Seide.id -Ketika anakku diwawancarai waktu melamar kerja di televisi swasta, salah seorang petingginya bertanya dengan nada ‘menodong’: “Kamu melamar kerja di sini, mau jadi jurnalis televisi atau mau jadi artis?. Tak dilarang, jika mau jadi artis. Tapi bukan di sini!”…
Artis, dari ‘bunyinya’ pasti bukan bahasa Indonesia, apalagi bahasa ibu kita (ibu kita, ya bukan ibukota).
Artis berasal atau kita comot atau kita pungut menjadi bahasa kita dari bahasa Inggris: art. Secara harafiah art, berarti: (ke)seni(an). Tapi dalam pengertian yqng ‘tak harafiah’, artis punya pengertian yang sangat luas. Hampir setiap personal yang melakukan kegiatan yang ‘berbau’ art atau seni, bisa disebut artis.
Pelukis, penata-letak (lay-out, kita terjemahkan terus terang terdengar agak lucu: perwajahan), artistik majalah, penata panggung, teater, tari, penata make-up, sulap dll. Akan halnya make-up artis, malah ada kekeliruan pengertian yang lucu. Banyak orang mengartikan bahwa make-up artis adalah seseorang yang memoles (memake-up) wajah seorang artis. Padahal artinya adalah seseorang yang pekerjaannya memoles atau memake-up wajah seseorang. Seseorang itu bisa siapa saja.
Sebetulnya, kita sudah punya istilah yang tak kalah indah untuk istilah artis. Bahkan ada jenis kelaminnya, yaitu: seniman dan seniwati. Tapi, artis mungkin terdengar lebih (ng)internasional, lebih catchy, lebih singkat dan -tentusaja- lebih sexy.
Bahasa memang sangat dinamis, lentur dan bisa juga berlebihan (lebay kata anak milenial). Kita dari dulu kerap mendengar slogan: Bahasa menunjukkan Bangsa.
Aku tak tahu, apakah bahasa-bahasa yang ada di dunia, menunjukkan sikap feodal. Tapi bahasa Indonesia, menunjukkan sikap itu. Istilah bahasa kromo, bahasa halus, bahasa kasar, bahasa jalanan, menunjukkan sikap itu.
Apakah bahasa pada awalnya dulu, ‘dilahirkan‘ melalui istana-istana para raja? Sehingga jika kita berbicara dengan para bangsawan (di bangsa mana pun) harus dibedakan dengan ketika kita berbicara dengan orang kebanyakan?
Malah menurut sastrawan mendiang Pramudya Ananta Toer, kata ‘saya’ menunjukkan sikap feodal. Sikap merendah. Kata saya, konon berasal dari kata sahaya, yang berarti: hamba (sahaya). Malah kata ‘aku‘, yang egaliter itu cenderung dikesankan (entah bagaimana mulanya): sombong. Ada istilah: ‘ke-aku-an’ (bukan kesaya-an) yang berkonotasi negatif, yaitu: egois.
Seorang teman bercerita bahwa dia pernah bertanya alamat rumah temannya dengan bahasa halus kepada seseorang di jalan. Orang yang ditanya menjawab dengan bahasa kasar, bahasa ‘jalanan’. Sang teman merasa kurang berkenan. Karena menurutnya orang itu tak sopan.
Aku nyeletuk: “Eh, adakah orang itu, menjawab dengan benar alamat rumah yang kau tanya ?”
“Benar sih”
“Hlaaa,…sudah dijawab dengan benar saja, kau masih merasa bahwa dia kurang sopan. ‘Gimana pula jika orang itu menyesatkan”.
Biarlah itu menjadi pe-er para ahli bahasa, eh ahli tatakrama, eh sejarah, eh…
Mari kita kembali ke istilah artis.
Seakan-akan tak puas dengan istilah artis. Maka media pun memunculkan istilah celebrity. Celebrity dipungut lagi-lagi apabolehbuat, dari bahasa Inggris yang berarti: merayakan. Lalu kita macak-macak (bahasa Sumatra Selatan, artinya melakukan sesuatu secara ‘sok tahu‘) mengubahnya menjadi: selebritas, celeb, seleb (bukan obat yang dioleskan ke kaki kita yang korengan). Arti yang aku tangkap adalah: Seseorang yang bukan sekadar artis penyanyi, tapi juga pemain film, pemain sinetron, bintang iklan, bahkan ada pejabat publik yang dengan sinis disebut selebrity.
Selebrity, bisa juga tak melahirkan karya-karya seni, tapi kerap terlihat di antara para seniman. Kemunculannya begitu intens, dalam kegiatan yang ‘berbau’ kesenian. Sehingga menempel di benak penggemarnya.
Ini, cuma contoh saja. Aku pernah bertanya kapada anakku tentang: Kim Kardashian dan Paris Hilton. Kim itu siapa? Semula aku menduga ke-duanya bolehjadi artis, cuma sosok dan karyanya aku tak tahu karena aku ‘kurang gaul’.
Jawaban yang aku peroleh, lucu: “Kim itu teman dekatnya Paris Hilton. “Hlaa,…Paris Hilton itu siapa?”
“Ayah tau,…’raja hotel’ dunia yg bernama Hilton?”
“Yaa,…tahulaaah”
“Naah,…Paris itu anak atau cucu atau apanyalah. Pokoknya keturunan Hilton”
“Oooo…”
Ada pula pula sosialita. Ini mirip-mirip celebrity ‘kali yaa. Sosialita berasal dari sosial. Orang-orang dari strata tertentu yang kerap hadir atau bahkan menyelenggarakan pesta-pesta.
Pesta itu bisa saja sekadar kumpul-kumpul merayakan (nah, artinya celebrity ‘kan?) kesuksesan teman lama. Sekadar mengendors cafe seorang teman. Sekadar hadir di acara pameran kesenian seorang teman. Atau sekadar mengadakan aksi sosial kepada masyarakat tertentu. Semua kegiatan dengan judul ‘sekadar’ itu, tak lagi sekadar, karena ‘harus ada’ foto-fotonya di instagram.
Ada pula istilah ‘diva’. Istilah ini sepertinya ditujukan untuk penyanyi. Dari bunyinya, kita akan dengan mudah menduga bahwa istilah itu berasal dari kata: dewa atau dewi(?). Sebab penyanyi yang kerap dijuliki diva, biasanya wanita.
Diva, rasa-rasanya julukan lebai dari media yang ditujukan kepada seorang penyanyi, yang konotasinya jauh lebih berbobot draripada sekadar penyanyi. Entah apa devinisi atau tolok-ukurnya (masihh kerap terbaca orang menulis tolak-ukur), sehingga seorang penyanyi digelari diva.
Adakah karena syair-syair lagunya yang tajam, sehingga menginspirasi bahkan memotivasi pendengar sehingga mekakukan sesuatu (kebaikan tentu). Adakah karena warna suaranya yang khas? Adakah karena karakter dan pesonanya yang sangat kuat? Adakah karena karya-karyanya selalu ‘meledak’ dan selalu menjadi hit? Atau karena kepribadiannya yang menawan? Atau karena parasnya yang jelita? Atau…
Di negara mana pun artis memang selalu efektif untuk mengumpulkan massa. Terutama di negara-negara di mana para politisinya masih menggunakan metode kuno, yaitu berpidato berapi-api mengumbar janji, bukan berdialog dengan calon pemilihnya. Di negara-negara berkembang (aku kebih suka menggunakan istilah itu ketimbang: dunia ke-3 yang konotasinya terdengar meleceh), artis kerap digunakan oleh politisi untuk mengumpulkan massa. Di negara-negara maju, artis bukan lagi digunakan sebagai gimick untuk mengumpulkan masa, melainkan sebagai semacam ‘pelengkap’ kegembiraan pesta kemenangan.
Sekarang ini banyak sekali diberitakan di televisi, seseorang yang oleh presenter tv disebut artis, celebrity, atau sosialita yang terlibat masalah, baik positif atau negatif dengan suatu fihak. Tapi aku tak tahu dia itu siapa, artis apa,…penyanyi atau pemain sineron. Boro-boro mengetahui karyanya.
Tempohari, ada seseorang berperkara dengan seorang penyanyi. Ngomel ngalor-ngidul-ngetan-ngulon tentang penyanyi yang berperkara dengannya. ‘Wartawan infotainment’ bertanya: “Mbak ini sesungguhnya ngomel kepada siapa sih?”
“Aah,…wartawan pasti taulaaah, dia seorang dipa!”…
Ingat ya,…dipa!
(Aries Tanjung)