AKU PERCAYA TAHYUL KUPU-KUPU

Cerita Teman

Kami berada di ruang tunggu keluarga, menunggu saat kremasi almarhum suamiku dilangsungkan. Suasana begitu senyap. Walaupun ketiga putri dan menantuku ada di dekatku, juga sanak keluarga lainnya, tidak ada yang berkeinginan untuk bercakap-cakap. Aku seperti dibiarkan berbicara dengan diriku sendiri.

Aku menikah dengan Emil pada tahun 1961 ketika aku baru saja lulus SMA. Emil yang 11 tahun lebih tua dariku sudah menunggu cukup lama, dan aku sendiri pun tidak punya rencana untuk kuliah. Kami tinggal di Jakarta, tidak jauh dari rumah orangtuaku. Berbekal ketrampilan dari ibuku aku pun berkembang jadi ibu rumah tangga yang terampil. Kebahagiaan kami berlipat ganda setelah diberkahi satu, dua anak perempuan.

Mengikuti jejak sanak keluarga Emil, pada tahun 1970 kami memboyong Aike dan Debbie mengadu nasib di negeri Belanda. Beruntung Emil mendapat pekerjaan yang memadai buat keluarga kecil kami. Di sini kami mendapat anak ketiga, Frances.

Aike dan Debbie berprestasi di sekolah, lalu menekuni karier masing-masing. Mereka memutuskan tidak menikah. Sebagai ibu yang memahami hasrat dan keinginan anak, aku tidak berkeberatan. Aku, juga Emil, menghormati hak setiap anak untuk menentukan pilihannya. Tapi tidak bisa dihindari, aku senang sekali ketika si bungsu menemukan jodohnya. Ia dan Jan menikah pada tahun 2014.

Waktu itu usiaku sudah ‘kepala 7’ dan Emil ‘kepala 8’, sudah jauh dari pantas untuk menjadi Opa dan Oma. Maka diam-diam aku berharap, “Cepatlah kau punya momongan, Frances.”

Tapi Frances tidak segera hamil. Barulah dua tahun kemudian, setelah tiga kali menjalani proses in vitro alias bayi tabung, Frances dinyatakan hamil. Tentu seluruh keluarga senang bukan main. Akan ada bayi dalam keluarga….

Namun terjadi sesuatu yang di luar kehendak manusia. Janinnya harus dilahirkan ketika baru berusia 25 minggu di dalam kandungan!

Itu menyebabkan si kecil James harus dirawat di NICU. Di dalam inkubator Ia kelihatan begitu kecil dan ringkih, dengan berbagai selang bersliweran di tubuhnya. Yang lebih berhak berada di dekatnya tentulah kedua orangtua, sampai-sampai Frances dan Jan menyewa kamar di dekat rumah sakit agar bisa lebih sering menengoknya, dan mudah dihubungi bila ada apa-apa.

Aku dan Emil tidak terlalu sering menengok James. Kalaupun datang, yang lebih kami pentingkan adalah melengkapi Frances dan Jan dengan logistik, agar mereka tetap sehat selama masa-masa yang sulit itu. Perkembangan James kami ikuti dari kejauhan. Bila mendapat kiriman foto atau video dari Jan, aku gentar menontonnya. Biasanya aku memejamkan mata dulu, baru kemudian pelan-pelan membukanya. Pedih hatiku melihat sosok kecil James berjuang demi hidupnya.

Walaupun tidak mungkin menggendong dan mendekapnya, mengetahui ada cucu di rumah sakit, yang pelan-pelan bertambah sehat, sudah membuat Oma-Opa gembira dan penuh harap.
Saat James akhirnya boleh pulang ke rumahnya, yang berbeda kota dengan kami, adalah saat yang sangat membahagiakan.

Kulihat wajah Emil selalu berseri-seri. Apalagi ketika Frances sudah dapat membawanya berkunjung ke rumah kami. Selebihnya, kami berpuas diri melihat perkembangan James melalui video kiriman Jan.

Sudah beberapa tahun suara Emil serak, dan pada tahun 2017 keadaannya memburuk. Ia sulit menelan dan tubuhnya semakin kurus. Pada suatu malam pada bulan Mei ia mengalami sesak napas, dan sejak itu bolak-balik memeriksakan diri ke rumah sakit. Ia didiagnosa menderita kanker pita suara, lalu menjalani operasi dilanjutkan radiasi.

Aku dan keluargaku berdoa, memohon dengan sangat, supaya Emil kuat menjalani pengobatan dan berangsur sembuh. Namun apa mau dikata, belum selesai sesi radiasinya ia terkena pneumonia. Emil meninggal pada tanggal 21 Juli.

Di satu sisi aku merasa Tuhan kasihan pada suamiku, tidak membiarkannya menderita terlalu lama. Namun di sisi lain, kami, terutama aku, merasa sangat kehilangan. Emil adalah cinta pertamaku dan satu-satunya. Bagaimana hidupku selanjutnya, tanpa dia yang selama ini selalu mencintai dan memanjakanku?

Di rumah duka itu aku menghela napas dalam-dalam, mencoba menghadirkan rasa syukur dalam hatiku. Kubayangkan James. Kuingat betapa berserinya wajah Opa kalau menatap wajah si kecil yang tampan, perpaduan ideal antara Frances yang “berwajah timur” dan Jan yang “berwajah barat”. Kutekankan pada diriku sendiri, bahwa semua yang terjadi sudah tertulis di “buku besar” di atas sana. Termasuk, tiga bulan tambahan yang diberikannya-Nya kepada Emil untuk menikmati kehadiran cucunya, mengingat James lahir tiga bulan sebelum waktunya.

Tiba-tiba, “Mam,” Aike menjawilku. “Lihat, kupu-kupu.”

Kuikuti arah yang ditunjuknya dan kulihat seekor kupu-kupu berwarna cokelat kekuningan terbang masuk ke ruangan, memutar, menggelepar, hinggap di balok langit-langit, dan setelah sekian lama baru terbang keluar lagi.

Aku pernah mendengar dari sanak keluargaku di Indonesia, khususnya generasi di atasku, bahwa kupu-kupu adalah perwujudan arwah seseorang. Kupu-kupu mewakili orang yang baru meninggal, dan datang mengunjungi keluarga yang ditinggalkan.

Itu Emil, pikirku. Ia seperti berkata padaku, “Mam, Pappie pergi dulu ya. Jangan sedih, ‘kan ada our sunshine….” Aku menghapus airmata yang tahu-tahu sudah membasahi pipi.


Itu lima tahun lalu. Aku tetap rindu pada Emil, tapi seperti kata anak-anakku, life goes on, Mammie. Ketiganya sejak dulu menyayangi aku, tapi rasanya sekarang terlebih lagi. Pemanjaan yang dulu kuterima dari suamiku kini berlimpah kudapatkan dari mereka. Ditambah my sunshine, yang semakin lama semakin menggemaskan. Terima kasih, Tuhan, aku tidak berharap lebih. (Kho Lian Eng, sebagaimana yang diceritakan kepada BG)

“Kita mungkin tidak paham mengapa sesuatu terjadi, dan mengapa ada doa yang seperti tidak terjawab. Tapi pada akhirnya kita akan paham bahwa segala sesuatu terjadi karena alasan tertentu.” – Anonim

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.