KETIKA REPUBLIK KITA berdiri dan diproklamirkan, Indonesia “hanya” dipimpin oleh sarjana / insinyur, sedangkan disekelilingnya ada profesor, master in de rechten. Sarjana sarjana lulusan Belanda.
Ir. Soekarno alias Bung Karno, yang insinyur sipil lulusan ITB, digantikan oleh Jendral Soeharto yang hanya lulusan setara SMA. Tapi dia mendapat dukungan para cendekiawan dan teknokrat lulusan Universitas Barkeley, Amerika Serikat, dan mampu mengubah ekonomi morat marit di zaman Orde Lama, bertahan dalam kekuasaannya selama 32 tahun, hingga negeri nyaris tinggal landas, seandainya dia dan keluarga Cendana dan kroni-kroni Orde Barunya tidak korupsi.
Penerusnya, Prof. Dr.-Ing. Ir. H. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah seorang profesor doktor, wakil presiden dan mantan menteri. Tapi hanya bertahan 18 bulan. Padahal lulusan Jerman.
Dengan segala hormat, saya pengagum sosok BJ Habibie. Dia salahsatu cendekiawan jenius dan idola para mahasiswa dan generasi muda kita. Saya hormat pada beliau hingga sekarang. Tapi ijazah luar negeri, dan kemampuan mengelola negara, memimpin rakyat Indonesia, yang bhinneka tunggal ika dan begitu kompleks, adalah kemampuan yang lain.
Contoh paling gress bahwa ijazah luar negeri tidak selalu berguna adalah Gubernur DKI Jakarta yang baru lengser. Nama lengkapnya, H. Anies Rasyid Baswedan, S.E., M.P.P., Ph.D. Peraih beasiswa dari Universitas Sophia di Tokyo, Jepang (1993), lulus dari Maryland, dan Northern Illinois University Amerika Serikat (1997).
Kemudian dia menjadi rektor Univ. Paramadina, aktivis sosial, dan pencetus gerakan Indonesia Mengajar, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diberhentikan, lalu terjun ke Pilgub DKI Jakarta 2017 dengan menjual ayat mayat, ketokohan kakeknya, dan meninggalkan kota mangkrak, polarisasi kubu politik, masalah banjir dan kemacetan, yang merepotkan pejabat penerusnya.
Untuk hal seperti ini bahkan seorang profesor dokto seperti Amin Rais tidak menyadarinya. ***