Pujanggga Inggris William Shakespeare (26 April 1564-23 April 1616), terkenal dengan ucapannya “Apalah arti sebuah nama!”. Shakespeare menilai, orang diperhitungkan dari perbuatannya (hasil karyanya) bukan dari namanya. Pendapatnya itu sampai sekarang masih jadi perdebatan.
Dalam artikel ini saya tidak mau berbicara tentang nama, sebab mungkin juga banyak orang yang tidak terlalu peduli dengan namanya, terutama nama pemberian orangtuanya, sehingga dengan seenaknya mengganti nama, walau tanpa dilakukan dengan upcara pembuatan bubur merah dan bubur putih. Umumnya itu terjadi di kalangan selebritis. Tapi ada pula yang dipaksa harus ganti nama, seperti etnis Cina di Indonesia!
Di sini saya akan berbicara tentang arti sebuah makam.
Sejak jaman purba makam sangat berarti. Bukan bagi orang yang telah meninggal, tetapi bagi yang hidup. Yang meninggal kita tidak tahu apa yang terjadi dengan arwahnya, kendati kita manusia hidup suka menebak-nebak: orang yang semasa hidupnya baik, rajin beribadah dan suka beramal, diyakini akan masuk surga; sedangkan yang jahat, suka memakan barang haram, walau semasa hidup menutupinya dengan rajin beribadah, beramal, ya alamat ditempatkan di bagian paling ujung, yang apinya meluap-luap.
Makam bagi manusia yang ditinggalkan mati oleh keluarga dekat, kerabat atau orang-orang yang dikenalnya secara baik, memiliki arti yang sangat penting. Di makam orang-orang yang pernah memberi arti dalam hidupnya itulah, manusia kerap datang sekedar untuk meletakan rangkaian bunga, berdoa, atau mencabuti semak belukar yang sudah mulai liar.
Islam sangat menganjurkan pemeluknya melakukan ziarah kubur. Ada hadis yang berbunyi begini: “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian, dalam riwayat lain ; ‘(Maka siapa yang ingin berziarah kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu mengingatkan kalian kepada akhirat,’ (HR Muslim).
Itulah sebabnya setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri, pemakaman muslim selalu ramai dikunjungi oleh peziarah yang ingin berdoa di makam keluarga atau kerabatnya. Tukang kembang pun dapat rejeki tahunan yang cukup besar.
Atau kalau makam yang terbuat dari batu – entah batu alam atau batu buatan – perlu juga ditengok, untuk melihat apakah makam itu masih utuh, mengalami kerusakan karena faktor alam, sudah kotor / rusak karena aksi vandalisme.
Rasanya jarang melihat manusia yang tega membiarkan makam keluarga atau kerabatnya terbengkalai. Setidaknya tiap tahun menjelang hari raya selalu ditengok, untuk berziarah, memanjatkan doa-doa bagi arwah orang-orang yang makamnya diziarahi.
Namun tidak sedikit pula ada orang yang datang ke suatu makam untuk meminta agar usahanya berjalan lancar, rejekinya melimpah dan diberi berkah selamat. Walaupun perbuatan itu ada yang menyebutnya musyrik, menyekutukan Allah, ketika sudah kepepet dan nafsu duniawi begitu menggoda, stempel apapun yang disempatkan, orang tidak peduli. Itulah sebabnya Pasarean (makam) Eyang Djogo di Gunung Kawi, Malang selalu ramai dikunjungi oleh para pencari kekayaan.
Di Sragen, Jawa Tengah ada makam Pangeran Samudra. Ini juga makam yang dikunjungi oleh orang yang ingin dimudahkan dalam berusaha. Bila ziarah ke Makam Pangeran Samudera di Gunung Kemukus itu, pengunjung tidak cukup hanya membawa sesajen atau meminta apa yang diinginkan di makam kramat, tetapi juga harus melakukan seks bebas dengan lawan jenis – siapa saja – yang datang ke tempat itu.
