Oleh DIMAS SUPRIYANTO M.
Saya punya teman baru – tapi orang lama. Namanya Anto Baret. Dia jadi teman baru, karena baru ngobrol intens dan langsung klik, sebelum dan sesudah wawancara resmi yang direkam video untuk laman (portal web) Seide.id.
Tapi sesungguhnya dia orang lama. Dia tokoh musisi, pendiri KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan), sekaligus sosok yang dituakan dan “mbaurekso” (jadi makhuk penunggu) Gelanggang Remaja Jakarta Selatan. Sejak dekade 1980an.
Sebenarnya dulu saya pernah dikenalkan kepadanya di ‘Wapres’ : Warung Apresiasi Bulungan – oleh sahabat kami, Ayub Abdullah Adam, jurnalis dan produser (pernah membuat album dengan Franky Sahilatua dan Iwan Fals. pen). Tapi waktu itu ngobrol ala kadarnya. Di tengah keramaian dan cahaya remang remang Wapres yang tengah ada acara pentas seni. Riuh. Bising.
Anto Baret adalah sosok legenda. Sebagai pengamen dia seangkatan Tom Sleppe, Yono Slalu, John Dayat, Ade HL dan Iwan Fals, yang namanya kemudian membahana dan menasional. Bedanya Iwan Fals jadi ‘superstar’, dia berhenti di ‘star’ saja. Belum ‘super’. Tapi di kalangan pengamen dia sudah menasional. Sebab KPJ di Jakarta menginsipirasi lahirnya kelompok sejenis di berbagai propinsi dan kota sak indonesia. Dia dijadikan rujukan. Cap organisasi dan tanda tangannya laris.
Dengan Iwan Fals dia berteman karib hingga kini. Kapan waktu dia perlu, Anto bisa menyambangi rumah bapaknya Galang Rambu Anarki itu – yang terbuka untuknya setiap saat.
Konon ada cerita seru di antara keduanya. Terkait nama ‘Baret’ di belakangnya itu.
Memang topi baret menjadi ciri khasnya, tapi penamaan ‘Anto Baret’ bukan atas kehendaknya. Didahului oleh “insinden”.
“Kami sempat rekaman bareng di Musica Studio. Tahu tahu di sampul kaset ditulis nama saya ‘Anto Baret’. Kok gak bilang dulu? Ya, saya marah!, ” kenangnya. Dia pun labrak Iwan Fals!
Tapi Iwan si Omar Bakri menghadapi dan menanggapi kemarahannya dengan anteng. “Lu gitu aja marah? Nah gua dikasi nama ‘Iwan Fals’ sama orang nggak marah? ” kata pemilik nama Virgiawan Listanto itu kalem.
Iwan Fals memang nama yang diberikan pembawa acara saat manggung di Bandung. Soalnya nama Iwan tergolong ‘generik’. Umum. Musti ada tambahan biar khas. Maka dipanggillah dia dengan nama Iwan Fals, meski suaranya sama sekali tidak fals.
Dari nama Iwan Fals muncul Doel Sumbang yang juga tidak sumbang. Doel nama ‘generik’ juga.
Anto Baret pun begitu. Anto nama ‘generik’. Musti pakai tambahan biar unik dan khas. Maka ditambahkanlah nama Baret itu sebagaimana tampilan khasnya.
Luluh juga Anto dengan argumen dan penjelasan itu. Tak jadi marah. Malah dia pakai nama itu juga sampai sekarang.
KPJ adalah album kolaborasi Iwan Fals dan kawan-kawannya sesama pengamen yang tergabung dalam Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) yang dirilis pada tahun 1985. Album ini menggunakan nama Iwan Fals yang sudah terkenal di sampul depannya dan didukung oleh Herry Lintauw, Anto Baret, Swartato, Eko Partiteur. Sawung Jabo turut perpartisipasi dalam lagu “Penari Jalanan“, sedangkan Iwan Fals sendiri hanya bernyanyi penuh pada lagu “Kembang Pete“, “Kupaksa Untuk Melangkah“, dan “Dua Menit Sepuluh Detik”.
