Foto : Istock
Penulis : Jliteng
6 kali seminggu, setiap pagi, sejak sebelum pandemi, saya menemani belahan jiwa berangkat kerja, sering sekali saya mengalami riuh rendah jalan raya yang amat berpotensi menyebabkan gesekan. Makin ramai jalan raya semakin besar pula peluang gesekan.
Suara jedug spion beradu spion sudah tak terhitung, karena riuh jalan sering terjadi dua arah, padat tak terhindarkan. Umumnya motor nylonong begitu saja, ada yang melambai tanpa menoleh, dan ada juga yang sejenak menolehkan wajah sambil mengangguk, tetapi itu jarang sekali. Dan saya mengalami kemarin pagi.
Saya tahu, motor-motor itu tidak bersalah, walaupun demikian ada rasa bahagia ketika ada satu saja, walau sejenak, menoleh dan menundukkan kepala.
Saya tersenyum padanya. “Anak ini pasti tumbuh dari keluarga yang baik, yang menanamkan nilai unggah-ungguh”, bathin saya. Keadaan tidak merubah sikapnya untuk tetap bersikap baik. Keadaan tidak dijadikan dalih untuk berbuat sebaliknya. “Tuhan, lindungi anak muda itu dari bahaya,” doaku spontan.
Meminta maaf itu tidak selalu menyangkut salah dan benar.
Terlalu polos memahami, bahwa bila saya meminta maaf itu sama artinya mengakui kesalahan.
Terlalu berlebihan jika berpikir, bahwa bila saya tidak salah mau meminta maaf itu bodoh namanya.
Sejatinya, urusan maaf tidaklah sesederhana hanya menyangkut salah dan benar.
Bila ego masih berkuasa, demikianlah memahaminya. Sebaliknya, bila hati yang berbicara, ini adalah urusan kasih dan kebaikan bersama.
Kepekaan hati seperti anak muda itu, tidak tumbuh begitu saja. Dengan sadar ditumbuh-kembangkan oleh bunda dan ayahnya sejak kecil, bahkan sejak bayi.
Salam sehat dan dengan penuh hasrat berbagi cahaya.
Makin Jarang Minta ’Maaf’ – Catatan halaman 125