Oleh FANNY J. POYK
Adakah ikatan darah dalam sebuah koloni kecil yang dinamakan keluarga, menguat jika beberapa orang asing masuk ke dalamnya? Adakah rencana dalam bentuk konspirasi busuk kian mengental ketika orang-orang luar itu kemudian mengembangkan strategi perilaku dalam permainan drama satu, dua atau tiga babak di mana setelah semuanya berhasil, tatanan persaudaraan yang pada awalnya berjalan murni dengan trah yang juga murni tercemar kuat ketika orang-orang di luar ikatan darah itu masuk.
Selanjutnya, ketika kawin-mawin lalu beranak pinak yang kesemua itu membiaskan arti persaudaraan yang sesungguhnya, kisah tentang murni dan tulusnya persaudaraan pun ikut bersama alur baru yang terentang di depan mata. Saudara sekandung mulai masuk di koloni baru bentukannya, saat ia hendak ke dalam dan mendekatkan diri pada hubungan sedarah dari lini yang utama bentukan ayah dan ibunya, di sana permainan rasa dan banyak pertimbangan pun dimulai. Sang suami terikat pada komitmen sebagai kepala keluarga, sang istri terikat pada kesetiaan melayani di keluarga bentukannya.
Yang tersisa menatap di ruang sunyi sepi sendiri adalah sang ayah dan juga ibu. Itu sebabnya, kerap didengar dari bibir keriput mereka, “Jika kami tiada nanti, akur-akurlah kalian sebagai saudara bersaudara.”
Itu ucap yang diperjalanan waktu, sepertinya tak lagi menjadi petuah ampuh untuk dijalankan. Sebab tatkala sang tiang tonggak utama tiada, harta peninggalan menjadi perebutan yang tak jarang menumpahkan darah, air mata dan permusuhan. Rasa cemburu di dada muncul bersama kecurigaan-kecurigaan yang menyusup diam-diam, ganas dan tajam ke benak masing-masing saudara. Bumbu penyedap untuk membelah jurang agar semakin dalam dan kuat, mulai digodok oleh orang-orang luar yang masuk ke keluarga inti dengan polesan kata berbisa tentang si anu atau si itu. Kemudian pemusnahan mulai menyisakan luka yang semakin dalam dan kelam. Arti persaudaraan sedarah telah berubah menjadi politik iri hati berpadu dengan dengki.
Di saat benda-benda materialistis berpadu dengan hedonisme yang menguasai seluruh jasmani juga rohani, kisah kemurnian persaudaraan yang pernah terjalin buyar berantakan. Manusia menjadi pemakan manusia lainnya. Tidak pandang bulu baik saudara sedarah atau bukan. Ujung dari semuanya tatkala absurditas berupa kematian baik oleh pandemi atau penyakit lainnya tiba, tangis sesal tidak berguna lagi. Yang pergi tak akan pernah kembali.
Begitulah yang terjadi. Hidup hanya menanti waktu, cepat atau lambat, raga akan termakan ngengat bersama rayap dengan cerita yang tak selalu sama. Entah kita akan bertemu lagi atau jiwa akan melanglangbuana kemana, tanya itu tak akan pernah terjawabkan dengan pasti. Barangkali ada ucapan yang bisa selalu diingat; andai hubungan sedarah bisa terbebas dari beragam konspirasi negatif, mengapa itu tidak dilakukan?
Tabek