Penulis Mas Redjo Foto WK
Jangan marah, reaktif, tersinggung, apalagi sakit hati lalu menyimpan benci atau dendam.
Coba direnungkan kebenarannya, apa yang diungkapkan oleh Tosi dalam Omnis Homo Mendax. Menurut ia, semua manusia itu pembohong. Kebenaran sejati hanya ada pada Tuhan.
Siapa yang berani menjamin, kita adalah pribadi yang jujur?
Sebatas mana kejujuran kita terungkap dalam sikap, untuk seia sekata dalam perbuatan? Kita tidak mengenakan topeng, tapi berani tampil alami, wajar, dan tanpa kepura-puraan.
Kenyataannya, dan tidak bisa dipungkiri, sebagai orang waras, kita pasti pernah berbohong, baik hal-hal kecil atau besar.
Berbohong untuk apa? Apa yang mendasari kita berbohong?
Setiap orang memiliki alasan yang tidak sama satu dengan yang lain. Bisa jadi, gara-gara situasi dan kondisi, seseorang berbohong alias tidak jujur.
Banyak dari kita mengenakan topeng diri demi gengsi agar tampak bonafid, terpandang, dan terhormat.
Padahal, tujuan kita yang sebenarnya adalah ingin ben diarani, merebut simpati, memenangkan tender proyek, menipu rakyat, dan seterusnya. Kita tampil sekadar lamis alias pura-pura.
Hal yang patut disikapi dengan bijak adalah supaya kebohongan itu tidak menjadi kebiasaan atau, lebih parah lagi, menjadi gaya hidup untuk menipu orang.
Sebagai pribadi, tentu kita tidak mau dicap sebagai penipu, pembual, atau pembohong. Itu sebutan yang meruntuhkan harga diri, martabat, dan menyakiti hati.
Saatnya kita berani menentukan sikap untuk mengarahkan dan menafasi hidup kita untuk berbuat jujur dan benar lewat keseharian.
Kita berani hidup jujur pada diri sendiri dan kepada orang lain. Kejujuran yang dimulai dengan melakukan hal yang kecil dan sederhana. Dari lingkup keluarga, RT, tempat kerja, dan seterusnya.
Kita juga berani membuka banyak “warung kejujuran” dan sejejenisnya untuk mengedukasi masyarakat.
Dengan mendisiplinkan kebiasaan bersikap jujur dan benar dalam keseharian, semoga keluarga kita bertumbuh menjadi pribadi yang terhormat dan bermartabat.