Penulis Jlitheng
Pernah kukisahkan mimpiku sendiri, menggigil di depan pintu. Kuyup oleh hujan dan kotor oleh lumpur. Pada saat seperti itu aku selalu ingat wajah ibuku dan matanya saat menatapku; selalu teduh dan membuatku merasa aman. Maka, aku yakin bahwa kepergiannya hanya soal raga, tapi wajah dan hatinya tetap hadir, membawa keteduhan hidupku.
Teduh mencerminkan kondisi yang sejuk, berada di bawah pohon. Makin nyaman oleh angin yang lembut, semilir membelai tubuh. Hati yang teduh berarti hati yang nyaman (adem). Hati yang teduh membuat hidup mudah merasakan bahagia.
Hati yang teduh bagaikan daun berwarna coklat yang jatuh ke atas tanah yang basah. Ikhlas – tidak protes. Dan, daun itupun tahu meski dia jatuh ke atas tanah. Ia tetap memberi manfaat bagi sekitarnya.
Seperti daun kering yang jatuh ke tanah dan berubah jadi humus, demikian juga ibuku yang telah lama tiada. Mengingat wajahnya dan caranya menatap, membuat hati ini teduh dan bahagia.
Menjadi bahagia bukan berarti memiliki langit tanpa badai, atau jalan tanpa musibah, atau bekerja tanpa merasa letih, ataupun hubungan tanpa kekecewaan.
Menjadi bahagia adalah mencari kekuatan untuk memaafkan, mencari harapan dalam perjuangan, mencari rasa aman di saat ketakutan, mencari kasih di saat perselisihan.
Menjadi bahagia bukan hanya menyimpan senyum, tetapi juga mengolahnya agar lebih banyak orang lain bahagia karena senyum kita.
“Life is good when you are happy; but much better when others are happy, because of you.“
Paus Fransiskus
Maka, jika saat ini Anda tidak bahagia, rebutlah kembali, sebab hidup kita ini sangat berharga.
Salam sehat dan makin rela berbagi cahaya.