Oleh MUDJI SUTRISNO SJ, Rohaniawan
Ketika buku “A Tribute to Arswendo” dengan prinsip hidup berimannya di gelombang- gelombang hidupnya yaitu “Bersyukur Tanpa Libur”, maka di buku bernas ini, akan tertulis ragam mereka yang pernah dididik jadi jurnalis, ahli dalam medsos saat itu, para sahabat dan paling batin adalah istri dan putra-putri mendiang, yang ternyata mewarisi “gen kesenimanan dan kepenulisan Wendo”, panggilan akran Arswendo Atmowiloto.
Sisi-sisi berwarna-warni Wendo terutama yang ditulis dalam puncak-puncak novelnya, yang Anda tinggal nge-klik saja nama Arswendo, pasti keluar lengkap dan jadi penanda betapa amat sangat kreatifnya dan benarlah adagiumnya yang terkenal itu, yaitu: “Mengarang itu Mudah”.
Betapa tidak, dari budaya tulis bahkan cerita silat bersambung, novel, esai-esai ke budaya visual, yang ia sendiri memberi nama ciptaannya yaitu Sinetron singkatan dari “Sinema Elektronik” terutama “Keluarga Cemara”, yang sudah difilmkan. Terasa mengenang dan mengendap hening dalam ingatan kita.
Kekuatan Kreasi Karya Tulis
Namun, masih ada satu oase inti yang karena berupa mata air imannya, seakan memang tidak dipamer-pamerkan seturut logika panggung pesohor, namun menjadi sumber kekuatan kreasi karya tulis dan imajinasi Wendo.
Lapis pertamanya mesti dimasuki dan belajar menangkapnya dibalik ungkapan “Bersyukur Tanpa Libur”. Pengalaman menghayati hidup, pernah dipenjara (dan Anda bila mau menapaki, silahkan menyimak buku “Bersyukur Tanpa Libur: Catatan Kehidupan Arswendo Atmowiloto”, Gramedia Pustaka Utama, 2020). Di dalamnya termuat Wendo tentang dirinya sendiri, di bab. 01, mulai dari anjing pertama, ibu pertama, mesin tik pertama, celana panjang pertama, tato pertama, mobil pertama, rumah sakit pertama, mendalang pertama kali sampai perkenalan pertama dengan makhluk halus.
Semua serba pertama ada di 01 buku ini sebanyak 123 halaman. Bagian 02 adalah orang-orang lain mengenai Wendo dalam judul cantik: “Catatan dari mereka yang pernah dekat dengan Arswendo Atmowiloto: Selalu dalam kenangan” (hal. 140-234); mulai dari keluarga, rekan seprofesi, dari teman dan rekan kerja. Sehingga rangkuman bab-babnya dan seluruh buku pun diracik kata menurut mantra Wendo yang memang perajut kata bermakna dan dicuplikkan oleh editor dari buku tulisan-tulisannya atau kata (kalimat berjiwanya).
Menemukan Keleluasaan Tuhan
Bersyukur itu lega, tidak cemas, tidak lagi dibalut rasa takut, tidak berputar-putar dengan mencari alasan (Arswendo dalam buku “Horeluya”). Pengolahan hidup dalam pergulatan nilai yang disumberkan pada imannya misalnya terungkap jelas di novel “Dua Ibu”, Ia menulis: “hanya mereka yang tulus akan menemukan jalan keluar yang menyenangkan, tidak menyakiti siapa-siapa dan tidak menyisakan dendam”. Iman, sebuah ranah batin tempat oleh suka duka hidup yang dihaturkan pergulatan dalam teriak protes maupun sumeleh pasrah, manakala riuh pergolakan itu menemukan keluasaan Tuhan yang dipercayai ranah hening doa kepada Nya. Tengoklah ketika mengalami dipenjara dalam soal tabloid Monitor, yang tetap berpengharapan.
Nama baptis Paulus yang dalam perjalanan sejarah hidup dari Saulus, pengejar-kejar gereja awal menjadi Paulus, yang bertobat karena dipanggil Tuhan Yesus di jalan menuju Damaskus menjadi titik balik Paulus yang menjadi ‘baru’ dibabtis Roh baru dengan tugas mulia rasul untuk kekristenan non Yahudi, ya orang-orang bukan Yahudi sebagai jemaat awal.
Tatto Sendal Jepit
Karena itu pergulatan iman di saat dipenjarapun, mampu kita baca, terungkap sebagai berikut: “kalaupun berbuat jahat, lebih baik bertobat, meskipun tidak menyesal. Daripada menyesal tapi tidak bertobat”. Dari penjara itulah Wendo mampu menyulam puisi-puisi dalam anyaman olah batinnya bahwa “Berserah itu Indah”. Sebuah pengalaman yang menyuratkan yang tersirat pengalaman sampai akhir tak pernah ada proses pengadilan dan terbukti korban kekuasaan pada kejeniusan imaji kreatif Wendo dan toh harus meringkuk di dalam yang membuktikan ia tetap hidup, kreatif dan mampu ber-iman bahkan menjalarkannya dengan mengajak rekan- rekan tahanan untuk tidak mentato, melukai diri dan tubuh sendiri lagi tatapi energi “nglukis tato” itu di torehkan dengan mentato sandal jepit bahkan sampai diekspor keluar”.
Namun itu sekelumit kabar gembiranya yang mencuat tetapi sebagian besar hidup di tahanan memang penuh penderitaan, tetapi seperti Paulus (yang akhirnya menjadi nama babtis Arswendo) seakan sama pengalamannya, meski disesah (batin) dan menderita, namun religius Tuhan yang baik itu, juga maha rahim.
Namun buat seniman Dia adalah indah, dan “berserah kepadaNya dan memercayaiNya itu indah adanya!”. Karena inilah kini saya bisa memahami lebih mendalam, mengapa di dalam pengalaman dipenjara, melalui istri dan anak-anaknya waktu kami bezoek, Wendo memberikan hadiah terindah dalam hidup saya untuk hari syukur ulang tahun saya, berupa ‘kalender bersejarah yang ia rawat temukan ketika membersihkan gudang simpanan di penjara Cipinang’. Sebuah kalender bertahun kelahiran saya, yaitu 1954 hingga sejak saat itu perjalanan hari ke hari saya ditemani oleh kalender bertulis “Djawatan Kependjaraan Republik Indonesia 1954”. Dahsyat bukan.
Hari Baik Kamis Pon
Maka ketika saya pas pulang ke Solo, saya cerita pada Ibu (yang saat itu masih hidup) mengenai hadiah HUT dahsyat dari Wendo ini. Beliau bahagia mendengar lalu beliau bilang, “kamu lahirnya dalam weton Jawa, Kamis Pon”. Hari weton itu keramat dalam keyakinan kosmologi dan waktu Jawa yang masih disembahyangi dengan puasa pada hari lahir weton Jawa ini. “Lalu saya cek di kalender, saya lahir 12 Agustus 1954, benarkah lahir dengan hari baik Kamis Pon? Ternyata benar. Bukan main”.
Inilah kenangan terindah dari Wendo yang sejak itu saya juluki: “beyond the normal”, karena kreatif dan ide yang selalu dinamis muncul di benaknya. Lalu saya “ngeh” (paham sekali) mengapa ia menulis makna sebuah kenangan sebagai berikut: “Kenangan itu tidak bisa dikalahkan oleh waktu. Makin lama berlalu, kenangan makin bermutu” (buku Bersyukur Tanpa Libur hal. 99).
Uskup Agung Ucapkan Natal ke Penjara
Merupakan kenangan potret gembala yang baik seorang Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto SJ (alm.), sudi dengan gembira menegok atas permintaan Wendo untuk selamati natal Arswendo di penjara Salemba. Begini kisahnya, mas Wendo saat dibezoek (dikunjungi) meminta apakah mungkin Uskup Agung Leo Soekoto datang berkunjung di saat beberapa hari setelah Natal (karena pasti sulit di saat Natalnya).
Arswendo ingin berkah Natal dengan kehadiran sang gembala. Dan Tuhan itu ajaib, ketika saya ajukan permintaan ini, langsung spontan mengiyakan dan mau. Lebih unik lagi kenangan menjemputnya di Katedral, kami, bu Agnes, anak-anaknya sudah menunggu di kamar tamu Katedral (yang bangunan lama, kita bisa melihat naik turunnya Uskup dari bawah ke atas), cukup lama, ada apa pikir kami! Karena salah satu syarat mengengok ke penjara adalah membawa identitas diri, KTP atau sejenisnya. “Eh tiba-tiba terkejut”, karena spontan beliau bersuara lantang sambil turun tangga: “Wah KTP-ku tak saya temukan, mungkin karena merasa sudah dikenal, kemana-mana tanpa harus bawa KTP. Belum ketemu, namun saya bawa tanda pengenal PASPOR saja ya?” Kami tertawa sambil ada yang nyeletuk: “tidak masalah Monsinyur!”
Pengin Dibaptis Ia Disebut Paulus
Begitulah dalam kenangan unik, belum ada orang yang meminta dikunjungi seorang Uskup Agung di hari Natal, kalau bukan mas Wendo. Namun, jejak pergulatan iman dan laku beriman dari Arswendo yang sudah lama menerima Yesus, sejak perkawinan dengan istrinya di Solo dengan Agnes Sri Hartini, yang diberkati secara Katolik oleh alm. Rm. Soegiri SJ. Di gereja Dirjodipuran, tetaplah sebuah proses yang dari tahap tersirat akhirnya tersurat resmi baptisannya dengan nama permandian Paulus.
