Profesi Pantomim itu berat. Biar Andy Eswe saja yang menjalaninya. Pemeo yang pernah populer itu tampaknya berlaku pada Andy Sri Wahyudi yang lebih dikenal dengan nama Andy Eswe. Pantomimer kelahiran Yogyakarta, 13 Desember 1980, ini juga dikenal sebagai sutradara dan penulis naskah seni pertunjukan. Aktif di Bengkel Mime Theatre. Karya penyutradaraan Pantomim antara lain: Putri Embun Pangeran Bintang, Sang Veteran, Tawa Airmata, I Hate My Self, Opinion. Karya penyutradaraan teater: Mak Ana Asu Mlebu nGomah, ORA ISA MATI, LELAKON dan Bangun Pagi Bahagia.
Ia menggelar peluncuran buku puisi dan pementasan teater Bangun Pagi Bahagia, dipentaskan keliling 15 kota di Jawa, Bali dan Lombok. Bersama teman-teman dari berbagai kota menjalankan program KOTA -KOTA BERSUARA (2018-sekarang): Pencatatan gagasan kreatif dan kerja teater di kota-kota, TUNGGAK SEMI (2018): Festival Pantomim di kampung dan desa-desa, MANDALA PANTOMIM INDONESIA CINTA (2010-sekarang): Pentas, diskusi dan workshop pantomim keliling Indonesia, diantaranya di Yogya, Medan, Ambon, Kupang, Makasar, Padang Panjang, Jakarta, Kefamenanu, Purwokerto dll. Melakukan program kunjungan seni ke negara tetangga: Timor Leste (2014), Singapura (2015), Thailand, Kamboja dan Vietnam (2019).
Berikut ini wawancara dengan Andy Eswe yang akan disajikan dalam dua bagian.
Sejak kapan Anda berpantomim?
Saya mengenal seni pantomim sejak anak-anak, karena kakak saya ada yang pernah main pantomim di televisi. Lalu ketika remaja saya suka mencoba coba gerak pantomim sendiri tapi tidak tahu metodenya dan teknisnya. Asal-asalan aja. Hihihii…Kemudian tahun 2000 saya mulai mendalami dunia pantomim, belajar bersama teman-teman dengan mencari guru para senior. Diantaranya Gunawan Maryanto, Broto Wijayanto, dan Jamaluddin Latief.
Dari siapa Anda belajar pantomim?
Waktu itu belum mengenal YouTube jadi harus mandiri. Berusaha mencari-cari sendiri apa yang musti dipelajari. Selain belajar bersama senior juga mencari referensi lewat buku-buku dan kliping berita pantomim, video pantomim seperti Marcel Marceau, film Charlie Chaplin, Mr. Bean, Jim Carrey dll. Dalam pencarian tersebut dipertemukan dengan Papi Moortri Purnomo seorang Pantomimer sangat senior. Bisa dikatakan Guru para Pantomimer Yogya. Beliau paling senior, satu angkatan dengan WS Rendra di Bengkel Teater. Dari situ saya mulai intensif latihan pantomim bersama teman teman di bawah bimbingan beliau. Terutama melatih ketenangan, kesabaran, intensitas, ketrampilan dan dedikasi.
Siapa saja tokoh-tokoh pantomim yang mempengaruhi Anda?
Tahun 2000 saya bersama Asita dan Ari Inyong membentuk grup @Mime, yang berpentas pantomim dari kampus ke kampus di Yogya. Tahun 2001 bersama Broto dkk mendirikan Bengkel Pantomim Yogyakarta. Dalam grup ini kami membuat beberapa repertoar pantomim kelompok secara serius dan tergarap. Berbulan-bulan kami berlatih untuk membuat satu repertoar. Setelah itu saya baru dipertemukan dengan Jemek Supardi, Dedy Ratmoyo, Ende Riza meskipun sebelumnya sudah melihat mereka ber pantomim. Mereka adalah para senior yang menginspirasi saya dalam perjalanan selanjutnya.
Kapan memutuskan bentuk pantomim sebagai jalan kesenian?
Pada tahun 2004 saya benar-benar merasa terjun dalam dunia pantomim. Saya menyatakan diri menghidupi kelompok Bengkel Pantomim Yogyakarta, yang kemudian tahun 2007 berubah menjadi Bengkel Mime Theatre. Dan menyewa rumah untuk dijadikan sanggar tempat berproses kreatif dan berproduksi secara kelompok hingga tahun 2015. Pada Era tersebut saya banyak dipertemukan dengan pantomimer Nasional seperti Yayu Unru, Septian Dwi Cahyo, Didi Petet dan kelompok Sena Didi Mime. Juga pantomimer Internasional seperti Milan Sladek dan Philippe Bizot yang menambah wawasan dan referensi pantomim lewat percakapan dan menonton karya mereka.
