Oleh HARRY TJAHJONO
Ketika TV swasta belum ada, tahun 1989, saya sudah menulis sinetron untuk TVRI. Tahun 1992, saya mengelola tabloid Bintang Indonesia bersama Yanto Bhokek, Erwin Arnada, Gunawan Wibisono, Ricke Senduk dan belakangan Arswendo Atmowiloto. Ketika itu RCTI belum lama lahir, disusul TPI. Dan Bintang Indonesia mengisi kekosongan penerbitan pers tentang televisi setelah tabloid Monitor dibredel dan Arswendo dipenjarakan.
Monitor dan Arswendo adalah media dan sastrawan jurnalis yang (pertama kali) secara spesifik, intens dan serius mengulas dan mengkritisi produk, produser, penyelenggara dan artis pendukung acara televisi. Tidak ada program televisi yang luput dari pengamatan Monitor dan kritik Arswendo.
Prestasi stake-holder televisi pun selalu diapresiasi Monitor dan dipujikan Arswendo, yang menciptakan dan memopularkan istilah Sinetron, akronim dari Sinema Elektronik. Losmen, Jendela Rumah Kita dan Rumah Masa Depan adalah serial tv-play terpuji yang ketika itu tayangan andalan TVRI.
Dan TV swasta bertumbuh. Dimulai dengan RCTI, TPI, SCTV, INDOSIAR dan seterusnya. Bintang Indonesia melanjutkan tradisi Monitor mengapresiasi dan mengkritisi program TV, utamanya sinetron.
Production House (PH) bermodal kecil namun idealismenya besar mendapat ruang tayang untuk memproduksi tema sinetron yang beragam.
Di masa itulah lahir serial Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara dan beberapa sinetron TV swasta yang diproduksi PH kecil, yang layak disebut tontonan menarik, legendaris dan terpuji.
Tahun 1997, krisis moneter (krismon) melanda, bangunan ekonomi Indonesia terguncang rontok. PH bermodal kecil bertumbangan lantaran pembayaran dari stasiun TV swasta terkendala banyak masalah. Pada akhirnya, hanya PH bermodal raksasa saja yang bisa bertahan. Bukan karena produk mereka lebih baik dari bikinan PH kecil, melainkan juga akibat TV swasta mempunyai hutang besar kepada PH besar.
Karena punya piutang besar akibat TV swasta gagal bayar produknya, maka PH besar punya daya tawar tinggi atas slot prime time TV swasta. Quality control TV swasta juga jadi kendor bahkan dikooptasi PH besar sehingga apapun yang diproduksi PH besar selalu bisa tayang di slot prime time.
Nasib PH kecil pun semakin terpuruk dan akhirnya tewas tatkala TV swasta mengambil kebijakan in-house, dalam arti memproduksi sendiri acara tayangannya, alias melakukan praktik monopoli. Sementara itu quality control terhadap produk in-house tentunya juga lebih lunak dan lebih longgar.
Bersamaan dengan itu demam internet, portal online dan medsos mulai menggerus eksistensi penerbitan pers cetak sampai meloyo. Bintang Indonesia yang sudah beranak-pinak tabloid Fantasi, Aura, Dangdut, Home, Teen akhirnya dilumpuhkan era digital. Hanya Bintang Indonesia yang masih sempat bertahan dengan oplah kecil sementara semua anak pinaknya lebih dulu berhenti terbit.
Tahun 1999, saya dan Mas Arswendo mencoba membangun tabloid PRO-TV dan Bianglala. Awalnya, PRO-TV tampak menjanjikan. Setidaknya kemunculan PRO-TV dengan konsep jurnalisme-visual, menjadi trend-setter yang membuat tampilan banyak tabloid lain ikut berubah. Tapi, dua tahun berjalan, PRO-TV sudah harus berhenti terbit.
Tumbangnya penerbitan pers cetak, utamanya yang secara spesifik mengulas acara TV, barangkali memang sekadar kekalahan bisnis media cetak melawan kehendak sejarah era digital. Toh pebisnisnya bisa hengkang berusaha di bidang lain.
Namun, dengan tewasnya penerbitan pers tentang televisi, maka tidak ada lagi yang secara intens mengulas dan mengkritisi acara TV dan kebijakan pertelevisian. Dengan demikian, industri pertelevisian berkembang layaknya pabrik-pabrik cemilan instan yang menggelontorkan produknya ke penjuru kampung hingga pelosok pedesaan. Dan mutu cemilannya hanya bergantung pada kinerja Badan POM yang hanya bertindak jika produk yang diedarkan mengandung cacing, misalnya, seperti yang pernah terjadi pada ikan kalengan.
Kemudian stasiun TV menjadi partisan, karena pemiliknya sebagian merangkap jadi ketua parpol. Kebijkannya semakin monopolitik, kian didominasi produk PH besar dan juga artis-artis miliuner yang jadi bohir produser acara.
Alhasil, televisi dibanjiri acara yang tidak jelas juntrungannya, yang memanjakan penonton dengan hiburan sontoloyo. Celakanya, tidak ada lagi media yang mengkritisi sementara Kemenkoinfo dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sepertinya menganggap semuanya baik-baik saja. Masyarakat juga apatis. Tokoh-tokoh agama lebih ngotot bicara sorga neraka daripada membahas halal-haram suatu acara televisi.
Di masa mengelola tabloid Bintang Indonesia dan PRO-TV, saya menyaksikan dan ikut “mengantar” artis pemula berjuang menjadi bintang sinetron. Namun, saya sungguh miris melihat mereka sekarang ini girang banget berhaha-hihi mengeksploitasi popularitasnya dalam program acara yang memuakkan—di televisi maupun di medsos.
Televisi, kita tahu, adalah satu-satunya hiburan gratis rakyat kecil, yang sebagian besar di antaranya berpenghasilan rendah. Bagi masyarakat menengah ke atas, ketika acara TV nasional konyol dan memuakkan, mereka bisa berlangganan TV kabel dan menikmati hiburan menarik yang disuguhkan Natgeo, Fox, HBO, History dan channel berbayar lainnya.
Tapi, rakyat kecil yang berada di perkampungan kumuh dan pelosok pedesaan, tak bisa lain kecuali nonton apapun yang ditayangkan TV swasta nasional yang gratis, yang terkadang hilang sinyal sehingga mutu siarannya buram bersemut.
Kita, setidaknya saya, merindukan kehadiran media dan tokoh seperti Arswendo Atmowiloto yang punya passion mengulas dan mengkritisi dunia pertelevisian. Merindukan kembalinya idealisme programmer, kreator, penulis dan artis-artis pendukung acara TV yang memiliki kesadaran bahwa profesinya itu dibayar mahal demi memberikan hiburan gratis kepada rakyat kecil,. Dengan begitu, mereka mestinya paham kok tega sudah dibayar tinggi cuma sekadar berhaha-hihi pamer ini itu di televisi–belakangan juga di YouTube dan Instagram.
Nasib televisi, satu-satunya hiburan gratis rakyat kecil, bisa dibilang ironis dan menjelang tragis. Sayangnya, hiburan berbayar pulsa seperti Youtube dan Instagram, juga dibanjiri artis selebritas yang tanpa merasa berdosa asyik mengumbar produk acara yang menghina kecerdasan penontonnya.*