Cerpen oleh Belinda Gunawan
“Mama?”
“Papa, Via,” kataku di telepon. “Mama sudah tidur. Ngomong sama Papa aja, ya?”
“Mmmm, ga usah deh.”
“Kok gitu?”
“Papa ngomongnya nggak enak. Suka nyalahin.”
Wah, aku dikritik bungsuku.
“Belum tentu, Via.” Lalu kusambung cepat, “Oke, Papa janji tidak akan nyalahin kamu.”
Diam. Lalu putriku yang kuliah di luar kota itu berkata, “Pa, aku…”
“Ya…?”
“Daddy, I broke up with him.”
Deg. Pikiranku mulai menyalahkan dia. Apa kataku. Kuliah baik-baik dan jangan pacaran dulu. Sekarang putus cinta, nggak enak, kan? Tapi kemudian dengan mata batinku aku membayangkan dia: kecil, ringkih, jauh dari orangtua, sendirian, bingung, sedih….
“Papa?”
“Yes, dear?”
“Papa gak menyalahkan aku? Papa kan pernah bilang…”
“Oh, tidak, Sayang,” kataku. “Kamu mau cerita pada Papa?”
“Mmmm… Pa, mulanya kami hanya berselisih paham. Tolong jangan menyela. Biar aku cerita sampai selesai.”
Aku menahan diri tidak bicara sepatah pun. Paling-paling mendehem supaya ia tahu aku masih mendengarkan.
Dari ceritanya jelas, percik-percik pertentangan mulai muncul antara Olivia dan Kevin setelah mereka “jalan” beberapa bulan. Maklum, dua budaya, dua latar belakang, ditambah usia yang masih muda dan cenderung egosentris.
Rupanya Kevin bukannya menyelesaikan masalah, malah menjauh. Ketika Via mengancam akan putus, dia bukannya minta maaf atau mencari jalan keluar, melainkan secara demonstratif mendekati gadis lain.
“Aku tidak mau diperlakukan begitu, Pa.”
“Papa sudah boleh ngomong?” tanyaku mengisi ‘pause’ yang agak lama.
“Ngomong saja, Pa.”
“You dumped him? You really did?”
Dia tergelak. “Aku galak ya, Pa?”
Aku mengangkat jempol. Menyadari ia jauh dan tak bisa melihatku, kutambahkan, “Angkat jempol buat anakku yang tegas dan galak.”
“Makasih jempolnya, Pa.”
“Via, perasaanmu gimana?”
“Pa, aku sedih. Marah juga. Gengsi juga.”
“Kamu menyesal?”
“Banget, Pa. Aku menyesal sudah ‘jalan’ sama dia. Aku menyesal berharap dia akan selalu baik padaku. Tapi…ah sudahlah, no regrets. Dari kejadian ini aku melihat sisi lain Kevin. We don’t match, Pa.”
“Anak pinter.”
“Ah, Papa…”
Lalu tambahnya, “Pa, aku masih penasaran, kok Papa nggak bilang ‘apa kataku’?”
“Kapok aku, Via.”
“Kenapa?”
“Itu membuat kamu nggak mau curhat pada Papa.”
“Akhirnya Papa insap.”
Sekarang aku yang ngakak. “Boleh Papa ngomong sesuatu yang lain, Via?”
“Boleh.”
“Olivia dear, everything happens for a reason. It’s time for you to move on with your life.”
“Ah, Papa sok nginggris.”
“Ketularan kamu.”
“Pa…udah dulu ya.”
“Nggak perlu bangunin Mama?”
“Besok aja aku telepon lagi. Kali ini cukup curhat pada satu parent. Pada Papa.”
Aku terlambung. Satu, karena pendapatku benar. Bukankah dulu aku sudah bilang, tidak usah pacaran dulu? Dua, karena Via ternyata tidak seringkih perkiraanku, buktinya ia berhasil mengatasi kemelut hidupnya. Tiga dan utama: karena walaupun posisiku ‘hanya’ Papa, aku dipercaya….
19 Oktober 2021