Sejak jaman dulu orang sudah menyadari betapa pentingnya tempat pemakaman – kecuali orang Hindu yang mayatnya di bakar.
Bagi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi pada jaman dulu, seperti keluarga Raja atau bangsawan, makam tidak sekedar sebuah tempat untuk meletakan mayat orang mati, tetapi juga menjadi tempat peringatan bagi orang yang telah mati itu.
Di Kota Xian, Cina, ditemukan makam Kaisar Qin Shi Huang yang dikelilingi oleh patung tentara terakota (tanah liat yang dibakar). Pemakaman itu sudah ada sejak 200 SM.
Makam Firaun di Mesir yang ditemukam sudah ada 3000 tahun SM.
Masyarakat di Nusantara juga sudah membuat tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang tertentu di pemakamam khusus
Di Bali Bali ada Desa Trunyan tempat pemakaman mayat yang diletakkan di bahan
pohon di tempat terbuka. Anehnya jasad yang diletakkan bawah pohon di sana tidak berbau.
Di Tana Toraja ada makam dinding batu Lemo dan Londa, terutama untuk keluarga bangsawan. Di Minahasa ada kubur batu yang disebut Waruga. Uniknya waruga itu dibuat sendiri oleh orang yang akan menempati kubur batu itu jika kelask ia meninggal.
Di tanah Batak ada Sarkofagus, semacam peti mati dari batu. Sebagian besar sarkofagus yang ditemukan di Samosir merupakan wadah kubur yang di dalamnya terdapat tengkorak dari banyak individu yang berasal dari satu marga.
Di era yang lebih modern, membuat pemakaman khusus juga dilakukan. Raja-raja Mataram memiliki pemakamam khusus di Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Bantul, Yogyakarta.
Di masa kolonial Belanda, di Jakarta ada pemakaman yang batu nisanya diberi patung-patung indah. Saat ini dikenal sebagi Museum Taman Prasasti yang terletak di Jl. Tanah Abang I.
Beberapa tahun terkahir ini, memiliki tempat pemakaman terasa penting, terutama untuk umat beragama non Hindu, yang masih memakamkan jenazah. Sebab tempat pemakaman makin padat, harga tanah semakin mahal. Jika tidak booking atau menyiapkan tempat pemakaman jauh-jauh hari, bakal repot kelak.
Banyak keluarga-keluarga atau masyarakat yang membeli tanah untuk pemakaman. Baik pemakaman yang terletak di pinggir kota atau di pinggir kota tapi ditata dengan selera kekinian seperti di San Diego Hill, yang harganya per lubang puluhan juta, hingga berharga miliaran untuk sebuah kapling.
Di awal pandemic covid, rakyat tidak bisa memilih. Protokol covid-19 mengharuskan jenazah manusia yang meninggal karena Covid harus dikuburkan di pemakaman yang disediakan oleh pemerintah, dan pemakamannya juga dengan protokol covid, oleh petugas yang mengenakan pakaian Hazard. Keluarga dekat sekalipun tidak hanya diperbolehkan melihat dari jarak tertentu.
Awalnya pemakaman khusus Covid-19 hanya ada di Pondok Rangon, Jakarta Timur, kini sudah ada lagi di Rorotan Jakarta Utara yang juga hampir penuh, karena setiap hari ada puluhan – ada yang menyebut 200 jenazah dimakamkan.
Bagi keluarga yang tidak bisa melepaskan kenangan dengan almarhum, melihat orang yang disayanginya dimakamkan di pemakaman covid tanpa bisa melakukan penghormatan terakhir, merupakan siksaan batin yang luar biasa. Karena itu bisa menimbulkan kesedihan berkepanjangan.
Barangkali karena itu pula ada beberapa kasus pengambilan paksa jenazah korban covid oleh pihak keluarga di Jawa Timur. Mereka ingin memakamkan sendiri dengan tata cara sendiri, di tempat yang bisa sewaktu-waktu diziarahi. Mereka lebih takut kuwalat kepada yang mati, dibandingkan terpapar Covid-19. hw