Kapal Fery Munawar perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan Khayangan, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Suaranya yang menderu mengalun lembut memecah birunya air laut. Jejeran pegunungan yang hijau kelam, masih terlihat jelas, tulisan nama sebuah perusahaan raksasa yang merajai bisnis rokok kretek di Indonesia, dengan huruf-hurufnya yang putih mencolok, bertengger kokoh di bukit hijau yang tengah membisu. Tulisan itu mengingatkan Alexa, gadis berusia tiga puluh tahun ini, akan bukit yang penuh pesona di pegunungan California sana, Hollywood! Mungkin seperti itulah yang diinginkan sang taipan rokok itu kala memerintahkan anak buahnya mendirikan tulisan yang dapat dilihat dari berbagai sudut, gagah perkasa dan sedikit sombong.
Tapi persetan dengan itu semua, Alexa segera ke luar dari bus mini yang membawanya dari Mataram. Lalu ia meniti tangga dan naik ke atas lantai dua kapal fery yang akan membawanya ke Pulau Sumbawa. Kapal itu mulai melaju agak cepat, sayup-sayup jejeran pegunungan mulai berwarna hijau pekat, bentuknya semakin mirip gundukan tanah hitam tanpa makna. Alexa menaruh tubuhnya di kursi plastik yang berhadapan dengan televisi berukuran sedang, kala itu di layar kaca yang menjadi pusat perhatian dari seluruh penumpang kapal, tengah memutar film Hongkong yang penuh dengan pesona jurus-jurus Tai Chi, berjudul IP Man. Tak lama, mata para penonton sejenak beralih ke seorang pengamen bertubuh gempal yang mulai menyanyikan lagu-lagu Rhoma Irama dengan suara penuh karakter namun menggelikan. Ia tersenyum pada Alexa, kemudian mata ‘genit’nya yang nakal mengerling sejenak, “Maaf, saya hanya sekedar mencari rejeki di kapal ini.” Katanya yang disusul dengan menyerukan kata ‘judiiii…’ yang panjang dan menghentak. Kata itu merupakan bagian dari lirik lagu Rhoma Irama yang tengah mencalonkan diri menjadi presiden di pemilu yang tengah berlangsung. “Judiiii!” teriaknya lagi. Alexa kembali terkejut. Ia ingin tertawa, tapi ditahannya, ia tak mau lelaki pengamen itu tersinggung.
“Eh, Non, jangan cemberut dong, aku merana karena judi, aku tersiksa karena judi…” pengamen kapal yang berwajah ‘boros’ dan ‘genit’ itu melirik Alexa lagi. Gadis itu melototkan matanya ke arah si pengamen kapal dengan kening berkerut dan sorot mata amarah yang tertahan. Untunglah beberapa saat kemudian, volume film IP Man diperkeras, sang pengamen mengalah, ia berdiri membisu di hadapan Alexa sembari berteriak lemah, Judiiiii! Lalu ia berjalan ke belakang dan menghilang entah ke mana.
Alexa menarik nafas lega. Kemudian ia mengeluarkan kamera poket 16 pixelnya, memotret lautan lepas sembari berkhayal semoga Han punya indera keenam, dan menjemputnya di pelabuhan Poto Tano. Batere Hpnya padam begitu juga dengan power banknya, ia tak sempat menchargenya semalam. Alexa merasa ini kesalahan yang tak termaafkan, pergi begitu saja memenuhi permintaan Han adalah hal terbodoh yang ia lakukan. Beberapa jam yang lalu ia masih berada di Jakarta, membuat tulisan tentang profil sebuah kabupaten yang berada di pedalaman Papua sana. Usai email ia kirimkan, Han masuk di emailnya dan mengabarkan ia harus segera ke Sumbawa, tepatnya ke dusun Dorebara yang terletak di Kabupaten Dompu Selatan.
“Cepatlah datang Alexa, kalau bisa hari ini. Sebentar lagi kukirimkan kode booking tiket untukmu. Ada yang penting yang akan kusampaikan!” tulis Han di surelnya.
