Apalah arti sebuah nama – Foto Heryus Saputro Samhudi
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
SAYA lupa dimana pernah membacanya. Tapi saya ingat pasti, sastrawan romantic Inggris, William Shakespeare pernah mengungkap: “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Kalaulah kamu memberi nama lain untuk sekuntum mawar, dia tetap akan harum mewangi). Dan dengan bangga, kredo itu saya kutip di halaman depan my young diary, hi…hi…hi…!
Tapi pada prakteknya, nama itu tetap merupakan sesuatu amat berarti. Paling tidak, dengan menyebut sebuah nama, kita akan langsung faham apa dan siapa benda atau sesuatu yang dimaksud, atau tersembunyi di balik nama tersebut. Nama adalah jatidiri paling hakiki dari sesuatu. Nama kita misalnya, adalah petunjuk awal untuk orang lain tahu aoa dan siapa kita. Nama diri yang perlu kita jaga, dari hal-hal yang merugikan.
Maka suatu sore di Gelanggang Bulungan Jakarta Selatan, saat hendak memulai tugas penjurian Festival Teater Se-Indonesia – digelar panitia yang diketuai almarhum Radhar Panca Dahana (RPD), saya terkesiap (kaget dan marah) melihat lembar daftar hadir juri, dimana di bagian atas lembar itu sudah tertulis (dengan ballpoint) nama saya. “Siapa ini, berani-beraninya mengaku sebagai saya dan ngisi daftar hadir?” kata saya, sengit.
Berbeda dengan umumnya penyelenggaraan festival teater, dimana untuk penilaian karya para grup peserta, panitia biasanya hanya menyiapkan 3 – 5 orang yang dianggap pantas sebagai juri, festival teater yang digelar RPD dkk ini menggunakan sistem seratus orang juri pilihan panitia, yang di hari pertama itu satu sama lain belum saya kenal. Yang saya tahu, ada seseorang mengaku bernama saya dan menulis di lembar hadir juri.
Tapi saya tak perlu menunggu untuk tahu apa dan siapa orang yang berani-beraninya mengaku sebagai ‘saya’ itu. Sebab dari ruang tunggu para juri, sebelum pertunjukan dimulai, tampak seorang laki-laki muda berjalan ke arah saya sambil mengacungkan tangan. “Saya, nCang…! Saya Herius Saputra, nyang barusan nulis nama di lembar itu,” katanya seraya mengangguk hormat, bahkan mencium tangan saya.
Eh…, siapa anak muda ini? Baru ketemu sudah panggil saya nCang, kosakata Bahasa Betawi untuk menyebut Uwak atau Pakde. Seingat saya, tak ada saya punya keponakan model begini, dan mengaku punya nama sama dengan saya? Tapi belum habis rasa heran saya, dia langsung buka dompet, mengeluarkan KTP dan menyodorkannya ke saya. Di lembar KTP itu terpampang fotonya dan nama Herius Saputra.
Segera saya rair lembar daftar hadir juri di meja panitia. Saya teliti. Di situ memang tertera nama Herius Saputra (bukan Heryus Saputra, nama saya di KTP) plus tanda paraf, yang juga tidak sama dengan paraf atau tandatangan-singkat saya. “Jadi, kamu beneran bernama Herius Saputra? Kok mirip sih dengan dengan nama saya? Cuma beda di huruf ‘I’ dan ‘y’ doang? Nama kamu Herius, dan nama saya Heryus…”
“Iya, nCang…! Begitu baba saya kasih saya nama. Di kartu keluarga, di raport sekolah dan ijazah juga tertulis nama itu…,” katanya, lugu. Yang bikin penasaran, kok ya bisa sih, nyaris sama, begitu? Apa baba atau bapaknya tak punya nama lain? Kok ya pungut nama buat anak, mirip nama saya? Siapa sih, si Baba? Jangan-jangan dia pengagum saya? Ah, manalah mungkin. Memang sebeken apa sih, saya? Hi…hi…hi…!
Saya terkejut ketika dia menyebut bahwa dia adalah anak dari seniman Betawi, Nasir Mupid. Saya kenal Nasir Mupid, dalang grup Topeng Blantek di kawasan Petukangan – Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bahkan Nasir Mupid terbilang yunior saya di aktivitas seni teater. Agar tak bingung lebih lama, langsung saya kontak babanya si Herius via ponsel. Dan jawaban Nasir Mufid sungguh bikin saya ngakak…!
Sambil ngakak saya ingat Lomba Baca Puisi yang saya dan para aktivis Komunitas Seniman Bulungan pernah gelar di Gelanggang Bulungan tahun 1984. Di lomba itu saya tak cuma menjadi juri (bersama Nano Riantiarno – Teater Koma, dan Uki Bayu Sedjati – Teater Bulungan), tapi beberapa puisi karya saya juga ikut dibacakan oleh para peserta, baik di babak penyisihan maupun di babak final.
Saya ingat, Juara Pertama Lomba Baca Puisi itu adalah Jose Rizal manua (kini sastrawan, sutradara, aktor drama/film, dan dedengkot Taman Ismail Marzuki) yang membaca puisi saya bertajuk Sajak Selembar Diploma. Finalisnya, yang di babak penyisihan membaca sajak saya bertajuk Balada Asmun, antara lain Helvy Tiana Rosa (kini doktor bidang sastra, penyair, penulis dan produser film) serta Nasir Mufid.
Menurut apa yang dikisahkan langsung oleh Nasir Mufid kepada saya, saking terkesannya dia dengan puisi yang saya tulis dan dibacanya di ajang lomba tersebut, maka ketika dia menikah, istrinya hamil, dan putra mereka lahir, spontan dia memberi nama putranya itu: Herius Saputra. “Anak kami lainnya juga saya kasih nama Uki, nyontek nama Mas Uki Bayu Sedjati,” kata Nasir mufid, serius. “””
16/08/3021 Pk 11:14 WIB