Oleh PANDUPAKSI
Di Kerajaan Tasikmadu, Korawa baru saja menjajal kesaktian Citragada. Apalah yang mereka, orang-orang yang tak pernah berprihatin ini, andalkan untuk merobohkan Citragada. Jayadrata yang dijagokan mewakili Dursasana, kalah. Terlempar keluar panggung. Lalu, Dursasana maju sendiri, nyungsep. Kartamarma penasaran, melompat ke panggung, dalam beberapa jurus klenger. Lalu, mereka main keroyokan, keok. Satu demi satu terpelanting keluar panggung.
“Korawa memang gak ada yang mbejaji. Kojur, kojur! Dursasana, Kartamarma, pulang!” Sengkuni memimpin ponakan-ponakannya pulang.
Penonton kecewa. Sudah hampir seminggu belum ada lawan yang lumayan bagi Citragada. Boro-boro bisa merobohkan Citragada. Inilah yang juga menggelisahkan Prabu Gandasena.
“Citragada, harusnya Rama bangga melihat kesaktianmu yang pilih tanding. Tapi, kali ini justru Rama sedih.”
“Lho, kenapa begitu, Rama? Bukankah Rama Prabu juga yang dulu menggadang-gadang Citragada menjadi ksatria sakti mandraguna?”
,”Itu betul. Tetapi, kesaktianmu dalam perkara ini mencelakakan mbak ayumu sendiri. Kesaktianmu justru memagari mbak ayumu dari jodohnya. Bagaimana kalau nanti ternyata memang tidak ada yang bisa mengalahkanmu, Citragada? Senang kamu melihat mbak ayumu Gandawati jadi perawan tua?”
“Rama Prabu, Citragada bukan siapa-siapa. Masih banyak orang sakti di luar sana. Di atas langit masih bertumpuk langit, Rama.”
“Benar katamu. Tetapi, bukan mustahil orang-orang sakti tadi tidak ingin lagi mencari istri. Mereka sudah hidup tenteram bersama keluarga….”
“Rama Prabu, jangan lagi Kangmbok Gandawati yang cantik ngujiwat. Gadis-gadis buruk rupa pun pasti punya jodoh. Bahkan sato wana pun punya jodoh masing-masing….” Dan, muncullah Arjuna menghentikan perdebatan anak dan bapak itu.
Melihat Arjuna, Prabu Gandasena tertawa-tawa. Inilah saatnya Gandawati bertemu jodohnya, pikir
Raja Tasikmadu yang sering mendengar cerita tentang Pandawa, khususnya Arjuna.
“Citragada, sebaiknya sayembara ditutup. Jangan kamu mempermalukan diri di hadapan Raden Arjuna, Citragada.”
Citragada tertawa, lalu katanya, “Orang lain boleh takut, tetapi Citragada tidak, Rama Prabu.”
“Jagad dewa bathara, Citragada, kamu tidak tahu siapa Raden Arjuna.
Jagoning dewa, lananging jagad….”
“Rama Prabu,” tukas Dewi Gandawati yang sejak tadi diam.
“Ada apa, Nini?”
Tetapi, Dewi Gandawati tidak menjawab. Batinnya sibuk menata perasaannya. Inilah yang terkenal sebagai Ksatria Bagus Tanpa Cacat itu?
Arjuna pun tak kalah sibuk batinnya.
Sungguh, tidak disangkanya ada wanita yang mirip sekali dengan wanita yang pernah digilainya, Dewi Anggraini. Wanita yang mengharuskannya tapa ngrame. Wanita yang begitu setia kepada suami. Wanita yang, ah! Inikah maksud Sang Hyang Narada menyuruhku ke Tasikmadu? Arjuna bertanya-tanya dalam hati. Lalu, bersemangat ia menghaturkan sembah dan berkata, “Apa aku datang terlambat, Sang Prabu Gandasena?” Arjuna menukas.
“Tidak, Raden. Sayembara Pilih Tanding masih dibuka,” sahut Citragada.
“Citragada, jangan lancang!” tegur Prabu Gandasena. “Raden Arjuna, maafkan anakku Citragada. Apa tidak sebaiknya kita … “
“Tidak, Sang Prabu. Aku datang untuk Sayembara Pilih Tanding. Bukan untuk maaf-maafan.” Arjuna menukas tegas.
“Kalau begitu, aku dan Gandawati berharap Raden mau menularkan kesaktian Raden kepada anakku, Citragada.”
Dan, pertarungan pun dimulai. Para penonton menahan-nahan napas.
Dalam beberapa jurus, Arjuna tahu ilmu perang tanding yang diandalkan Citragada. Arjuna tertawa dalam hati. Itulah ilmu warisan Begawan Wilapuk, pertapa sakti yang pernah menjadi gurunya. Arjuna tidak ingin mempermalukan Citragada, yang nyatanya adik seperguruannya, yuniornya. Maka Arjuna mengeluarkan jurus-jurus yang sama untuk mengalahkan Citragada.
Citragada mundur selangkah. Kaget bukan main. Penasaran.
“Raden Arjuna tahu ilmu yang kupakai?” tanyanya masih dengan napas memburu.
“Akulah murid pertama Begawan Wilapuk….”
“Duh, sembah saya, Raden.” Citragada menjatuhkan diri, berlutut.*