Seide.id -Waktu saya bilang ke bapak saya, minggu depan saya akan diwisuda, bapak terlihat santai. Tak tergambar rasa bahagia atau senang di wajahnya.
Padahal saya anak satu-satunya, karena keterbatasan finansial alias keluarga prasejahtara atawa misqueen, yang bisa kuliah dan selesai. Itu pun karena diterima lewat Proyek Perintis 1 Universitas Indonesia, yang waktu itu terbilang masih murah banget uang kuliahnya. Kalo enggak, ya siap-siaplah cari kerja dengan ijazah SMA.
Melihat reaksi bapak yang biasa saja, saya juga berusaha santai saja. Dan ketika bapak bertanya, “Wisuda itu harus ya?”
Saya jawab apa adanya bahwa wisuda cuma merupakan pengakuan akademik terhadap para lulusan yang telah menyelesaikan pendidikannya.
“Jadi gak wajib diikuti. Karena wisuda cuma sebuah perayaan kelulusan biasa seorang mahasiswa oleh sebuah perguruan tinggi, sebagai bukti resmi bahwa dia sudah selesai menempuh perkuliahan. Gitu aja.” Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana.
“Jadi kalau gak diikuti, ya gak apa-apa kan?” Tanya bapak saya dalam kalimat bersayap bahwa dia sebetulnya tidak tertarik untuk hadir. Enggak tahu kenapa?
Langsung saja saya jawab. “Ya enggak apa-apa. Wisuda kan memang cuma sebuah acara seremonial, yang kalau gak diikuti karena berhalangan hadir, mahasiswa tetap kok bisa menerima ijazah. Gak masalah.”
Saya bisa memaklumi sikap bapak . Saya sih yakin saja tidak ada niatannya untuk meremehkan keberhasilan anaknya. Justru bapak saya sudah sejak saya masuk SMP sampai SMA mengajar mandiri, tidak pernah ditemenin, dibiarin mengurus apapun sendiri dan mengambil keputusan segalanya sendiri. Jadi ya tidak masalah kalau saya harus pergi wisuda sendiri. Atau tidak ikut sekalian juga biasa saja.
Tapi atas inisiatif almarhum kakak ipar saya, yang sudah mau meluangkan waktunya dan menggunakan mobil minibus sederhananya untuk mengangkut kami, akhirnya bapak bersedia juga hadir di Balairung UI Depok yang untuk pertama kalinya digunakan sebagai acara wisuda.
Bagaimana reaksi bapak selama dan sesudah acara? Tetap saja anteng dengan muka lempeng. Tapi begitulah gaya bapak saya. Kalem dan anti norak. Kalau mau tahu hati dan perasaanya gampang, nanti tinggal tanya istrinya, ibu saya.
Tiga puluh lima tahun kemudian, anak gadis saya ternyata juga diwisuda di tempat yang sama. Tapi karena ada janji dengan seseorang yang tak bisa ditinggalkan, saya tidak bisa hadir.
Bagaimana reaksi anak saya?
Ya biasa saja kayak kakeknya dulu yang saya jelaskan bahwa wisuda itu cuma acara seremonial, tidak wajib diikuti atau dihadiri. Kalau cuma mau foto bareng nanti bisa dilakukan di studio atau diulang di tempat yang sama dan kapan saja.
Seperti biasa, dia selalu ingin tampil beda dengan mahasiswa lainnya. Bertoga, berkebaya, dan bersepatu roda.
Seperti almarhum bapak, saya juga bangga sama anak-anak saya
Foto: Aurora Raisa Ramadhan (Dok: Ram)
Ramadhan Syukur