Berjalan lancar atau bagaimana?
Saya sempat mengalami masa Vakum berpantomim selama dua tahun karena frustasi masalah pribadi. Hehehe. Baru bulan September 2017 saya kembali pentas pantomim. Hingga saat ini saya masih berproses pantomim bersama Ficky Tri Sanjaya (Pantomimer muda) baik berkarya secara kelompok maupun tunggal di Bengkel Mime Theatre. Biasanya karya-karya kami dipentaskan keliling di kota-kota dan desa-desa di Indonesia. Pernah pula berkunjung ke beberapa negara di Asia Tenggara (Singapura, Timor Leste, Thailand, Kamboja dan Vietnam) untuk workshop dan pentas pantomim atau sekadar sharing karya dengan seniman di negara tersebut. Juga mencari referensi perihal seni pertunjukan di Asia Tenggara. Saat ini saya sedang mengerjakan pendokumentasian ulang karya-karya lama. Pencatatan naskah pantomim dan mementaskan kembali. Begitulah sejarah singkat saya berpantomi. Semoga kita semua terus produktif dan kreatif.
Apakah pantomim sudah menjadi profesi atau sekadar hobi?
Sampai saat ini saya masih terus berpantomim. Saya sering mendengar dari orang-orang, mereka menjuluki saya sebagai seorang Pantomimer. Saya tidak tahu apakah julukan tersebut sudah menjadi legitimasi bahwa saya berprofesi sebagai Pantomim atau masih sekadar hobi. Tetapi dari sudut pandang saya sendiri, sesuai yang saya rasakan dan pikirkan. Pantomim adalah sebuah jalan yang saya bangun sepanjang perjalanan hidup di dunia ini. Kemarin, saat ini hingga nanti. Sebagai sebuah jalan, tentu saja saya dipertemukan dengan banyak hal dan banyak kepribadian. Dalam pertemuan di jalan itulah saya mendapatkan kekayaan berupa ilmu pengetahuan, pengalaman dan materi. Jadi saya rasa bukan saya hidup dari pantomim atau pantomim menghidupi saya tetapi pantomim dan saya saling membangun dan bersinergi. Nah, dari sinergi itulah saya mendapatkan banyak hal salah satu diantaranya materi berupa uang untuk makan bertahan hidup. Pantomim menjadi salah satu sumber penghidupan saya. Bukan satu-satunya sumber penghasilan. Karena saya juga bekerja dan membuka usaha di luar seni pantomim.
Selain berpantomim, apakah Anda berkesenian lainnya?
Tentu saja selain pantomim saya juga berkesenian yang lainnya. Terutama teater dan sastra. Karena sebelum berpantomim saya lebih dulu suka menulis puisi dan membuat drama untuk dipentaskan di panggung tujuh belasan atau perayaan hari besar nasional lainnya. Dua hal itu saya lakukan ketika saya masih hidup di tengah masyarakat kampung tempat saya dilahirkan. Hingga dalam perjalanan proses kreatifnya dua kesenian tersebut tumbuh berbarengan dengan seni pantomim yang saya tekuni setelahnya. Ketiga kesenian itu saling mendukung dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Terkadang karya pantomim saya berangkat dari puisi-puisi. Dan karya teater saya diwarnai gerak-gerak pantomim. Demikian jua karya sastra saya menjadi sangat imajinatif sebagaimana pementasan pantomim.
Bisa dijelaskan pencapaian yang sudah Anda peroleh?
Karya-karya dari ketiga Seni tersebut menemukan pencapaiannya masing-masing dan mendapatkan penghargaan. Tahun 2005 dalam ajang Festival Teater Kampung antar Kecamatan se Kodya Yogyakarta, karya teater saya yang menggarap lakon “MEGATRUH” tentang kisah orang-orang tangguh karya Noor WA. Mendapat beberapa penghargaan tata artistik terbaik, aktor dan aktris terbaik, dan nominasi sutradara terbaik. Tahun 2017 Karya naskah drama bahasa Jawa Mak, Ana Asu Mlebu nGomah! mendapat penghargaan Karya Sastra Jawa terbaik dari Balai Bahasa Yogyakarta.Tahun 2019 Naskah drama “Merayakan Kefanaan” memenangkan juara ketiga dalam lomba penulisan naskah drama yg diselenggarakan Taman Budaya Yogyakarta. Kemudian karya pantomim “Kesibukan di Ruang Bawah” menjadi salah satu karya terbaik dalam program Jejak Virtual Aktor 2020 yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dan yang terbaru, menenangkan Penghargaan Sastra Nasional tahun 2020 kategori Naskah Drama berjudul “Bangun Pagi Bahagia” dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Saya sangat senang dan bangga mendapatkan penghargaan tersebut. Akan tetapi pencapaian berupa penghargaan bukanlah segala-segalanya. Saya lebih menghargai teman-teman atau pribadi yang berdedikasi tinggi, terus berkarya dan mendidik diri sendiri untuk hidup yang lebih bermutu sebagai bentuk tanggung jawabnya menjadi manusia yang berakal budi selama hidup di dunia fana ini. Itulah jalan kesenian dan pencapaian dari saya.
Dari semua bentuk kesenian yang Anda geluti, apa yang Anda anggap paling penting dan Anda seriusi?
Kekwkww… Ini terdengar lucu bagi saya. Sebab saya teringat ketika saya sering dikata-katai hal menyebalkan oleh teman-teman atau mungkin jua orang-orang yg mengikuti proses kreatif saya. Dikiranya saya tidak serius, tidak jelas, setengah-setengah, tidak profesional, atau hal lainya yang serba meragukan dan tidak suport pada proses kreatif saya. Pada mulanya saya sedih dan meragukan diri saya sendiri. Pesimis dan tak lagi menyenangkan menjalani kesenian karena bingung mengapa kesenian tak seindah saat di kampung halaman dulu? Maka suatu ketika pernah saya mencoba untuk menekuni salah satu saja. Tetapi apa yang saya alami? Ternyata malah macet dan tidak dapat berkreativitas. Saya hanya mempelajari teknik-teknik yang membosankan. Sama sekali tidak memacu adrenalin dan tidak menggairahkan lagi.
Kenapa?
Setelah itu saya menyadari bahwa pertumbuhan saya berbeda dengan teman-teman yang tumbuh dari keluarga seni, sekolah seni atau dari sanggar seni. Mereka memang dididik secara masif, disiplin, berkurikulum, bahkan secara profesional menekuni salah satu bidang seni. Berbeda dengan perjalanan proses kreatif saya yang tumbuh pertama kali di tengah masyarakat umum. Terutama di kampung yang bisa bebas membuat apa saja untuk kemudian ditampilkan di panggung pertunjukan dalam rangka Tirakatan, Hari Kemerdekaan, Hari Kartini, Sumpah Pemuda, Ulang Tahun atau acara-acara kampung lainnya. Dari sanalah awal mula saya berkreativitas dengan daya cipta dan cinta yang sungguh-sungguh. Sebab apa yang saya buat untuk dipersembahkan pada masyarakat seputar. Untuk keluarga dan tetangga yang saya sayangi dan yang menyayangi saya. Karya tersebut juga untuk kemajuan kami bersama sebagai anak kampung yang acapkali direndahkan dan dipandang urakan, miskin, kurang pergaulan, bodoh dan tak punya fasilitas untuk maju. Itulah yang saya alami ketika masa remaja di usia 15 – 21 tahun.
Anda menganggapnya sebagai proses berkesenian?
Ya. Waktu itu saya dan teman-teman kampung bebas membuat kreativitas apa saja setiap ada acara perayaan. Seperti baca puisi, pameran menggambar, membuat drama, Joget dangdut, mengarang indah, main musik dan bernyanyi, dan yang paling seru kalau nongkrong bersama di pinggir jalan. Kami berlomba lomba membuat cerita. Nah dari proses seperti itulah sebenarnya saya tumbuh dan berkembang. Proses yang “asal-asalan” tapi dikerjakan dengan sepenuh hati dan keringat. Semua kreativitas yang kami lakukan saling berhubungan juga saling menguatkan satu sama lain.
Secara tidak langsung kegiatan tersebut membentuk pola dan cara saya dalam menjalani proses berkesenian. Ketika saya sedang melakoni atau menggarap sebuah karya, ya harus dikerjakan dengan sepenuh keringat dan setulus hati. Karena akan saya persembahkan untuk mereka yang saya sayangi. Saya cintai. Dengan keseriusan ala saya sendiri, si anak kampung-an yang dicap dekil dan urakan, padahal hatinya penuh kasih. Hehehe. So, Anda bisa menyimpulkannya sendiri. *** (HT)