Jembatan Gantung menuju Umbul Jambe
Oleh RAHAYU SANTOSO
Sebenarnya sudah lama saya mengenal yang namanya Alas Ketonggo. Sejak kecil, nenekku sering bercerita, bahwa di hutan masuk wilayah Ngawi itu terdapat kerajaan mahkluk halus.
Cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut itu adalah tentang adanya kerajaan gaib di situ. Banyak cerita masyarakat desa sekitarnya yang sering dibawa untuk membangun bagian bangunan kerajaan yang terbuat dari emas. Tentu saja namanya cerita pasti susah ditelusur kebenarannya.
Pada dekade tahun 1980-an, secara tidak sengaja saya sempat ke hutan itu. Gara-garanya seorang wartawan kenalan saya dari Kediri minta diantar ke Babadan. Namun, Ronggo, nama wartawan itu tidak hanya meliput untuk dimuat tulisan. Ia justru mendatangi dan punya kepentingan lain dengan Mbah Lurah Babadan. Mungkin urusan spiritual. Karena Mbah Lurah Babadan itu memang dikenal sebagai ‘’wong winasis’’ (Supranatural)
Dalam kesempatan berbincang dengan Mbah Lurah, saya pun sempat menelisik keberadaan Alas Ketonggo
Mbah lurah Desa Babatan, yang waktu itu dipegang oleh Sumo Darmodjo membenarkan, bahwa banyak pejabat, termasuk dari Jakarta, yang setiap tahun datang ke Alas Ketonggo. Pun termasuk Presiden RI pertama Soekarno sering bermeditasi di situ. Hingga tempat meditasinya itu kini dibuatkan bangunan sederhana sebagai pesanggrahan Soekarno.
Banyak Petilasan
Alas Ketonggo terletak 12 km arah selatan Kota Ngawi, tepatnya di Desa Babatan , Kecamatan Paron.
Di Alas Ketonggo ada beberapa tempat petilasan yang juga sebagai pertapan. Di antaranya yang sangat populer adalah Palenggahan Ageng Srigati, Punden Watu Dakon, dan lainnya. Termasuk juga Pundhen Tugu Mas, Umbul Jambe, Pundhen Siti Hinggil, Kali Tempur Sedalem, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Kori Gapit dan sebagainya.
Termasuk juga tempat Bung Karno meditasi. Tempat itu sekarang sudah dibuat bangunan. Waktu saya ke sana bangunan itu belum ada.
Alas Ketonggo dikenal sebagai tempat yang diyakini sebagai petlasan Prabu Brawijaya V dalam pelariannya menuju Gunung Lawu setelah kalah perang dengan Kerajaan Demak, sempat singgah di situ.
Setiap malam 1 Suro, banyak yang datang untuk ngalab berkah. Yang datang ke situ bukan hanya warga sekitar, tapi juga dari luar kota. Banyak pula yang dari Jakarta. ‘’Banyak pejabat dari Jakarta yang datang, dengan berbagai kepentingan,’’ kata Mbah Lurah.
Usai ngobrol dengan Mbah Lurah Sumo Darmodjo, sesuai sarannya, saya dan Ronggo dipersilakan masuk hutan melalui Kali Tempuran. Karena tak membawa pakaian ganti, akhirnya kami pun hanya cuci muka saja sebagai syarat. Karena sebelum masuk, disucikan dulu di sungai kecil itu.
Saat itu kondisinya tidak seperti saat ini. Dari internet saya baca dan lihat foto-fotonya sudah banyak perubahan. Setiap petilasaan sudah dibuatkan bangunan. Termasuk tempat meditasi Bung Karno itu.
Kori gapit yang konon sebagai tempat keluar masuknya penghuni bangsa abstral di situ, hanyalah berupa pepohonan jadi. Hanya ada gubuk kayu sebagai penanda. Termasuk juga tanah yang tumbuh dan mengembang, saat itu hanyalah berupa gundukan tanah.
Dan sampai sekarang pun, ternyata masih banyak orang yng ingin ngalab berkah, baik pesugihan, pangkat dan sebagainya. Bahkan mungkin lebih banyak lagi dibanding dulu.
Destinasi Wisata
Alas Ketonggo kii jadi salah satu destinasi wisata di Ngawi. Dibuka 24 jam dengan tiket masuk Rp 10.000. Itulah sebabnya Alas Ketonggo dibenahi. Jalan ke tempat-tempat petilasan pun sudah dibuat saling berhubungan. Sehingg sudah tidak seperti dulu lagi saat saya ke sana.
Untuk sampai ke Umbul Jambe tak perlu harus turun ke sungai. Tapi sudah dibuatkan jembatan gantung. Petilasan pun sudah dibuakan bangunan, termasuk tempat meditasi Bung Karno.
Dengan pembenahan itu, hutan Alas ketonggo sudah menjadi destinasi wisata. Tidak sekadar destinasi wisata spiritual. Siapa pun, baik yang mau ngalab berkah maupun sekadar berwisata, dapat menikmati keindahan alam hutan di situ. Apalagi sekarang juga sudah banyak berdiri warung makan disepanjang jalan pintu masuknya. *