REFLEKSI oleh Belinda Gunawan
Sudah jam 6 lewat ketika ada pengemudi taksi online menyambar pesananku, dan tahu-tahu sudah sampai di depan rumah kakakku. Perjalananku masih cukup jauh menembus macetnya ibukota selepas jam kerja. Maka aku pun duduk dengan lega di mobilnya. Mau jalan kiri atau kanan, terserah pengemudi dan Waze-nya.
Menjelang keluar ke jalan raya ia bilang, “Ibu tidak terburu-buru? Kalau tidak keberatan saya perlu mampir ke pom bensin.”
“Oh, bensin habis?”
“Bukan Bu, saya mau salat Magrib, takut gak keburu.”
“Yaaaa… boleh,” kataku. Dalam hati berharap, mudah-mudahan jalanan sangat lengang sehingga tersedia cukup waktu untuk dia salat setelah aku tiba di rumah. Terbayang di mataku: pom bensin, gelap, nini-nini sendirian. Gimana kalau ada orang jahat menggangguku, menghipnotisku, bahkan mengeluarkan pistol merampokku?
Ternyata jalan lengang hanya impian. Ada perbaikan jalan di jalan Tentara Pelajar, membuat jalan di sisi stasiun Palmerah itu tersendat.
“Bu, nanti di Slipi kita mampir pom bensin ya,” dia mengulang permintaannya. “Cuma sekitar 5 menit, Bu.”
Tentu aku tak bisa menolaknya. Pom bensin, gelap, baterai hp habis…. Hus, sudahlah, aku menegur pikiranku. Kau mengantar dan menunggui orang beribadah, pasti semuanya akan aman-aman saja.
Untunglah pom bensin Shell itu terang benderang, bahkan ada KFC di situ.
“Bu, mesin mobil tetap saya nyalakan.” Dan kaca mobil dia turunkan sedikit.
Tak lama kemudian dia sudah balik. “Terima kasih ya Bu.”
Di jalan dia bercerita, “Saya menjalani salat lima waktu karena saya sudah sadar, Bu. Dulu pernah saya, ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga, lalu jatuh berguling-guling ke jurang.”
“O ya?” Ekspresif banget bahasamu, pikirku.
“Kemudian saya sadar bahwa selama ini saya menerima dan menerima terus dari Allah, tapi tidak melaksanakan kewajiban saya.”
Jiwa penulis mendorongku bertanya, “Apa yang membuat Bapak sadar?” Dia baru 30-an tapi masak sih aku sok akrab menyebut namanya?
“Suatu hari saya menatap kedua anak saya, mata mereka begitu polos, dan tahu-tahu saya sadar, Bu.”
Naluriku sebagai wanita terbangun. “Pasti kau didoakan ibumu juga.”
“Iya Bu, benar sekali. Didoakan istri saya juga.”
Mal Central Park terlewat. Kuungkapkan penasaranku, “Selama ini, apakah ada penumpang yang berkeberatan diminta menunggui Bapak salat?”
“Alhamdulilah tidak, Bu.”
“Syukurlah. Tapi, Pak, apakah tidak lebih baik, Bapak sampaikan niat itu sebelum saya naik ke mobil, bukan setelah cukup jauh kita jalan?” (Nah ini naluri guru ‘kali, ya.)
“Iya Ibu, seharusnya begitu. Tapi saya mau mengaku ke Ibu, hari ini sebelum Ibu sudah tiga kali saya ditolak, Bu. Saya takut Ibu cancel juga.”
Saya jadi berpikir, kalau tadi dia berterus terang, apakah saya juga akan cancel? Mungkin sekali, tapi mungkin juga tidak. Entahlah.
Mobil meluncur terus. Sesampai di depan rumah dia menunggui saya sampai Diah membuka pintu pagar. Waktu mobilnya berlalu saya membatin: Satu lagi mahluk jujur dan baik. (BG)
(Pengalaman pra-Covid)