Mataku menengadah ke langit, mencari bintang terbaik dari sekian ribu bintang yang bertebaran. Lalu bertanya pada salah satu bintang yang terindah itu, “Di mana letaknya kebahagiaan itu?” pertanyaan itu hampir setiap malam kuulang. Namun bertahun-tahun aku bertanya, jawab yang kuterima hanya semu belaka. Aku terhempas dalam teriknya mentari, ia memanggang kulitku hingga memekat menjadi coklat tua, kecantikan yang kumiliki mulai samar, dan aku harus mengucurkan peluh lebih deras lagi, mengucurkannya dari waktu demi waktu.
Jangan tanya asal-usulku, jangan pula tanya mengapa aku ada di sini, di sebuah pasar ikan yang bersisian dengan pantai indah ini, sebab aku tak mau dari pancaran matamu muncul rasa iba yang berlebihan. Aku tak mau ada ucapan yang keluar dari bibirmu bernada cibiran, tak ada yang perlu dikasihani, tak ada yang dapat kau cibiri, sebab aku adalah aku, aku yang meniti langkah hingga tapak-tapak kaki berdarah-darah. Aku yang mengasihani diriku sendiri, karena aku memang sendiri, sendiri memanggul beban yang menukik di punggungku. Ya, jangan bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan personal yang menyakitkan. Cukup panggil aku Su, karena di situ ada beragam kisah dan carut-marut kehidupan yang getir segetir rasa asam yang menempel di lidah.
Aku, Su, adalah perjuangan. Ketika pagi merayap diam-diam, langkahku lebar menuju pelelangan ikan, menanti dengan sabar mahluk-mahluk laut itu bergelimpangan di keranjang berbau amis, meneliti ikan mana yang terbaik yang bisa kubawa ke bandar atau tauke yang tega memberikan harga termurah, yang masuk ke mulut-mulut sang borjouis di mana mereka dengan lahap dan penuh selera memasukkan daging-daging ikan itu ke kerongkongan mereka. Tak yang ada yang peduli di situ, seorang perempuan coklat kehitaman menembus sang terik mentari, memburu waktu yang berjalan cepat tak mengenal kata kompromi.
Mentari adalah sahabat paling setia yang kumiliki, ia memanggang tubuhku dengan penuh sayang, memberikan keringat yang mengucur di sela-sela kening, ketiak dan punggungku. Pernah kukatakan padanya agar ia meringankan sedikit beban yang kupikul, sebab hari itu ikan-ikan yang tertangkap nelayan meluncur ke tempat tersembunyi, mereka enggan menampakkan diri. “Tolong, jangan beri sengatmu pada mereka, aku belum memperoleh ikan seekor pun, uang yang kukumpulkan tak sebanyak yang kuinginkan, dua anakku belum membayar iuran sekolah mereka. Suami biadabku pergi dengan perempuan lain, bergembira di atas deritaku. Ayo berdamailah denganku. Dan bergeser sejenak, memberikan keteduhan hingga senja mendatang!” pintaku.
Aku Su, perempuan legam yang mengejar subuh untuk menuai ikan terbaik di pelelangan ikan. Aku berpacu dengan udara pagi, tubuhku mengkerut di dinginnya cuaca, menggigil dalam baju hangat kumalku yang berbau amis. Tak ada yang bisa kuberikan cinta, karena aku adalah perempuan pengejar waktu, yang menghitung detak demi detak dengan teliti dan cermat. Bagiku, bisnis lebih utama dari rumahtangga, jika bisnisku hancur maka rumah tangga juga akan hancur, sebab tak ada lagi yang bisa digunakan untuk makan hari ini, untuk membayar uang sekolah anak, untuk biaya perawatan bila mereka sakit. Cinta? Ah itu hanya indah diucapkan. Sebab jika anak-anak terlahir ke dunia, cinta menjadi bias, yang muncul adalah tanggungjawab. Dan tanggungjawab pun kini tak lagi berbekas karena suami yang kupuja tidak lagi menghargai semua yang ada. Ia hanya pecundang amatir yang berlari dari hadapanku, berlari mengikuti sosok cantik, putih dan menawan. Maka ketika semuanya menjadi abu-abu, kepercayaan yang kumiliki lenyap sudah. Aku melangkah dengan tegar menggapai angan-anggan agar anak-anak dan masa depannya tak koyak oleh rasa duka yang tercipta akibat kehilangan. Aku yang akrab dipanggil Su, bangkit dari ketiadaan merubah jalan dari ada menjadi tiada. Mengusir derita dengan kalimat yang kutata apik di relung terdalam hatiku, “Su, lupakan kepedihan, lupakan penjajahan, lupakan penghianatan. Di dalam raga yang dianggap lemah, aku adalah Su yang berjalan tegar menantang sang perenggut kebahagiaan!”
Ya…aku adalah Su, panggil namaku seperti itu saja…
Oleh : Fanny Jonathan Poyk