OLEH BELINDA GUNAWAN
Seorang sahabatku dalam percakapan sehari-hari tidak pernah tidak menyebut kata “kaya” dan “miskin”. Mungkin Anda mengira dia itu pribadi yang mata duitan, sirik dan nyinyir. Tapi sungguh, aku berani sumpah Hippocrates (eh emangnya aku dokter?), ia orang yang luar biasa polos, jujur, baik hati dan dermawan.
Apakah aku kaya di matanya? Tentu tidak. Kami (sesama editor grup femina kala itu) termasuk kelompok yang sedang-sedang saja, kaya tidak miskin pun tidak.
Aku sendiri tidak pernah mengaku kaya, tapi tidak pernah pula mengeluh miskin. Karena Puji Tuhan, uang selalu ada untuk mencukupi kebutuhan. Apalagi kebutuhan bisa disetel karena range-nya lebar. Baju, ada yang mahal ada yang murah; tas, ada yang bermerek ada juga yang tidak tetapi tetap representatif. Ke kantor bisa naik mobil mewah milik sendiri, tetapi bila tak punya bisa naik kendaraan umum atau nebeng teman. Apalagi kemudian berkat prestasi dan kerja keras kami, baik aku maupun sahabatku itu mendapat fasilitas kendaraan kantor.
Ketika bergaul dengan teman-teman di luar komunitas kantor yang kebetulan lebih kaya (nah lo aku nyebut juga kata itu) dan diiming-iming membeli sesuatu yang branded, aku tahu caranya mengelak tanpa perlu menyebut keadaan keuanganku. Kalau diajak bepergian ke tempat yang bakal menghabiskan banyak dolar, aku juga bisa menolak dengan dalih, “Lagi banyak keperluan lain.”
Pernah kakakku mengajakku melihat sakura berbunga tapi aku mengelak, dan ia menyalahkanku, katanya, “Kamu sih Mario Teguh banget, selalu mau mengajak suami, jadi berat. Kalau sendiri kan lebih ringan?” Aku hanya tertawa tanpa menyebutkan bahwa yang membuatku berkeberatan memang jumlah rupiah yang harus kutukar dengan dolar dan yen. Aku pantang menceritakan soal keuanganku kepada siapa pun, termasuk kakak sendiri. Buat apa? Memangnya kalau aku lagi butuh, ada yang mau nombokin?
Caraku mengatur keuangan keluarga mungkin adalah hasil didikan ortu. Dulu kalau kami, empat anak, meminta sesuatu yang di luar kebutuhan sehari-hari, ibuku dengan cuek menolak. Zaman dulu kelihatannya para ortu memang tidak “takut” pada anaknya, tidak seperti ortu masakini yang permisif dan rela berkorban habis-habisan. Kalimat ampuh yang dipakai ibuku untuk menolak permintaan kami tak pernah kulupakan, “Kita keluarga kaum buruh, kalian harus tahu diri. Lagipula kita tidak punya pohon duit.”
Begitulah kehidupanku bergulir. Soal keuangan, sampai kapan pun aku tidak akan mengaku bokek, tongpes, kantong kering, atau sejenisnya. Takut kualat pada Yang Memberi Rezeki. Meskipun tidak punya pohon duit, selama ini aku dicukupkan-Nya. Meminjam istilah ibuku, cukup makan cukup pake.