Alexa mengerutkan keningnya. Apa? Aku harus ke Sumbawa, sekarang? Sudah gila barangkali laki-laki ini. Hampir setahun tidak memberi khabar, tiba-tiba menyuruhku datang ke pulau yang sama sekali tidak pernah kuinjak, apa maksudnya? Namun belum sempat Alexa memperlebar tanda-tanyanya, sms kode booking tiket sudah masuk ke Handphonenya. Gadis bertubuh langsing itu semakin kaget. Ia segera menuntaskan pekerjaannya, kemudian dengan perasaan tak menentu, ia menyiapkan pakaian dan segera keluar dari apartemennya, memanggil taksi lalu melesat menuju bandara di pagi yang merambat siang itu. Han, Alexa berkata di dalam hatinya, tahukah kau kini aku tengah duduk sendiri memandang laut demi mengikuti perintahmu yang kurasakan tolol itu? Apa yang terjadi denganmu sehingga aku harus menyusulmu ke Dore Bara?
“Kau tahu apa yang kau lakukan ini salah?” kata Alexa sengit ketika melihat Han berdiri berlumuran darah dengan parang di tangan kanannya. “Apa maksudnya kau menyuruhku datang dengan tiba-tiba? Ini yang akan kau perlihatkan padaku? Egomu untuk memperlihatkan pada warga dusunmu bahwa kau mempunyai seorang kekasih yang dapat meliput sekaligus menulis semua yang terjadi untuk dimuat di majalahku? Han, seandainya alasan itu kau berikan sebelum membelikanku tiket, aku tidak akan datang ke sini dengan tiba-tiba. Ada pekerjaan penting yang tengah kukerjakan dibanding melihat perbuatanmu yang kekanak-kanakkan ini!” Alexa duduk di ruang tamu rumah Han dengan perasaan putus asa.
Perjalanannya masuk ke dusun Dore Bara ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Di jalur dari Poto Tano menuju ke Kabupaten Dompu, Alexa harus melalui dusun Simpasari yang tengah bertikai hebat dengan sesama penduduk. Permasalahan yang mencuat awalnya sepele, hanya karena satu tetangga dengan tetangga lainnya saling bertengkar dan beradu mulut, dendam kesumat muncul, lalu mengakar dengan kuat. Balas dendam menjadi kisah klasik yang tidak bisa terelakkan. Dan Han ikut berperan di dalamnya. Sialnya itu dilakukan tatkala ia tengah mengambil cuti pulang ke kampung halamannya.
“Harusnya kau tak perlu membelikanku tiket untuk datang ke sini. Uang itu bisa kau berikan pada Ayah dan Ibumu.” Bisik Alexa dari balik terali besi.
Han menundukkan kepalanya. “Aku tak tega melihat keponakanku meninggal akibat tusukan belati dari teman sepermainannya. Semua kulihat hanya rekayasa berbau politis, ada orang yang berada di belakang huru-hara ini, dia ingin muncul sebagai penyelamat, rakyat akhirnya membela dia dan memuluskan jalannya untuk menjadi anggota utusan daerah, ia lalu melenggang ke Senayan. Jika seluruh penduduk dusun melihat ia berhasil memadamkan pertikaian ini, maka mereka akan memilihnya kemudian menjadi utusan dari daerah mereka. Konspirasi teori telah ia jalankan, dan ia berhasil.”
“Kau yang menjadi tumbalnya. Ah, Han…jika kantormu tahu kau telah menjadi narapidana, bosmu pasti akan memecatmu. Lihat, namamu telah terpampang di koran daerah, sebentar lagi koran Ibukota akan mengendusnya. Aku…”
“Itulah salah satu sebab mengapa aku memintamu datang ke sini. Tulislah kisah ini dengan bentuk berita features berdasarkan fakta, Alexa. Aku ingin masyarakat tahu bahwa di sebuah dusun, di sebuah kabupaten terpencil dari sebuah pulau yang menjadikan kuda sebagai sarana transportasi dan pacoa jara alias pacuan kuda yang menjadi tontonan mengasyikkan, masih ada beragam unsur tersembunyi untuk memecahbelah harmonisasi yang sudah tercipta ratusan tahun lamanya. Ia hanya ingin memperkaya dirinya sendiri, jika ia terpilih maka kepentingan individunya yang ia bawa. Dusun kami tetap terkebelakang dan tidak mampu seperti dusun lain yang penduduknya hidup sejahtera dengan bertani dan beternak. Tulislah itu Alexa, jika kau ingin aku bebas, tulislah…”
Alexa membuka laptopnya. Jemari lentiknya menari-nari di atas laptop itu. Kemudian kisah tentang pemanipulasian fakta bercampur dengan intrik, konspirasi, pengerahan massa, pencucian otak dan beragam instrumen yang menjurus ke pemecahbelahan dengan isu-isu yang lebih menukik ke permusuhan antar tetangga, antar keluarga dan antar kerabat, dihembuskan secara perlahan dan pasti. Ketika semuanya berhasil, maka ia muncul sebagai juru selamat sekaligus pahlawan yang berhasil membungkam pertikaian itu hingga gaungnya surut perlahan-lahan. Dan Han adalah orang yang paling cocok dijadikan tumbal karena ia pintar, kaya dan public figure yang dikagumi penduduk dusun.
Lalu berita itu naik ke permukaan. Desa Simpasari gempar. Dore Bara tempat tinggal orangtua Han juga merasakan imbas yang sama. Penduduk akhirnya sadar mereka hanya alat yang bertahun-tahun telah difungsikan sebagai kendaraan untuk membawa sang pemimpin ke puncak tahta tanpa mahkota, tahta yang diperoleh dengan air mata, darah dan nyawa orang-orang tak bersalah. Orang-orang yang mudah tersulut emosinya hanya karena masalah sepele.
“Terimakasih Alexa, kau telah mengembalikan jejakku yang hilang di Dore Bara. Penduduk dusun Simpasari pun telah hidup damai. Tulisanmu membuka mata semua penduduk di dusun simpasari dan Dore Bara bahwa persatuan dan kesatuan itu lebih penting dari segalanya. Alexa…aku telah memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan memulai hidup sebagai petani di sini, di Dorebara. Jika kau berkenan, datanglah lagi kemari, aku ingin kau selalu di sampingku, aku cinta padamu Alexa…” begitu isi surel yang dikirimkan Han atau lengkapnya Burhanudin pada Alexa.
Alexa menutup laptopnya, dengan senyum penuh kebahagiaan iya mengambil koper dari apartemennya, kali ini ia pergi ke Dore Bara tidak lagi dengan rasa cemas saat melewati dusun Simasari, Burhan telah menentramkan dusun itu. Dan Alexa tahu lelaki pujaannya memang punya kemampuan yang di atas rata-rata.
Dari balik jendela pesawat, gadis dengan usia yang pantas untuk menikah ini, kembali berangan tentang Dore Bara. Ia sudah merancang untuk menonton pacuan kuda bersama Han di Lapangan Lembah Kara yang dipanoramai gunung-gunung dan persawahan serta hutan yang tertata dengan penuh harmoni. Tunggu aku Han, kita menonton pacuan kuda itu bersama, aku akan menulis tentang anak-anak yang menunggang kuda, berlomba mencari hadiah yang dijulurkan oleh para penggila pacuan. Aku akan menggugah para joki cilik itu agar mereka lebih mementingkan sekolah dibanding taruhan para lelaki dewasa yang gila judi, gila judi dengan pion-pion cilik yang bertaruh di atas punggung kuda, memecut kuda-kuda mereka sekuat tenaga yang mereka miliki dari atas kuda pacuan…
Tamat
Penulis: Fanny Jonathans Poyk