“Ah, Namanya Juga Anak-Anak”-Awal Permakluman, Akar Perundungan

Awal Permakluman, Akar Perundungan

Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan cinta kasih dan penuh toleransi, akan belajar menghormati satu sama lain.

Suatu hari, aku ngintip di balik jendela. Rambut bungsuku yang cowok, sedang panjang-panjangnya dan wajahnya memang termasuk anak manis. Eh malah anak-anak yang lebih besar itu mau pegang alat kelaminnya, untuk ngecek dia laki atau perempuan. Anakku nolak dan nggak mau, eh malah dijorokin sepedanya sampai jatuh tersungkur dan nangis. Aku sendiri terlalu syok, nggak berani samperin. Waktu para pelaku udah jauh dan anakku reda nangisnya, baru aku mendekat. Aku cuma bisa peluk dia, tapi aku tahu pelukanku cuma meredakan ketakutannya, traumanya tidak.

Nah, aku lapor ke bapaknya, yang lalu ngomongin ini dalam WA Grup lingkungan kami, yang jelas ada bapak-bapak pelaku itu juga. Tahu respons kebanyakan orang tua? “Ah, namanya juga anak-anak. Bercanda itu!” Aku sakit hati dengan respons mereka, coba kalau anak mereka diperlakukan seperti itu. Si bungsu sendiri sekarang milih ngumpet di rumah, daripada harus bergaul dan bertemu.

Cerita panjang di salah satu aplikasi ruang percakapan membuat saya terdiam. Perilaku anak-anak yang tak ‘sederhana’, mengandung kekerasan (seksual), tak sepatutnya direspons dengan pernyataan sederhana, “Ah, namanya juga anak-anak?” untuk permakluman.

Kurang lebih setahun lalu, bungsu saya sendiri juga pernah nyaris mengalami. Untung saja saya berada di lokasi.

Sebagai anak baru sebuah klub renang, dia kadang menjadi bahan candaan teman-temannya. Saya pribadi berupaya membiarkan dia belajar berteman, termasuk bersikap asertif untuk marah atau berkata tidak, sekira ada sikap, perilaku satu sama lain yang kurang baik.

Dalam beberapa waktu saya jadi bisa memperhatikan. Ada seorang anak yang paling sering berteriak-teriak dan mengejek temannya, lalu ketika temannya marah, mengadu ke pelatih memutarbalikkan fakta.

Sore itu dia menggoda bungsu saya uji coba untuk terjun bersama kursi ke dalam air. Mereka masih saling tantang menantang siapa yang mencoba lebih dulu. Untung saja saya mengamati betul, kalau sampai hal itu terjadi tentu akan membahayakan, siapapun itu.

Segera saya menghampiri dan menegur, yang berarti seketika membatalkan hal itu terjadi. Senjata saya untuk berargumentasi, baik dengan anak itu, maupun si bungsu. Tindakan itu berbahaya, bisa melukai siapa pun yang melakukannya.

Dari peristiwa si bungsu, saya jadi belajar. Sesungguhnya orang tua, orang dewasa yang melihat kemungkinan terjadi perkelahian, pelecehan, kekerasan, perundungan, atau apapun itu pada anak-anak maupun remaja, sebaiknya mampu mewaspadai, melerai, atau bila makin membahayakan, segera mencari bantuan pihak berwajib.

Karena, bila kita melihat saja, mendiamkan, memaklumi dengan bilang mereka bercanda, situasi bisa berubah menjadi pelik. Apalagi bila tindak kekerasan itu ternyata betulan bukan candaan.

Atau kita tahu-tahunya (terbiasa) menjadi bystander effect, di mana hanya mengamati ada kejadian yang membutuhkan pertolongan, tetapi tidak serta merta kita bantu, karena merasa ada orang lain yang nanti menolongnya.

Dan, makin ironi bila kita merasa toh, ini bukan anak saya, bukan urusan saya, atau enggak mau ikut campur, padahal kejadian itu nyata terjadi di depan mata.

Kasus Perundungan Indonesia di Tahap Serius

Melansir catatan KPAI, 13 Februari 2023, angka kasus perundungan di Indonesia  mengalami kenaikan sebanyak 1.138 dari kasus kekerasan fisik hingga psikis.

