Seide.id – Apa hal terbaik yang harus dilakukan selama menjalani hidup?
Tidak ada yang lebih baik selain selalu bersyukur dalam segala hal, baik itu untuk hal baik, mau pun hal buruk.
“Bersyukur itu tidak ada hari libur…”
Jawaban dan pesan itu disampaikan oleh wartawan, sastrawan, “raja tabloid”, Arswendo Atmowiloto, kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Bersyukur untuk hal baik tentunya mudah.
Tapi, meski mudah, masih saja sering terlupakan. Apalagi, harus bersyukur dalam situasi buruk. Ini sangat sulit.
Namun, luar biasanya, pesan itu justru makin diingatkan Arswendo kepada keluarganya di saat tubuhnya sedang digerogoti kanker prostat.
“Bersyukur,” ucapan lirih Arswendo ini nyaris membuat bos JK Records, Judhi Kristianto, menangis saat membezoeknya.
Bagaimana mungkin Arswendo, yang sudah tergeletak lemah tidak berdaya di ranjang dan dalam pengaruh obat bius penahan sakit, masih mampu mengingatkan untuk bersyukur?
Arswendo memang sosok “kontroversial”, sebagaimana ia disebut.
Dua sisi mata uang
Melihat Arswendo seperti melihat keping mata uang yang berputar.
Tidak ada yang bisa menduga pada sisi mana keping mata uang itu akan berhenti berputar.
Jalan pikirannya sulit ditebak.
Siapa sangka pemimpin tabloid dengan tiras terbesar di dunia, Monitor, nyaris 1 juta eksemplar tiap terbit, yang disebut penggagas jurnalisme sensasi, Jurnalisme Lher, akan membalikkan semuanya menjadi Jurnalisme Kasih Sayang?
Juga, ketika orang lebih suka membuat sinetron dengan latar kehidupan serba glamor, pencipta sebutan sinema elektronik menjadi sinetron ini malah melakukan sebaliknya.
Arswendo hadir dengan cerita yang napak Bumi.
Ia gambarkan fakta kehidupan sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat lewat sinetron-sinetron Canting dan Keluarga Cemara dengan mengusung pesan-pesan moral di dalamnya.
Bahwasanya, “Meski hidup itu tidak selalu indah, tetaplah untuk hidup jujur, karena miskin bukan aib, apalagi dosa,” ungkapnya.
Kreatif dan sangat produktif
Sosok fenomenal yang mampu bekerja dengan tiga komputer dan telah melahirkan lebih dari 50 karya sastra antara lain Dua Ibu, Sudesi (Sukses dengan Satu Istri), Berserah itu Indah, diakui sangat kreatif dan produktif.
Pengakuan itu tidak meleset.
Karena di tengah kanker yang menggerogoti tubuhnya, nyatanya suami dari Agnes Sri Hartini ini masih mampu menyelesaikan novel terakhirnya, Barabas.
Naskah novel ini diketik oleh putrinya, dengan memperhatikan ucapan Arswendo.
Sayangnya, novel best seller ini tidak sempat ia lihat fisiknya, karena, sebelum hari peluncurannya, Tuhan telah lebih dulu memanggil Arswendo.
Tokoh pers kelahiran Surakarta ini meninggal pada 19 Juli 2019 dalam usia 71 tahun.
Berbagai kalangan, mulai dari publik figur sampai kalangan tidak dikenal seperti tukang sayur dan asongan, hadir untuk melepas kepergiannya.
Dalam hidupnya, Arswendo memang dikenal sebagai pribadi yang suka menolong, bukan sebatas mengorbitkan, melainkan juga pertolongan lainnya.
Tayangan berita sempat menampilkan sekelompok masyarakat yang hadir saat melepas kepergiaanya.
“Kami lihat berita Pak Wendo meninggal. Kami mau ngucapin terima kasih sama Pak Wendo. Kami dulu ditolong. Dikasih modal buat dagang. Buka lapak, ” ujar mereka.
Uniknya, mereka hadir membawa sesuatu untuk diberikan sebagai ucapan terima kasih karena telah ditolong.
Tentu saja pihak keluarga menolak.
Seperti kata putrinya Caecelia Tiara, yang mewakili kedua kakaknya, Sonny dan
Pramudha Wardhani, “Bapak tidak pernah mengajarkan menolong untuk berharap timbal balik.”
Penghargaan
Penulis Senopati Pamungkas ini memang telah pergi meninggalkan harta berharga bagi negeri ini lewat karya-karyanya dan sejumlah penghargaan.
Di tahun kepergiannya, dalam satu tahun berturut-turut ia menerima tiga piala penghargaan. Piala Maya, Piala Citra, dan Piala Panasonic Gobel Awards.
Namun, hanya satu piala yang sempat ia terima sendiri, yakni Piala Maya.
Dua piala lainnya, Piala Citra untuk film Keluarga Cemara Harta Paling Berharga dan Piala Panasonic Gobel Awards untuk Pengabdian Seumur Hidup, yang diserahkan oleh Menteri Johnny G Plate, diterima oleh putrinya, Caecilia Tiara.
Semua penghargaan itu membuktikan akan kemampuan Arswendo.
Tapi, andai ia masih hidup, akankah ia merasa dirinya besar?
Rasanya tidak.
Karena di hari ia menerima Piala Maya, dengan jujur ia katakan pada sahabatnya, Suricke,
“Kadang Tuhan memberikan apa saja, terasa berlebihan. Barangkali ini kesengajaan agar kita selalu ingat dan bersyukur pada-Nya.”
Arswendo tidak pernah menganggap dirinya ‘besar. Pribadi sederhana ini merasa semuanya adalah pemberian Tuhan.
Seperti tulis Presiden Joko Widodo pada bukunya, Bersyukur tanpa Libur, “Saya mengenal Arswendo sebagai seniman yang sederhana, apa adanya… Nilai-nilai kemanusiaan dan kecintaannya terhadap Indonesia merupakan hal yang sangat layak untuk dikenang.”
Arswendo Atmowiloto telah meninggalkan banyak karya bagi negeri ini
Namun, satu hal yang tidak bisa dilupakan sahabatnya adalah ketika dalam kondisi lemah tidak berdaya, Arswendo Atmowiloto berkata,
“Saya percaya semua adalah baik adanya.”
Begitulah Arswendo Atmowiloto.
(Hari Pers Nasional 2022)
(ricke senduk)
Patung Jokowi Naik Sepeda Motor Akan Dipasang di Gerbang Sirkuit Mandalika