Amuk Virus dan Panggilan Moral

Hacksaw Ridge

Oleh AHMAD ERANI YUSTIKA

Pandemi yang telah menghajar dunia sekitar 1,5 tahun ini sebetulnya sudah menunjukkan mereda. China, Eropa, AS, Selandia Baru, dan banyak negara lain relatif bisa mengendalikan virus sehingga kehidupan bisa dipulihkan. India juga punya kisah yang sama, namun tetiba ancamam virus varian baru (delta) mengamuk di negara tersebut sehingga korban baru bergelimpangan. Virus dengan cepat menjalar ke negara lain, termasuk Indonesia. Kasus di India seperti ke Indonesia: korban baru melesat. Beberapa waktu lalu sekitar 58 ribu orang tiap hari terpapar virus dan sebagiannya wafat. Padahal pada Mei 2021 jumlah warga terjangkit telah bisa ditekan di bawah 6000 orang (naik 10 kali lipat). Sekarang situasi memang amat berat: pertarungan menyelamatkan kehidupan yang menguras pikiran dan perasaan. 

Pada setiap mala, termasuk wabah Corona, selalu muncul para pelayan warga. Pemerintah punya otoritas, sehingga tugasnya membuat hukum dan aturan untuk mengurus perkara. Namun, aparat pemerintah punya kapasitas dan kualitas yang berbeda-beda. Di situlah kemudian lahir figur-figur tulus yang memberikan pelayanan.

Panggilan moral yang terus mendengung di kuping. Para relawan, warga negara, dan dokter (dan tenaga kesehatan lainnya) itu berada di garis depan pengendalian wabah. Mereka bukan cuma bertarung untuk menyembuhkan dan memberikan aneka pelayanan, tapi dirinya sendirinya diburu oleh amuk virus karena bergumul dengan para korban. Bahkan, banyak yang telah jadi martir, wafat hanya dengan teman kain kafan. 

Ingatan saya melayang pada kisah nyata PD II yang kemudian dibuat film apik besutan Mel Gibson dengan tajuk: Hacksaw Ridge (2016). Desmond Doss, seorang serdadu AS, yang sejak masa pelatihan membangkang tak pernah mau pegang senjata karena trauma masa silam. Dia diolok dan dicibir teman-temannya sebab sikap itu. Ia nyaris dikeluarkan dari tentara karena menyimpang dari aturan.

Singkat kisah, para serdadu AS berangkat ke medan laga untuk bertempur dengan pasukan Jepang memperebutkan Tebing Maeda. Desmond juga ikut ke arena tanpa senjata. Ia dipilih sebagai tenaga medis, dengan modal nyali, tubuh ceking, dan pelayanan. Pertempuran brutal itu menewaskan ratusan (mungkin ribuan) prajurit pada kedua kubu yang saling berhadapan. 

Ketika pasukan AS terdesak dan ditarik mundur karena hampir takluk, muncul sebuah keajaiban. Dari atas tebing satu demi satu prajurit AS yg sudah sekarat diturunkan lewat tali. Prajurit di bawah tak ada yang tahu siapa pelakunya. Total lebih dari 100 prajurit yang diselamatkan. Desmond, tentara yang “dibuang” menjadi tenaga medis, itulah yang ternyata menjadi dalangnya.

Dia panggul sendirian satu per satu prajurit dengan keteguhan dan spirit pelayanan. Peluru yang berdesing tak bisa menembus dadanya karena Tuhan menjaga dengan saksama. Komandan yang dulu menghinanya, juga teman satu barak yang pernah meludahinya (bahkan prajurit Jepang), termasuk yang ditolongnya. Kalbunya bersih dan merekah bagai bunga. 

Tubuh Desmond tentu amat letih, tapi dia punya azimat yang selalu menguatkannya: “One more. Please God, help me get one more.” Ia ucapkan itu sambil membopong serdadu. Kali ini kita menjadi penyaksi para dokter, tenaga paramedis, dan relawan menunaikan panggilan moral yang sama. “While everybody is taking life, I’m going to be saving it, and that’s going to be my way to serve,” kata Desmond.

Itu pula yang sekarang dilakukan para relawan tersebut: meninggalkan keluarga berjibaku menolong sesama, sambil mengayak nyawa dirinya. Perawat yang sedang hamil wafat di medan perjuangan, warga yang berusia lanjut merelakan tabung oksigen yang sedang dipakai digeser ke anak muda yang juga terpapar virus, beras warga dibagikan dari tangan ke tangan, dan banyak hikayat menggetarkan lainnya. Panggilan pelayanan melampai kecemasan dan ketakutan. 

Inilah masa ganjil yang membutuhkan manusia dengan mental genap. Jiwa yang menyisihkan aneka perbedaan, amarah, kepentingan, dan sebagainya diganti dengan kalbu yang menyatukan hasrat bersama: penyelamatan kemanusiaan. Pada kondisi yang tidak lazim dan serangan (virus) massif tentu tidak ada laku kebijakan dan perbuatan yang paripurna, segalanya ditindih dengan ragam keterbatasan dan kekhilafan. Pada situasi ini kehendak menyatukan wajib lebih besar daripada memisahkan.

Tentu saja warga absah mengutuk keadaan, juga menuding kesalahan. Namun, pada tiap kegentingan kemanusiaan yang paling dibutuhkan adalah pelayanan dan pengabdian. “The sole meaning of life is to serve humanity,” ujar Leo Tolstoy.*

*Ahmad Erani Yustika, Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB)

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.