Jadi, masih bisakah kita dan tentu masyarakat santai berkilah, “Ah namanya juga anak-anak” lalu menyederhanakan efek dari perlakuan tersebut?

Coba kita lihat pengertian definitif perundungan/Bullying. Yaitu perilaku tidak menyenangkan baik verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan. Perundungan bisa dilakukan oleh perorangan maupun kelompok.

Dari definisi itu, seharusnya sebagai orang tua atau orang dewasa, kita bisa lebih berhati-hati mewaspadai. Bila seorang anak tahu-tahunya bercerita bahwa dia merasa tidak nyaman, tidak aman, merasa tertekan, baik di sekolah, lingkungan rumah atau circle pertemanan; atau sebaliknya jadi banyak melamun, memilih menyendiri, kita sebaiknya lebih awas. Perlu menyelidiki lebih lanjut apa dan bagaimana yang terjadi.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan fakta terkini bahwa kasus ini malah banyak didominasi siswa yang duduk di sekolah dasar. Di Indonesia, kasus perundungan malah menjadi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang pelajarnya paling sering mengalami.

Pemerintah memang telah menyiapkan Undang-Undang No. 35 tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 76 C menyebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.

Namun, bila ada peristiwa perundungan terjadi, lalu orang dewasa memakluminya hanya sebagai candaan, hal biasa dalam dunia anak-anak, undang-undang dan peraturan apapun menjadi tak ada gunanya.

Maaf yang Berharga Murah

Sebagai orang dewasa atau orang tua, kita sepatutnya merasa malu. Karena beberapa kejadian tidak menyenangkan, bahkan berindikasi kekerasan dan kejahatan yang dialami orang dewasa, ternyata tidak berlanjut dibawa ke meja hukum dengan alasan satu dan lain hal.

Hal itu hanya berujung permintaan maaf, dan surat bertanda tangan di atas meterai. Entah si korban atau keluarganya betul memberi maaf, saya juga tidak yakin sepenuhnya. Tak ada yang tahu, apakah hal tersebut berada di bawah paksaan, intimidasi, atau tekanan mental dari pihak pelaku dan keluarganya.

Padahal, luka psikis para korban tindak kekerasan, termasuk perundungan, bisa berefek lama dan mengganggu mental korban dalam jangka waktu lama.

Kecemasan berlebihan, memiliki imej diri yang buruk, gangguan pola makan, gangguan tidur, gangguan belajar/bekerja, keinginan mengakhiri hidup, termasuk memberi dendam hingga ingin menjadi pelaku juga di masa akan datang.

Kesemuanya itu tidak seketika hilang dengan permohonan maaf baik secara lisan, tulisan, baik di depan saksi, maupun publik.

Oleh karena itu, sudah saatnya berhenti menormalisasi permakluman terhadap segala bentuk tindakan bertendensi perundungan atau kekerasan yang dilakukan anak-anak.

Sadarilah bahwa sikap memaklumi itu, akan mungkin dianggap sebagai pembiaran oleh anak-anak. Dianggap mereka bahwa hal itu tidak apa-apa dilakukan, dan lebih parah lagi bila dianggap sebagai pembenaran.

Jadilah orang dewasa yang tidak menanam benih kemungkinan perundungan. Yang ketika sudah ada kejadian, baru kelabakan dan merasa lalai.

Sebagai penutup, saya ingin kita sama-sama merefleksikan pernyataan berikut yang saya terjemahkan bebas dari laman 10 Ways To Empower Kids To Stand Up To Bullying., sebuah blog pengasuhan di UK.

Dengan anak-anak yang bertumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta, saling menghormati satu sama lain, anak akan belajar banyak tentang menghargai sesama.

Bila dalam keluarga, anak melihat orang tua menggunakan power , kuasa, kekerasan untuk mengontrol anak-anaknya, mereka pun belajar menggunakan power,  kuasa, kekerasan juga untuk berinteraksi dengan teman-temannya.

Bisa lihat benang merahnya? 

Yuk, mari sama-sama kita renungkan!

Berkorban Atau Menjadi Korban

Pemilihan Presiden Soal Kripto

Kesehatan Tersembunyi di Balik Jamur Tiram

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta