Alice Cooper
Oleh AHMAD ERANI YUSTIKA
Alice Cooper, yang memiliki nama asli Vincent Damon Furnier, dianggap sebagai Bapak Pendiri aliran musik “shock rock“. Musisi yang sekarang berusia 73 tahun ini telah menjalani aneka keseronokan hidup yang melekat dalam diri bintang rock (rockstar). Penggemar rock mafhum sekali bahwa “seks, narkotika, dan alkohol” nyaris identik dengan musik cadas. Ketiganya dianggap sebagai penyangga hidup musik, bahkan bagian dari rukun rock. Namun, sampai pada titik tertentu Cooper membuat taklimat akbar: “Drinking beer is easy. Trashing your hotel room is easy. But being a Christian, that’s a tough call. That’s real rebellion.” Kesejatian pemberontakan hidup adalah kembali ke jalan lurus.
Jalan spiritual itu tentu tidak mudah diperoleh, apalagi diyakini. Sumber kehadirannya harus bermula dari dalam hati, entah karena hentakan hidup atau nilai masa silam yang bernyawa kembali. Pada masa kecil, sekitar usia 11 tahun, Cooper sangat aktif di gereja. Dunia reliji ini masuk ke dalam nadi hidupnya karena sang ayah (Ether Moroni Furnier) ialah seorang Evangelis di “The Church of Jesus Christ (Bickertonite).” Latar ini membuatnya punya kekokohan sukma yang bersumber dari agama dan keluarga. Kisah hayat kemudian mencatat perjalanan karirnya menjadi bintang, yang membuatnya berjarak dengan pondasi masa kecilnya. Tapi, pada ujungnya ia kembali ke nilai dasar gereja yang menjadi ruh hidupnya.
Hikayat yang nyaris serupa dialami salah satu supergrup musik cadas: Mötley Crüe. Seperti grup lainnya, Mötley Crüe tak terhindarkan dari keliaran yang tidak terperikan. Alkohol, narkotika, dan seks merupakan ritus keseharian, sebelum maupun setelah pentas. Personel Mötley Crüe yang terdiri dari Nikki Sixx, Tommy Lee, Mick Mars, dan Vince Neil berkubang dengan jeratan “rukun rock” tersebut. Sixx entah berapa kali nyaris pindah ke “dunia lain” gegara overdosis. Vince saat teler mengendarai mobil dan kecelakaan hingga sehabatnya, Razzle, wafat. Peristiwa ini membuat dia sempat sadar, tetapi tak lama kemudian kambuh lagi. Dentuman peristiwa tersebut belum mampu menggedor sukma.
Grup ini bermula dari inisiasi Sixx, yang punya nama lahir Frank Carlton Feranna Jr. Semasa kecil ia sering dipukul ayah tirinya. Saat menginjak remaja, Frankie (nama panggilannya) bentrok dengan ibunya. Dia tak tega menyakiti ibunya dan memilih menyayat tangannya sendiri. Itu pula yang membuat ibunya dipenjara. Frankie minggat dari rumah menjadi anak jalanan dan merintis hidup sebagai bassist. Ia masih mencoba telpon ayah kandungnya, tapi tetap tidak mengakui sebagai anaknya. Sejak itu dia mengganti namanya menjadi Nikky Sixx. Hidup tanpa jejak darah orang tua. Ia peluk tiap malam dengan lengkingan bass yang perih, mirip judul album yang kelak mereka kibarkan: teater kepedihan (Theatre of Pain).
Film dokumenter yang bertajuk “The Dirt” (2019) lantas mengabarkan detail tuturan. Di sebuah kedai, usai manggung Sixx didatangi fans yang ternyata seorang drummer: Tommy Lee. Ini sebuah kebetulan karena Sixx ingin buat grup baru. Akhirnya Lee bergabung dengan grup yang belum punya nama itu. Tidak lama kemudian hadir personel paling berumur di antara mereka, yakni Mick Mars. Mick ini pula yang kelak menjadi pemimpin grup, juga pencetus nama. Problem muncul, grup belum punya vokalis. Sixx ingin penyanyi yang mirip David Lee Roth dan aura layaknya David Bowie. Akhirnya teman sekolah Tommy Lee, yakni Vince Neil, yang menjadi pilihan. Vince dianggap mendeskripsikan kombinasi penampilan antara Roth dan Bowie.
Akhirnya band ini terbentuk pada 1980 di Los Angeles, California. Sixx mengusulkan nama Xmass, tapi nama itu dicemooh oleh Mick. “Jika nama itu diberi skala 1 – 10, maka nilainya 1,9,” ujar Mick dengan gaya sinikal. Lee usul nama: Fourskins. Ditampik. Lalu Mick sodorkan nama: Motley Crew. Semua girang. Nama itu disempurnakan sedikit oleh Sixx menjadi “Mötley Crüe”. Setelah itu adalah sejarah. Album demi album diluncurkan, penggemar ditabalkan, dan kemasyhuran diterbangkan. Namun, kebinalan grup ini nyaris menggapai atap langit. Seluruh personelnya terlibat candu. Perempuan dirisak, minuman ditenggak, dan serbuk digasak. Hidup mereka selalu dalam persimpangan antara siuman dan khayalan.
Ketika Vince mabuk dan teman karibnya menemui ajal, ia dipenjara 30 hari dan denda 2,5 juta dollar. Nixx sendiri makin asik masyuk bersama cinta sejatinya: heroin. Pada titik terendah, Nixx menyadari harus berubah dan mengajak seluruh kru ke pusat rehabilitasi. Tapi, badai belum usai: Vince keluar grup sebab bentrok dengan Nixx (juga yang lain). Mötley Crüe sempat jalan 4 tahun dengan vokalis baru: John Corabi. Formasi anyar ini gagal total dan Vince makin terpuruk sebab anaknya, Skylar, meninggal kena kanker. Hidupnya gulita. Penggemar menekan: Bring Vince Back! Akhirnya Nixx bilang ke Vince: “Aku tak peduli Mötley Crüe tak main lagi, yang paling penting saudaraku kembali pulang ke rumah.”
Vince kembali ke “rumah bersama”, seperti sedang mengamalkan salah satu lagu hits Mötley Crüe: Home Sweet Home. Penggalan liriknya begitu syahdu: “And I’m coming off this long and winding road. I’m on my way. I’m on my way. Home sweet home”. Seluruh awak menginsafi bahwa alam semesta punya aturan. Jika ditabrak akan hadir laknat. Bila ditaati akan tiba damai. “Kami berbuat buruk kepada banyak orang dan menyesali setiap tindakan selama ini. Entah bagaimana kami masih bertahan sampai sekarang dan menjalaninya bersama. Itu takdir. Itu keluarga. Dan itu Mötley Crüe,” kata Nixx. Mötley Crüe bermain bersama selama 20 tahun dan penampilan terakhir terjadi pada tahun baru 2015. Tepi hidup mereka seragam dengan riwayat Alice Cooper: keagungan pemberontakan hidup ialah keberanian kembali ke tapak kebajikan.
*Ahmad Erani Yustika, penikmat sinema, arabica, dan bola.