CERPEN oleh Belinda Gunawan
Aku berjalan sendiri di taman. Di sekitarku tampak dedaunan berwarna coklat, merah, jingga, emas…. Aku menghela napas, bersyukur. Bagaimana mungkin aku, wanita limapuluhan, bepergian sendiri begitu jauh, ikut kursus yang begitu mahal, begitu berarti bagiku, tanpa mengeluarkan biaya sendiri? Terima kasih, Tuhan, begitu besar berkah-Mu padaku. Terima kasih, atasanku, telah memilihku di antara kolega-kolegaku, yang kebanyakan masih muda-muda dan bermasa depan cerah….
Aku suka musim gugur. Aku suka melihat daun berguguran dari pohon, melayang-layang ke bumi. Aku suka mendengar suara garing ketika aku melangkah di atas dedaunan kering.
Ketika aku membungkuk untuk mengambil sehelai daun cantik di tanah, kudengar langkah kaki mendekat dan berhenti persis di depanku. Aku tegak kembali, was-was.
Ia tersenyum, ia mengangguk. Dan ia menyapaku, “Hai, apa kabar?”
“Siapa ya?” tanyaku.
“Kau belum kenal aku, tapi aku sudah mengenalmu. Namaku Ivan, teman sekelasmu dari Rusia. Boleh kutahu namamu?”
“Aku Ratna dari Indonesia.”
“Indonesia… itu sebabnya wajahmu eksotik.”
“Ah, kau memuji berlebihan.”
Ia tersenyum. Raut wajahnya tidak sekaku bayanganku tentang pria Rusia. “Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan.”
Kami mencari bangku, duduk berdua dan mulai mengobrol. Di sekeliling kami…pemandangan musim gugur yang menakjubkan.
**
Waktu berlari secepat angin. Ketika kami berkenalan itu, kursus sudah berlangsung satu minggu, dan seluruh kursus hanya makan waktu tiga minggu. Besok aku berangkat pulang. Sebagai pelukis ia memiliki keleluasaan waktu, aku tidak. Aku tahu ia berharap aku memberi penjelasan yang lebih panjang lebar, tapi aku hanya bicara soal pekerjaanku di Jakarta.
Lalu ia mengangsurkan sebuah amplop coklat yang tebal dan berujar, “Ini buatmu. Kenang-kenangan dariku.”
Kubuka amplop itu dan menatap takjub pada isinya: Gambar perhiasan yang begitu indah dan penuh detil.
“Daun emas!” seruku.
“Ya, kita ‘kan berjumpa di antara dedaunan emas,” katanya. “Dari situlah asal inspirasiku.”
Lalu tambahnya, “Dan kau adalah daun emas. Cantik, eksotik, kaya ide, kreatif…”
“Terima kasih,” kataku. “Gambarmu cantik sekali.” Aku memasukkannya kembali ke dalam amplopnya, lalu mengulurkan tanganku. “Saatnya berpisah. Selamat tinggal, Ivan.”
Tanganku tidak segera disambutnya. Ia menawar, “Masih siang. Jangan pergi dulu.”
“Maaf, aku harus mengepak barang-barangku. Selamat tinggal,” kataku sekali lagi.
Barulah ia balas menjabat tanganku. Aku bangkit dan berjalan meninggalkannya. Aku tak mau ia melihat airmataku yang menggenang, maka aku pun melangkah cepat menuju asrama. Angin sejuk seperti menampar wajahku.
Inilah kata-kata yang ingin kuucapkan padanya, kalau saja aku punya cukup keberanian: “Kau benar, Ivan, aku adalah selembar daun emas. Aku telah berubah warna dengan berlalunya musim. Tak lama lagi aku akan jatuh dari pohon, dan berbaring di tanah. Sementara kau, adalah daun hijau, masih muda dan melekat kuat di ranting pohon. Kau musim semi, sementara aku musim gugur. Apalagi kau sendirian, sementara aku…ada keluarga menantiku.”
Lalu aku tidak tahan untuk tidak menambahkan: “Bagaimanapun, Ivan, mengenalmu memiliki arti spesial bagiku. Membuatku mengenal diriku lebih baik, dan merasakan bahagianya muda kembali. Terima kasih.”