Lebih dari 1.000 warga sipil dilaporkan tewas dalam tindakan keras terhadap oposisi dan aksi protes sejak kudeta 1 Februari lalu. Protes meluas ke luar kota Yangon. Junta Militer Myanmar dianggap tidak tidak menunjukkan kemajuan dalam rencana perdamaian yang disepakati dengan ASEAN pada bulan April di Jakarta.
Seide.id – Setelah Brunei Darussalam berinsiatif agar ASEAN tidak mengundang pemimpin negara anggota, dalam hal ini junta militer Myanmar ke pertemuan puncak 26-28 Oktober 2021 ini, Malaysia menambahkan agar ASEAN juga meninggalkan kebijakan “tidak campur tangan” urusan dalam negeri anggotanya.
Sesuai usulan Brunei, ASEAN hari Jumat lalu (15/10) mengumumkan keputusan untuk tidak mengundang Jenderal Min Aung Hlaing, setelah junta militer menolak mengizinkan utusan khusus ASEAN, Menlu Brunei bertemu dengan Aung San Suu Kyi yang ditahan atas tuduhan manipulasi pemilu.
Sebagai gantinya, ASEAN akan mengundang seorang “tokoh non-politik” untuk mewakili Myanmar. Junta Militer Myanmar dianggap tidak tidak menunjukkan kemajuan dalam rencana perdamaian yang disepakati dengan ASEAN pada bulan April di Jakarta.
Myanmar saat ini masih berada dalam kekacauan sejak kudeta, yang mengakhiri satu dekade demokrasi dan reformasi ekonomi. Ribuan penentang kudeta telah ditangkap, termasuk San Suu Kyi. Keputusan itu merupakan langkah berani yang langka bagi ASEAN, yang secara tradisional lebih menyukai konsensus dan tidak melontarkan kritik terhadap politik dalam negeri negara-negara anggotanya. Tulis media Jerman, Deutsche Welle.
Dalam perkembangan mutakhir, Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah hari Kamis (21/10) mengatakan, ASEAN harus melakukan “telaah nurani” pada kebijakan non-interferensi yang diterapkannya selama puluhan tahun, mengingat kondisi yang memburuk di Myanmar saat ini. “Dan saya juga menyatakan fakta bahwa kita tidak dapat menggunakan prinsip non-interferensi sebagai tameng untuk menghindari masalah yang ditangani,” lanjutnya.
Ini adalah sebuah kritik yang jarang dilakukan oleh seorang menteri luar negeri ASEAN terhadap salah satu prinsip persemakmuran itu. Saifuddin Abdullah mengatakan, prinsip non-interferensi telah berkontribusi pada ketidakmampuan ASEAN untuk membuat keputusan yang efektif dengan cepat. Ia lantas mengusulkan langkah menuju kebijakan baru menuju keterlibatan konstruktif, yang disebutnya prinsip “non-indiferen”.
Selanjutnya, Militer tuding sebagai intervensi asing …