Asal Muasal Surat

Seide.id – Hm…surat-menyurat memang sudah tak lazim di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang ini. Meski dulu selagi kecil kita sangat akrab dengan suara bel sepeda Pak Pos di depan rumah, “Kriiiiiing Pos.” Ternyata Pak Pos membawakan kartu Lebaran, kartu Natal, atau sepucuk surat dari sahabat pena di luar negri.

Tanah Liat

Kebiasaan berkirim surat sebetulnya sudah berlangsung sejak zaman dulu. Hanya saja kondisinya jelas sangat berbeda dengan sekarang.

Dulu, berita yang hendak dikirim tidak ditulis di atas selembar kertas, melainkan “diukir” pada sebongkah tanah liat atau lempengan perunggu. Tak mengherankan kalau berita yang tertera di situ selalu amat singkat. Paling-paling berbunyi, “Bersiaplah, ada ancaman dari musuh.”

Jadi jangan harap si penerima surat membaca cerita panjang lebar tentang liburan si pengirim surat. Sementara salam pembuka dan salam penutup pun tidak mungkin ditulis.

Pemakaiannya pun terbatas pada kalangan pemerintahan dan instansi militer. Mereka inilah yang amat membutuhkan sarana pos bagi kelancaran tugas. Pasukan yang tengah bertempur di garis depan, contohnya.

Jika ingin minta bala bantuan dan tambahan cadangan makanan, tentu harus sesegera mengirim “berita”. Caranya? Lantaran belum tersedia sarana, maka orang umumnya mengupah pembawa berita untuk menyampaikan “surat” ke alamat yang dituju.

Bangsa Yunani diperkirakan sebagai bangsa pertama yang mengenal sistem pengiriman surat. Yaitu sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi. Para kurir yang diupah tadi biasanya membawa surat tersebut dengan berjalan kaki. Atau menggunakan perahu jika harus menyeberangi sungai. Tentu saja mereka butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai tujuan.

Lonceng Kecil

Bangsa lain yang juga sejak lama sudah mengenal sistem pengiriman surat lewat “pos” adalah bangsa Tiongkok. Bedanya, mereka tidak lagi memakai kurir hanya untuk mengantar 1 surat.

Melainkan mendirikan tak kurang dari 10 ribu pos jaga atau tempat pemberhentian bagi para pengantar surat. Masing-masing pos jaga ini terpisah sejauh 5 km jaraknya.

Nah, para kurir akan berlari secara estafet dari satu pos jaga ke pos jaga berikut. Uniknya, mereka menggunakan lonceng-lonceng kecil di ikat pinggang.

Hingga ketika mendekati pos jaga terdekat, kurir yang berjaga di pos pemberhentian selanjutya bisa mendengar gemerincing bunyi lonceng tadi sambal bersiap-siap.

Sedangkan bangsa Romawi kuno dinyatakan sebagai bangsa pertama yang berinisiatif “melekatkan” perangko pada surat seperti kebiasaan berkirim surat. Padahal maksud mereka semula bukan sebagai “ongkos” pengiriman surat.

Melainkan semata-mata untuk memudahkan pekerjaan. Sebagai tanda bahwa surat tersebut sudah diterima sekaligus menjadi tanggung jawab para kurir sebelum disampaikan kepada penerima surat sesuai alamat yang dituju.

Lain halnya dengan urutan kerja yang berlaku di beberapa abad kemudian. Orang tidak perlu mengupah kurir untuk menyampaikan surat yang dikirimnya. Cukup menempelkan perangko yang nilai nominalnya ditentukan berdasarkan jarak kota, berat surat, dan jenis pelayanan yang dikehendakinya.

Sayangnya, kebiasaan berkirim surat saat ini nyaris tergerus zaman dengan berbagai kemudahan pengiriman berita melalui fitur whats up dan sejenisnya. (Puspayanti )

Avatar photo

About Gunawan Wibisono

Dahulu di majalah Remaja Hai. Salah satu pendiri tab. Monitor, maj. Senang, maj. Angkasa, tab. Bintang Indonesia, tab. Fantasi. Penulis rutin PD2 di Facebook. Tinggal di Bogor.