesia saat ini lebih baik. Benarkah demikian? Fakta impiris menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu pernyataan
Presiden SBY perlu ditanggapi secara serius agar tidak menimbulkan kesalahan interpretasi-sistemik.
Sebab berbagai kasus intimidasi, pembungkaman, pemenjaraan dan penghilangan nyawa manusia, terutama para aktivis, ditengarai terjadi di beberapa daerah, dan tampaknya akan terus berlanjut, sebelum dan bahkan,
sejak SBY melenggang ke Istana Merdeka.
Masih segar dalam ingatan kolektif rakyat kematian wartawan Harian Bernas, Udin, di Jogya; pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidohardjo; pembantaian biadab para mahasiswa dalam tragedi Mei berdarah di Semanggi dan Trisakti di Jakarta; penghilangan nyawa aktivis Papua, Thyeis, semua peristiwa itu menyisakan kecemasan mendalam.
Belum lagi upaya aktivis korban penculikan yang selamat untuk menemukan tiga belas rekan mereka yang hilang hingga kini membuahkan hasil, bangsa Indonesia kembali dikejutkan oleh pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir.
Munir, penerima penghargaan Human Right Defender, yang lahir 8 Desember 1965, di Batu Malang, Jawa Timur, dibunuh menggunakan racun arsenik, 7 September 2004, di kabin pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda, diduga berlatar konspirasi politik-keaman yang melibatkan peran institusi di bawah kendali negara.
Seperti halnya kematian para aktivis lain di Indonesia yang tidak pernah ditemukan siapa pelaku dan aktor intelektualnya, naga-naganya kasus pembunuhan Munir juga akan mengalami hal yang sama: tak terungkap.
Sungguh sangat ironis. Bila horor berdarah itu terjadi dan terus terulang, jelas hal ini merupakan teror berdarah bagi para aktivis penegak hak asasi manusia.
Pertanyaannya, benarkah aktivis hak asasi manusia di Indonesia dalam bahaya? Akan kembalikah rejim penguasa bertangan besi mencengkeram kehidupan demokrasi di Indonesia? Sejarahlah yang akan mencatatnya. Meski sejarah acapkali ditempatkan di bawah bayang-bayang politik dan kekuasaan,
sejarah mempunyai academic authority.
Dan masyarakat kian menyadari bahwa selama ini penulisan sejarah sering menyesatkan. Dan ini yang lebih penting — kematian aktivis karena berseberangan dengan penguasa negara— tidak boleh
lagi tertulis dalam catatan sejarah bangsa Indonesia.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies [IMSS] dan Pemimpin Redaksi Sarklewer.com