Autis di Mata Awam, Pengalaman Seru Dua Dekade Sebagai Orang Tua

Autis di Mata Awam, Pengalaman Seru Dua Dekade Sebagai Orang Tua

Ada anak autis yang lancar berkomunikasi, bisa bersekolah, bisa memgembangkan bakatnya; di lain pihak ada yang tidak bisa sama sekali.

Di hari Peduli Autis yang diselebrasi setiap 2 April ini, sebagai orang tua individu autistik yang kini berusia hampir 20 tahun, saya hendak berbagi cerita tentang pertanyaan atau pernyataan, yang (mungkin) akan dihadapi ketika orang mengetahui anak kita adalah penyandang autis.

Semuanya dari pengalaman saya dan beberapa teman, yang tidak selalu mengenakkan. Namun, mudah-mudahan bisa memaparkan fakta yang kami hadapi, sebagai orang tua anak autis.

1. “Tapi, anak ibu punya kelebihan kan, apa gitu. Musik, lukis, sketsa, dll. Di film, di media sosial banyak autis yang seperti itu?”

 Ya, demikianlah yang ditampilkan di Rain Man, di Temple Grandin. Kenyataannya belum tentu seperti itu.

Anak saya memang bisa jahit menjahit, tetapi tidak berarti semua ciri autistiknya lenyap sekejap mata. Jarum sering dipatahkan, lalu dengan sensasi dan keisengannya, jarum lain ditusuk-tusukkan ke kulit. Tubuhnya seringkali penuh dengan goresan.

Jadi, tolong sebaiknya tidak menyamakan semua anak autis dengan kehebatan profil yang ditampilkan film-film itu.

2. “Mbak, serius deh kalo ngomong. Kulihat anakmu fine-fine aja, cakep pula. Dia beneran autis?”

 Tidak seperti kelainan kromosom pada teman Down Syndrome yang memiliki kecenderungan berwajah setipe, anak autis banyak yang tampak normal, malah berparas rupawan.

Namun,penampilan anak autis yang terlihat normal sangat bisa mengelabui. Bila tidak sedang perlu berkomunikasi atau berinteraksi, mereka memang tampak biasa saja, tetapi faktanya setiap individu autis memiliki kebutuhan khusus yang berbeda-beda.

3. “Bu, maaf kalau kami boleh tanya? Apa anak Ibu sudah pernah diperiksakan pada dokter syaraf? Sepertinya dia terbelakang.”

Kondisi individu autistik, terutama kecerdasannya sangat berbeda-beda. Beberapa menunjukkan kecerdasan tinggi, tapi yang rendah juga ada.

Namun, bila dikatakan anak autis adalah anak terbelakang, atau istilah lainnya mental retarded; langsung di hadapan orang tuanya, bukanlah hal itu akan jelas melukai?

Tulisan dari sebuah artikel di halodoc, membahas hal ini. Retardasi mental tak selalu dimiliki anak dengan spektrum autis.

Walau demikian anak-anak dengan retardasi mental sering menunjukkan “perilaku autis”, yang mungkin tidak memanifestasikan semua gejala.

Kesulitan orang mengidentifikasi lebih karena melihat indikasi anak-anak dengan autisme yang berjuang dengan komunikasi dan perilaku belajar, memiliki keterampilan verbal terbatas, atau mereka mungkin menunjukkan ketidaktertarikan umum di dunia di sekitar mereka; yang sebelas duabelas dengan anak-anak retardasi mental.

4. “Mudah-mudahan Dodo bisa sembuh, ya, Mam! Kami selalu mengharapkan itu. Nanti bisa sekolah, kuliah dan mencapai cita-cita.”

Andai saya bisa mewujudkan hal tersebut. Namun, autis bukan penyakit yang diberi obat, dioperasi, di-treatment, ujung-ujungnya sembuh.

Autis sejatinya merupakan gangguan tumbuh kembang. Proses terapi dan segala upaya pendampingannya adalah proses seumur hidup.

Ada anak autis yang lancar berkomunikasi, bisa bersekolah, bisa memgembangkan bakatnya; di lain pihak ada yang tidak bisa sama sekali.

Kemajuan bagi anak autis, meski sedikit; adalah proses, kerja keras, dan pencapaian yang panjang. Bagi saya dan keluarga dengan individu autis yang lain, perubahan positif meski satu hal saja, patut kami syukuri.

5. “Sekolahin aja di sekolah umum. Biar dia bisa bersosialisasi. ‘Kan sudah mandiri dan patuh.”

Sekolah umum yang menerima anak autis, seluruh ekosistemnya, kurikulum, metode belajar, sumber daya manusia-nya wajib terbukti inklusif.

Masih banyak tercatat sekolah berlabel inklusi, tetapi kewalahan dalam memfasilitasi dan mendukungvv siswa autis mereka.

Hal lain lagi, memasukkan anak autis ke sekolah umum wajib mewaspadai kemungkinan terjadi perundungan, yang belum tentu dilaporkan si anak, sebab terbatasnya kemampuan berkomunikasi mereka.

