Seide.id -Bagi pihak awam yang tentu ada gap competency dengan dunia medis sukar memilah mana informasi yang benar, dan mana yang isapan jempol.
Kemudahan oleh internet dan HP dan teknologi informasi, segala informasi termasuk yang bersifat sampah, membanjiri semua lapisan masyarakat dengan cepat dan mudahnya. Masyarakat kebanyakan tidak skeptis, menelan dan percaya saja, tanpa minta perimbangan pihak medis.
Di bawah ini tulisan saya tahun 2010, tentang topik ini, sudah dimuat dalam buku OBAT BISA SALAH (2014), saya turunkan di sini untuk mengcounter semua informasi yang bebas leluasa berseliweran, celakanya bersifat menyesatkan.
Pengguna internet perlu waspada dalam memanfaatkan informasi medis. Dari begitu banyak websites yang diamati, sebagian besar informasi medisnya menyesatkan. Informasi medis sendiri merupakan wilayah yang sangat sensitif. Selain berpotensi membahayakan pasien, dokter pun bisa salah paham memperoleh informasi baru.
KANKER kulit Pak Mun., 59 tahun, kehilangan kesempatan mendapat terapi medis, sebab sejak awal memilih terapi alternatif yang diperolehnya dari sebuah website. Kemudian baru disadari setelah lebih 2 tahun menekuni terapi alternatifnya, ternyata gagal memberinya kesembuhan.
Dokter mengatakan kalau kanker kulitnya sudah kasip, dan telanjur masuk stadium lanjut. Pada stadium ini terapi medis sudah tak memungkinkan lagi memberi harapan kesembuhan.
Yang tersesat begitu bukan cuma pasien kita. Orang Barat pun yang pranata kesehatannya sudah lebih baik banyak yang terkecoh oleh informasi websites medis yang pendapatnya bukan saja tak layak didengar, tapi juga bisa membahayakan kesehatan kalau diikuti.
Sudah banyak studi tentang websites medis yang menyesatkan. Pekerja medis dunia menaruh perhatian besar untuk menertibkannya, antara lain perlunya dibentuk badan independen yang melakukan penyaringan terhadap semua websites medis. Badan ini yang menilai apakah informasi medis sebuah websites tepat, lengkap, akurat, dan mutakhir.
Masalah memang selalu timbul. Akibat kesenjangan kompetensi, pasien dan awam di mana pun memiliki keterbatasan untuk menilai apakah informasi medis sebuah website tergolong layak untuk didengar dan diterima advis medisnya, atau perlu disangkal.
Ada usulan kalau Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) dan Lembaga Perlindungan Konsumen HRP (Human Resources Protection) memberikan panduan bagi Institutional Review Boards (IRB), badan yang diusulkan itu, yang secara independen melakukan penilaian terhadap hasil uji klinis setiap websites medis.
Alasannya, bukan sedikit uji klinis tentang temuan obat atau zat berkhasiat yang diklaim sebagai “baru” ternyata kedapatan tidak memenuhi standar protokol ilmiah. Itu berarti hasilnya tidak sahih, tidak layak diikuti, apalagi diterima advis medisnya.
Realita pasien Vs Realita ilmiah
Adanya keterbatasan pengetahuan medis yang dimiliki pasien dan awam pada umumnya, membuat banyak orang mudah sekali terpengaruh oleh informasi medis yang belum tentu benar. Selain informasi medis dari internet, informasi medis dari mulut ke mulut pun sama-sama bisa menyesatkannya.
Sebut saja soal diyakininya suatu pengobatan (terapi) atau penyembuhan (healing) nonmedis yang dianggap berhasil menyembuhkan segala macam penyakit.
Pasien yang berhasil disembuhkan oleh suatu terapi atau cara penyembuhan nonmedis beranggapan kalau itu sungguh betul berkhasiat, tak peduli apa cara itu sudah ada uji klinis yang memenuhi standar protokol ilmiah, ataukah tidak. Kebanyakan terapi dan penyembuhan nonmedis seperti itu umumnya belum menempuh persyaratan uji klinis.Apa artinya itu?
Artinya, jika suatu obat atau cara penyembuhan belum menempuh uji klinis sesuai aturan ilmiah, hasil kesembuhan yang mungkin saja terjadi dinilai belum tentu sesuatu yang sahih.
Suatu obat atau cara penyembuhan baru dikatakan berhasil jika semua pasien dengan penyakit yang sama berhasil disembuhkan dengan obat atau cara penyembuhan dimaksud.
Jika tidak semua pasien dengan penyakit yang sama berhasil disembuhkan, ada faktor kebetulan bekerja di sana. Dalam faktor kebetulan itu bekerja unsur sugesti, kesembuhan oleh doa (expectant faith), kesembuhan karena berpikir positif, yang kini semakin diyakini memberi andil besar dalam proses kesembuhan.
Dalam dunia medis, kesembuhan semacam itu bukan tergolong sahih, oleh karena jika betul sahih, mestinya semua pasien dengan penyakit yang sama berhasil disembuhkan oleh obat atau cara yang sama, tanpa terkecuali.
Bukti ini biasanya tidak ditempuh dalam upaya-upaya penyembuhan nonmedis.
Pasien nonmedis lazimnya yang berhasil sembuh saja yang mau bercerita perihal kesembuhan nonmedisnya yang jumlahnya mungkin cuma beberapa gelintir saja. Yang tidak berhasil sembuh, yang biasanya jauh lebih banyak, umumnya memilih membungkam.
Oleh karena yang bersuara yang berhasil saja, maka keberhasilan nonmedis itu yang tersiar ke telinga pasien lain dan awam seolah betul berkhasiat.
Realitas begini yang di mata medis menambah sesatnya pasien dan awam yang mendengarnya. Kita tahu tidak semua kanker, atau penyakit mana pun, berjenis sama, bertabiat sama, berpeluang disembuhkan sama, maka tentu tidak sama pula penanggulangan medis dan peluang kesembuhannya, anggapan pihak nonmedis.
Jika ada “daun dewa” atau apa saja namanya, yang diklaim bisa menyembuhkan kanker, perlu dipertanyakan ulang, untuk kanker apa, berapa banyak pasien dengan kanker yang sama dapat disembuhkan, pada stadium mana, berapa dosis terapinya, apa efek sampingnya.
Tidak cukup hanya tahu saja kalau suatu zat atau bahan berkhasiat memiliki efek berkhasiat terhadap suatu penyakit. Perlu digali dan diuji kebenaran berkhasiatnya, berapa dosis yang diperlukan untuk menyembuhkan, apakah ada efek sampingnya. Dan itulah semua realita medis, bentuk nalar ilmiah suatu pengobatan.
Berkhasiat saja tapi berefek samping membahayakan, tidak selalu harus diterima sebagai obat, apalagi jika belum tentu berkhasiat, belum tahu berapa dosis terapinya, belum tahu pula bahaya efek sampingnya.
Banyak obat dokter yang berkhasiat kemudian ditarik dari peredaran setelah sekian lama dipakai ternyata muncul efek samping yang membahayakan kesehatan.
Selanjutnya (3)..
Dr. Handrawan Nadesul
Sastra Bikin Indonesia Sejuk. Banyak Membaca Bisa Mengubah Nasib