ADAPUN keakraban saya dengan Anto Baret pekan lalu dicomblangi oleh Mas Harry Tjahyono, novelis, cerpenis dan jurnalis senior. Teman karibnya di Bulungan. Mas Harry perlu mengajak saya, supaya ada hal baru yang ditanyakan.
“Lha kalau saya ‘kan teman lama? Nggak ada yang baru di mata saya..nanti sampeyan saja, yang nanya nanya, ” katanya, menyorongkan saya ke Kyai Pesantren Seni di Bulungan itu.
Divideokan oleh Herman Wijaya alias Matt Bento, kami pun terlibat perbincangan asyik. Sebelum itu ngobrol juga pakai bahasa Jawa gaya Jawa Timuran. Anto Baret kelahiran Malang, 11 Juli 1957.
Anto sebenarnya unik. Latar belakangnya cemerlang, mahasiswa semeter akhir di Malang dan pelatih karate. Tapi malah hijrah sebagai pengamen jalanan.
Kehidupan ibukota dijalaninya dengan keras. Sering dipalak preman dan dihina orang membuat dia harus tegar dan survive. Apalagi dia tak bisa melihat teman-temanya dianiaya. Dia pasang badan saat rekannya sesama pengamen dikeroyok para pedagang sate Madura di Blok M. Dia hajar satpam mall yang menganiaya Radhar Panca Dahana (alm). Kabarnya dia sempat “sekolah” juga dalam urusan ribut ribut. Masuk bui, maksudnya.
Sebagai seniman dia bukan kaleng kaleng. Zaman dulu pengamen jalanan harus membawakan lagu ciptaan sendiri. “Tiap kami ngumpul bareng harus bawakan lagu baru, ” katanya. “Mengamen itu buat perantara masuk dunia rekaman, ” jelasnya. Iwan Fals salahsatunya.
Tapi di luar kesenimanan di Bulungan dia mendirikan sasana tinju yang diberinya nama BBC; Bulungan Boxing Club. Dan bukan sembarang sasana karena menghasilkan banyak atlet PON. Sasana tarung bebas yang sekarang banyak disiarkan teve juga tengah dirintisnya kini.
Bertubuh kejar dengan penampilan bak preman, dan pembina atlet, Anto Baret yang musisi jalanan ini ternyata menyandang gelar haji.
Ada cerita juga di belakangnya. Gara gara tumbuh benjolan besar di lehernya semacam tumor. Sakit rasanya dan mengganggu penampilannya – karena terus membesar.
Seharusnya dia operasi tapi keajaiban datang saat ada yang menyembuhkan lewat racikan obat herbal. Begitu tumor hilang, leher bersih dan pulih seperti semula, dia pun ke Tanah Suci sekeluarga. Maka dia pun menyandang gelar Haji. Haji Anto Baret.
Agak aneh nama itu. Jarang juga yang menyebutnya. Cuman saya saja yang nyebut itu memang.
“Anto Baret dengan filsafat sederhana dan disiplin yang kuat bisa membina anak anak jalanan menjadi orang ‘rumahan’ yang mengabdi kepada nilai nilai baik di dalam hidup bersama di masyarakat, ” kata penyair WS Rendra, pada ultah KPJ 2007 lalu, dalam catatan seperemoat abad perjalanannya. “Beda dengan kader-kader politik yang akhirnya jadi koruptor atau kader kader agama yang menjadi tokoh tokoh sangar!”
Anto Baret lahir di kota Malang, 11 Juli 1957. Hari ini dia berulang tahun yang ke-32. Lantaran teman baru, ultahnya saya diskon 50%
Selamat Ultah ya Mas. Tetap jaga prokes.