6. “Tuhan tidak memberikan cobaan melebihi kemampuanmu.” Atau “Semua terjadi karena Tuhan tahu kamu mampu.” Atau “Anakmu demikian karena kamu kurang beribadah. Ayo bergiat, agar terhapus juga dosa-dosanya.”

Jujur, saya tidak mau membahas ini dari sisi agama dan kepercayaan apapun.

Bagi orang-orang yang memiliki anak autis, mereka paham seberapa besar atau banyak tekanan dan tantangan yang dihadapi setiap hari. Dan, itu berbeda-beda bagi setiap keluarga dan tidak bisa diperbandingkan.

Menyodorkan frasa keagamaan yang sangat personal tidak lebih baik dibandingkan menawarkan bantuan atau dukungan, seperti bersedia mendengarkan di saat kelelahan.

7. “Aku tahu kok rasanya. Sepupu jauhku anaknya juga kayak anakmu. Suka ngamuk, jalannya jinjit, nggak bisa ngomong. Tapi dia berobat di dokter anu dan bagus tuh progressnya, katanya sih kayak gitu bisa disembuhkan.”

Intervensi dan penanganan setiap individu autis sangat berbeda. Sebaiknya tidak memberi saran hanya karena jaminan keberhasilan yang belum bisa dibuktikan kebenarannya.

8. “Tapi biar kakaknya autis, adiknya normal ‘kan. Eh maksud saya, engh … maksudnya adik-adiknya baik-baik saja ya. Nggak bermasalah.”

Walau tergolong jarang, sibling autis tetap saja ada. Namun, tidak setiap saudara kandung anak autis, otomatis autis juga.

Meski menunjukkan keprihatinan, sepertinya kurang bijak menanyakan bagaimana kondisi saudara kandung individu autis.

Sibling individu autis memiliki tantangan sendiri yang berbeda, termasuk juga memberi tantangan pengasuhan bagi orang tua dan keluarganya.

9. “Gimana suami Mbak menghadapi anaknya yang autis? Saya dengar-dengar banyak yang cerai karena nggak bisa terima anaknya demikian ya?”

Ketika keluarga mendapat diagnosa, tidaklah mudah dan tidak sesegera mungkin orang tua menerima kondisi anaknya. Beberapa saling menyalahkan, atau ada juga yang terlibat konflik.

Karena, semua upaya yang dilakukan untuk anak autis memerlukan kerjasama, dukungan finansial, dukungan psikologis, plus konsistensi; yang perlu pertanggungjawaban sangat lama. Tidak semua pasangan mampu menghadapi hal tersebut dengan sikap dewasa.

10. “Apa sih yang nyebabin anakmu autis? Divaksin ga dia, atau waktu hamil makan seafood kali ya. Atau, ada keturunan di keluarga? Atau waktu bayi, sudah sering terpapar gadget?”

Sampai saya menuliskan ini, tidak ada penemuan yang dapat diandalkan tentang penyebab seorang anak didiagnosa autis.

Ada anak yang memang mengalami kemunduran perkembangannya, setelah dia divaksin MMR. Ada anak autis, yang ibunya bercerita semasa kehamilan makan salmon untuk mempersiapkan anaknya cerdas. Ada juga yang katanya semasa bayi terpapar antibiotik untuk batuk pilek dalam konsentrasi banyak, lalu mengalami kemunduran tumbuh kembang.

Ketika tak ada satu pun sebab yang bisa dikatakan faktor utama penyebab anak autis, hal yang lebih baik dilakukan keluarga adalah konsentrasi untuk intervensi sedini mungkin, konsolidasi dalam keluarga untuk upaya memfasilitasi anak, mulai dari terapi, konsultasi, diet dan rotasi makanan, konsistensi pengasuhan, dan lain sebagainya.

Fokuslah pada apa yang masih bisa dilakukan untuk memberdayakan dan mendukung anak autis tersebut.

Mengakhiri tulisan ini, saya hanya ingin menyimpulkan untuk semua orang tua dan keluarga dengan anak autis.

Tanggung jawab kita adalah sepanjang usia, konsentrasilah pada apa yang bisa kita upayakan, fokuslah menelusuri talenta yang dimiliki, dan terus konsisten berproses bersama keluarga.

Orang hanya bisa bicara ini dan itu, tetapi kitalah orang tuanya yang menghadapinya 24 jam, dengan bersimbah peluh, gelak terharu, tertidur dalam tangis, atau meneteskan airmata bahagia.

Tetap semangat, teman-teman!

Wajarlah kita manusia yang bisa lelah. Bila demikian, mintalah dukungan orang terdekat, untuk kita bisa rehat.

Pejamkan mata beberapa saat, atau rilekskan pikiran dengan aktivitas yang disukai, lalu bangkit lagi dengan berenergi.

Meluruskkan Ihwal Food Additive

Parenting 101: Rasa Cinta, Kagum, Suka, dan Sayang, Tak (Seharusnya) Menyakitkan

SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain

Kisah Perempuan, Drama Korea dan Realita

Indonesia Tak Bisa Dipercaya Menjadi Tuan Rumah Kegiatan Olahraga Internasional

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta