Kisah Anak Cucu si Pengkor


Anak-cucu si Pengkor di seputar guesthouse Pulau Peucang – foto Heryus Saputro Samhudi.


Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Every day is a learning day,” begitu kata almarhum Bapak saya. Entah beliau pungut dari mana kata-kata bijak itu. Yang pasti, tiap hari (asal berpijak pada kata hati dan mau menyimak alam kehidupan) di tiap langkah di tiap waktu selalu ada ‘nur’ …yang bisa dipelajari. Juga saat-saat pergi ke hutan dan ketemu celeng (Sus scrofa), babi hutan alias “Boar…!” kata Thomas Stamford Raffles di buku Story of Java (terbitan London 1817).

Celeng bukan kata asing di telinga anak Indonesia. Kata celeng selalu mengingatkan kita pada wadah cembung berongga untuk menabung uang, yang populer sebagai ‘celengan’, atau (lagi-lagi) kata Sir Raffles: Piggy Bank. Ini terkait temuan pertama arkeolog ihwal wadah tabung kepeng (uang) berbentuk celeng. Uniknya, walau kemudian ada celengan berbentuk ayam, banteng atau sosok Semar, tetap saja disebut celengan.

Ingat kisah Asterix & Obelix? Serial komik populer Prancis (terbit pertama tahun 1959) karya Rene Goscciny (naskah) dan Uderzo (gambar) ini kerap mengungkap hobi Obelix (sahabat Asterix yang lugu dan bertubuh bongsor) yang jika lapar dia akan pergi ke hutan di pinggir Desa Ghalia (yang selalu dimata-matai oleh legiun tantara Romawi ‘milik’ Julius Caesar), mengejar dan menangkap celeng untuk sarapan, lunch ataupun dinner.

Adegan ihwal hobi Obelix ‘berburu’ celeng ini nyaris selalu hadir di tiap seri komik Asterix & Obelix. Adegannya komikal, penuh humor sekaligus satir ihwal hobi Obelix ‘berburu celeng ini nyaris selalu hadir di tiap seri komik Asterix & Obelix, bahkan saat keduanya bertualang ke luar Ghalia, benteng terakhir Perancis di kurun tahun ke-50 Sebelum Masehi, saat kekaisaran Romawi berambisi menguasai dunia.

Bagi saya, kisah ini seperti ingin menunjukkan fakta bahwa yang camanya celeng atau babi hutan, dimana pun celeng itu hidup, tetap saja identik dengan alam liar dan si satwa yang disebut celeng pun akan selalu menunjukkan sifat liar. Tak mudah didekati manusia. Apalagi sampai makan sesuatu yang langsung diasongkan jari tangan manusia, layaknya babi peliharaan di banyak kampung di Indonesia.

Menerima camilan dari tangan di Pantai Pulau Peucang – Foto Heryus Saputro Samhudi.

Maka tak heran bila suatu pagi di Pulau Peucang – Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), seorang teman (kebetulan) warga Perancis dan bekerja di Jakarta, melongo saat melihat babi hutan (terdiri dari seekor induk plus empat ekor anak-anaknya) muncul dari kolong guesthouse berbentuk rumah panggung, untuk menikmati roti yang diasongkan seorang gadis. “Lho…! Itu celeng apa babi kampung, atau celeng yang sudah didomestikasi?”

Namanya celeng, bahkan yang sudah didomestikasi jadi hewan peliharaan, seperti di Ngada – Flores ataupun di Sumatera Utara, tetap saja mewarisi sifat-sifat liar, coba selalu mendobrak kandang untuk bisa kembali bebas dan liar. Betapapun lucu dan bisa menerima makanan dari tangan, bayi celeng tetap tak bisa dielus-elus. Induk atau si Jantan Tunggal bertaring lengkung, selalu siap menerjang merobek-robek tubuh kita.

Akan halnya celeng jinak di Pulau Peucang, saya ingat saat pertama datang ke Ujung Kulon (UK) tahun 1978 bareng Youth Scient Club – Bulungan. Jakarta Selatan yang dipercaya Kementerian PPLH dan Departemen Kehutanan (kini jadi Kementerian KLH) buat meneliti potensi alam UK (yang bareng Gunung Gede-Pangrango dan Taman Laut Kepulauan Seribu) lantas diresmikan jadi 3 (tiga) Taman Nasional pertama di Indonesia.

Jantan Tunggal’ di Hutan Batu Cermin di Flores, NTT – Foto Heryus Saputro Samhudi,

Pulau Peucang di perairan barat semenanjung UK yang menyatu dengan Pulau Jawa merupakan tempat yang kami singgahi. Bukan cuma karena dihuni banyak rusa jawa (orang Banten menyebutnya ‘peucang’), biawak, celeng, berjenis burung bahkan macan jawa (Phantera pardus-melas) tapi juga karena dekat Padang Penggembalaan Cidaon tempat banteng (Bos javanicus) dan merak hijau (Pavo muticus) berjemur dan merumput.

Di Pulau Peucang itu saya mendengar dengar kisah seekor anak celeng yang terluka. Satu kakinya pengkor. Bisa jadi dia luput dari terkaman predator: biyawak, ular sanca atau mungkin macan kumbang/tutul yang juga disebut macan jawa. Seorang polisi hutan menemukan saat ronda rutin keliling hutan, dan membawanya pulang ke pos jaga untuk diobati sebagaimana mestinya.

Anak celeng berkelamin betina dipelihara, diberi makan makanan alamnya, tanpa mengandangkannya. Hingga dewasa, celeng betina itu tinggal di kolong rumah panggung, guesthouse, bungalow bagi para tamu TNUK. Dia bebas bolak balik masuk hutan. Tapi saat malam, ia kembali ke ‘sarang’nya di kolong bungalow. Penjaga hutan memberinya nama Si Pengkor, karena sebelah kaki depannya patah/pengkor.

Tentu saja di hutan dia juga bebas bersosialisasi dengan sesama celeng. Barangkali dari hubungan itu si Pengkor lantas hamil, beranak 6 ekor di kolong bungalow. Karena terbiasa dengan manusia di sekitar situ, maka dia tak sungkan ngajak anak-anaknya ke dekat kehidupan manusia yang ramah tamah, tak suka memukul, apalagi menembak dan menjambak, hingga anak-anaknya pun terbiasa dengan manusia di sekitar situ.

“Tak pernah ada dusta di antara kita” begitu prinsipnya. Tahun berganti, anak-anak si Pengkor juga jadi celeng dewasa, hidup liar di hutan, dekat kehidupan manusia yang mampir ke Pulau Pecang yang kini jadi bagian area wisata terbatas di TNUK.

Anak-cucu (bahkan mungkin cicit) si Pengkor inilah yang menjadi obyek ‘jepretan’ saya kali ini, untuk Anda yang gemar belajar di alam raya kehidupan. ***

31/07/2021 Pk 10:18 Wib

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.