REFLEKSI OLEH BELINDA GUNAWAN
Pagi itu—di masa pra Covid 19—sebenarnya aku enggan ke luar rumah. Namun aku sudah berjanji pada kakakku untuk menghadiri suatu seminar bersamanya. Maka aku pun melawan rasa malasku dan memesan taksi online. Mobil itu bersih dan wangi, dan dari CD mengalun lagu-lagu rohani yang riang, membuat suasana hatiku sedikit terangkat.
Aku tidak menyadari mereknya Avanza atau Ertiga. Yang penting, setelah berada di jalan raya, dia meluncur mulus di antara Mercy dan BMW. Ya, karena hari masih pagi, Sabtu pula, lalu lintas lumayan lancar. “Mobilku” hari ini cukup bagiku, aku membatin sambil menepuk pelan jok kursi yang masih mulus.
Karena kami menuju ke Selatan, sinar matahari menerpaku dari sebelah kiri. Kubiarkan tanpa mencoba menggeser dudukku ke kanan. Bukankah matahari pagi baik bagi kesehatan? Aku menengok ke luar jendela. Tumben langit Jakarta jernih. Di latar biru kulihat awan putih mirip beruang kutub. Sang Surya menyorot lembut di baliknya. Aku mulai senang. Pikirku, pemandangan begini takkan kunikmati kalau aku mendekam di rumah saja.
Kemudian kami melewati deretan tukang tanaman di pinggir jalan. Kulihat tanaman hias beraneka bentuk, bunga di sana-sini, juga air mancur buatan. Pot yang dijual indah lagi unik. Tamanku biasa sekali. Ukurannya hanya dua kali dua, berisi tanaman seadanya. Tak ada air mancur atau air muncrat. Di luar pagar ada dua pot plastik hitam pembagian RT. Sudah lama aku kepingin memanggil tukang kebun untuk memperbaharui tamanku, tapi selalu terdesak oleh kebutuhan pengeluaran lain. Masih untung tanaman-tanamanku bandel. Survivors, itu julukanku bagi mereka.
Tiba saatnya kami memasuki kompleks perumahan mewah. Rumah di situ besar-besar dan apik. Catnya baru. Pikiranku melayang lagi ke rumahku. Dulu terasa kecil karena penghuninya banyak. Sekarang lega karena dua sudah meninggal dan dua lagi sudah berumah sendiri bersama pasangan masing-masing. Catnya ada yang mengelupas. Tapi aku menunda mengecat ulang. Sedapat mungkin aku menghindari perbaikan rumah karena aku alergi debu. Lagi pula tarif borongan mengecat, mahal! Yang penting tidak bocor.
Tiba-tiba ponselku mengalunkan irama Swirl Away. Anak perempuanku. “Mama sudah OTW? Take care.” Dia tahu ke mana ibunya bepergian, karena kami selalu saling memberi kabar.
Anakku dua, perempuan dan laki-laki. Setelah ayah mereka meninggal, keduanya seperti otomatis mengisi “ruang kosong” yang ditinggalkan almarhum. Masing-masing seolah mengambil peran sendiri-sendiri terhadap aku, ibunya.
Tak lama kemudian masuk pesan WA dari anakku yang lelaki. “Ma, besok kita ke Misa pagi jam setengah delapan, ya. Aku ada tugas menyanyi Mazmur.” Kujawab singkat, “OK”, karena harus mengarahkan pengemudi untuk berbelok ke kiri. Aku takut kebablasan lagi seperti tempo hari, gara-gara aku keasyikan membaca buku.
Perhatian kedua anakku membuatku merasa aman dan nyaman. Kubiarkan pikiranku melayang masuk ke lorong waktu. Hadir sosok ibuku, seorang ibu rumah tangga yang selalu berusaha “main sulap” atas penghasilan ayahku demi memenuhi kebutuhan keluarga. Teringat nasehatnya yang bersahaja: “Janganlah kamu selalu melihat ke atas, lihatlah juga ke bawah.”
Hari itu kata CUKUP jadi sangat berarti bagiku. (BG)
“Jika kau puas dengan apa yang kaumiliki, akhirnya kau akan mendapat lebih dari itu. Jika kau memikirkan apa yang belum kaumiliki, kau tidak akan pernah merasa cukup.” — Oprah Winfrey