Sensus Catholicus sudah ia hayati dengan ke gereja tiap hari Minggu, sekeluarga sampai umat ingat deretan bangku duduk Wendo dan keluarganya di gereja Bintaro. Proses menjadi Katolik ini, saat saya mintakan ditulis oleh ibu Agnes istrinya, bukan main-main, ditulis sepenuh hati dan dengan dokumen surat baptis dan sakramen penguatan dikirim ke saya. Inilah tulisan kiriman ibu Agnes Sri Hartini.
Saya memulai dengan permintaan di WA: Ibu Agnes bisa cerita tentang Mas Wendo saat baptisnya, sebab novel “Sukses dengan Satu Istri” (Sudesi) dan “Keluarga Cemara” itu bermata air dari pendampin setia istri yang dalam perkawinan doa yang dipersembahkan di sana serta prasetya pasutri adalah tetap setia dalam suka duka, untung dan malang, gembira dan susah kehidupan ini.
Inilah kata per kata dari Ibu Agnes, yang sudah saya minta ijin bila ini akan dipublikasikan untuk kesaksian iman. “Inggih Romo, sebenarnya berkali-kali dia itu (Arswendo) kepingin dibaptis. Dan berkali-kali pula ikut pelajaran agama. Karena keseringan tidak masuk, maka tidak pernah lulus. Pertama kali belajar di Solo, sama Rm. Sugiri …. dan nggak tuntas karena dia banyak kesibukan. Setelah itu kami pindah ke Jakarta. Sampai lama dan tidak pernah belajar lagi, sampai akhirnya ketemu dengan alm. Rm nDito, yang datang ke rumah untuk kursus privat. Eh… malah romonya yang diajari sama Arswendo.
Dibaptis Romo Vatikan
Jadi kalau sedang belajar jadi meriah, karena ada tanya jawab yang agak-agak serius tapi diselingi dengan modelnya Arswendo yang sok pintar. Sok pintarnya itu karena sebelumnya dia juga sering saya aja ke gereja untuk mendengarkan khotbah-khotbah kalau Misa. Sampai beberapa lama…. dan akhirnya sudah cukup, untuk belajar persiapan guna dibaptis.
Waktu itu di gereja kami ada tamu, yaitu Duta Besar dari Vatikan bernama Mgr. Francesco Canalini. Beliaulah yang membaptis Arswendo pada tanggal 17 desember 1989, dengan nama baptis Paulus, sesuai dengan surat permandian dari gereja St. Mateus Penginjil Bintaro. Peristiwa penting ini terjadi ketika kami sudah menikah 18 tahun lalu di gereja katolik oleh Rm. Sugiri SJ. Lalu tahun 1990, peristiwa “Monitor” terjadi. Lalu dia masuk penjara. Berarti kejadian ini terjadi setelah ia dibaptis 1 tahun …. dan ketemulah Arswendo dengan Romo Mudji Sutrisno SJ. Yang dengan rajinnya mengajari dia mendalami Alkitab Puji Tuhan. Sampai Arswendo mau berpulang menghadap Tuhan, Romo Mudji-lah yang setia menghantarkannya dengan sakramen Minyak Suci. Memang Romo, dari awal pernikahan, tidak henti-hentinya saya selalu “nyenyuwun”, semoga suami saya Arswendo ini pinaringan (dianugerahi) hati yang lembut dan tinarbuka (terbuka) agar bersedia menerima Kasih Tuhan, biarpun saya menunggu sampai 18 tahun. Akhirnya dengan kekuatan Roh Kudus, diterimalah sakramen Baptis ini. Matur Gunging Panuwun Gusti. Sampai hari terakhirnya, telah diterima Sakramen Perminyakan lewat Romo Mudji Sutrisno SJ dan Romo Hendar serta Romo Yacob Sriyatmoko. Matur Gunging Panuwun” (surat WA tanggal 14 Mei 2021).
Pengin Menjadi Pewarta Kabar Gembira
Untuk menutup tulisan ini, saya masih mau mengutipkan tulisan saya di buku “Bersyukur Tanpa Libur” hal. 191. Mengapa? Lantaran ada satu keinginan hidup yang didamba Arswendo sepanjang hidup, terutama setelah menjadi Paulus Arswendo Atmowiloto (yang 18 tahun setelah pernikahan, Ibu Agnes selalu mohon dengan penuh setia Tuhan, agar mau menjadi Katolik, dan inilah kekuatan doa seorang perempuan).
Arswendo ingin menjadi pewarta kabar gembira, ya pewarta sabda. Inilah yang ia tinggalkan dalam baris-baris, untai narasi saat sakit sampai dipanggilnya kembali menghadapNya dalam rupa novel pamungkasnya, yaitu “Barabas Diuji Segala Segi” (Gramedia Pustaka Utama, 2020). Novel “Barabas”lah merupakan rangkuman perjalanan spiritual Arswendo, sejak dipenjara, menangkap sasmita Tuhan, bahwa “berserah itu indah”. Dan Arswendo menjadi pewarta kabar baik ini melaluo Barnabas…