Permintaan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers yang dilontarkan agar wartawan hanya mengutip sumber resmi kepolisian jelas menciderai kemerdekaan pers untuk menyajikan informasi yang obyektif dan berimbang. foto : Kumparan.
Oleh EDDY J. SOETOPO
KETIKA peristiwa terjadi “tembak-menembak” dan membuat geger lantaran kejadian itu melibatkan anggota polisi membuat kegaduhan nasional lantaran dibombardir pemberitaan pelbagai media. Bukan hanya media utama cetak maupun elektronik yang membuat presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ikut cawe-cawe mengeluarkan instruksi pada kepala kepolisian negara republic Indonesia agar diselesaikan secara terbuka apa adanya. Sungguh melegakan.
Justru cilakanya, pemberitaan itu, terkesan terbelak-belokkan ke pelbagai arah, lantaran pengguna Media Social (Medsos) alias netizen, ikutan ‘menghajar’ agar peristiwa tersebut dapat diselesai sesuai prosedur dan kaidah jurnalistik dalam hal akurasi dan fairness. Meski pengguna medsos bukanlah media pemberitaan yang lazim wajib berdasarkan kaidah mendasar penulisan berita. Terlepas dari keakurasian dan fairness pemberitaan media professional, acapkali menenggak bumbu-bumbu ucapan non-berita dari medsos. Hal semacam itulah sebenarnya pantas kita perhatikan secara seksama, agar media professional tidak tergelincir ke dalam kubangan yang tidak perlu. Kalau hanya sekedar mendengar dan/atau melihat fenomen cuitan media social, tidakada yang salah, hanya saja sebatas informasi sampah. Lantaran wajib memperhatikan keakuratan dan fairness sebuah peristiwa yang terjadi.
Akurasi dan fairness bukan sekadar komponen sangat penting, namun juga menjadi “roh” atau jiwa dan semangat, dalam setiap karya jurnalistik yang disajikan oleh media pers professional. Rasanya tidaklah berlebihan bila dikatakan keakurasian mengandung makna ketelitian, kecermatan, dan ketepatan. Demikian pula, soal fairness –entah apa padanannya dalam Bahasa Indonesia—mengandung makna “berimbang”, dalam arti adil dan tidak bias. Dalam pengertian inilah akurasi dan fairness merupakan cermin kejujuran pers dan wartawan yang akan menentukan roboh-tidaknya citra dan martabat pers dan wartawan.
Sebagai peneliti dan penulis buku “Melacak Jejak S Tasrif, Jurnalis Pembangkang” elemen dasar pemberitaan jelas merupakan hal esensial dalam kode etik wartawan yang harus dilakukan seorang wartawan. Tasrif penggagas kode etik jurnalis tidak mau gegabah seorang wartawan dengan seenaknya melanggar etika jurnalistik yang harus dijunjung tinggi semua insan pers di Indonesia. Bisa saja terjadi, pelanggaran etika jurnalistik dilakukan seorang wartawan dan/atau lembaga pers bersangkutan berakibat pemberangusan terhadap media bersangkutan sesuai ketentuan UU Per.
Indikasi Memberangus
Permintaan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers yang dilontarkan agar wartawan hanya mengutip sumber resmi kepolisian jelas menciderai kemerdekaan pers untuk menyajikan informasi yang obyektif dan berimbang. Tidak selayaknya seorang sosok yang dipilih menjadi ketua melontarkan pernyataan justru tidak berkompeten, dan melanggar UU Pers No 40/tahun 1999 dan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selain itu jelas tidak mewakili aspirasi wartawan sebagaimana diamanatkan pada jabatannya.
Apalagi dalam pernyataan ketua yang disampaikan pada media massa di Jakarta, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers, menurut anggota PWI, Dimas Supriyanto, dalam pengaduannya menyebutkan nama Dewan Pers rusak akibat permintaan “hanya mengutip sumber resmi” yang disampaikan di kantor dan Gedung Dewan Pers, Jl Kebon Sirih 32-34, Jakarta Pusat.
“Jelas Dewan Pers merupakan mahkamah tertinggi dan terakhir dalam penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan dan sengketa dalam kehidupan pers pada umumnya,” tandas Dimas Supriyanto dalam pengaduannya, “oleh sebab itu sebaiknya yang bersangkutan perlu mengundurkan diri dari jabatan ketua.”
Hal itu menunjukkan, ada upaya sistematis dari semua lini untuk membatasi gerak pers mendapatkan informasi yang obyektif, berimbang, demi kebenaran dan kepentingan publik. Tindakan atau ancaman dari pihak mana pun untuk mengurangi, menghapus atau menghilangkan sebagian atau seluruh informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan merupakan tindakan penyensoran, yang bertentangan dengan UU Pers No.40/Tahun 1999.
Perlu diingatkan bahwa cita-cita pendirian dan keberadaan Dewan Pers sebagai “pelindung kemerdekaan pers”. Selain itu perlu pula disampaikan bahwa ada ancaman pidana bagi mereka yang menghalangi tugas wartawan dalam kegiatan peliputan bahan berita di lapangan yaitu:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).” – UU Pers No.40 Pasal 18 Ayat (1).
Tercantum dalam Pasal 4 : (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Semua pasal dan ayat tersebut menurut Dimas Supriyanto, imbauan yang bersangkutan dapat berpotensi melakukan tindak pidana. Apalagi permintaan Yadi Hendriana di Gedung Dewan Pers pada Jumat, 15 Juli 2022, hanya berselang sehari setelah insiden intimidasi dua jurnalis saat meliput di sekitar rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Dinas Polri Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan.
Intimidasi itu diterima Jurnalis CNNIndonesia.com dan 20Detik pada Kamis, 14 Juli 2022, dimana keduanya ditemui orang tidak dikenal alias OTK yang menghapus video serta foto hasil liputan, usai menyambangi kediaman Ketua RT 05 RW 01, Irjen Pol (Purnawirawan) Seno Sukarto. Di lokasi juga terjadi penghapusan rekaman. Hal itu menunjukkan, ada upaya sistematis dari semua lini untuk membatasi gerak pers mendapatkan informasi yang obyektif, berimbang, demi kebenaran dan kepentingan publik.
Tindakan atau ancaman dari pihak mana pun untuk mengurangi, menghapus atau menghilangkan sebagian atau seluruh informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan merupakan tindakan penyensoran, yang bertentangan dengan UU Pers No.40/Tahun 1999.
* Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies (IMSS)
Jurnalis Anggota AJI Solo