Sekiranya banyak teman menjuluki saya sebagai pekerja maniak, hal itu saya akui. Hal yang baik dan positif itu wajib disyukuri, apalagi mampu menginspirasi orang lain untuk makin rajin bekerja.
Jujur, semangat kerja itu saya pelajari dari potret keseharian Ayah. Kebiasaan Ayah yang ringan tangan itu terpatri padaku sejak kecil. Sehingga, ketika menikah saya jadi getol bekerja mencari uang.
Setiap kali ada peluang usaha yang pasti, saya selalu memanfaatkan dengan baik. Yang penting ada barang ada pembeli, dan ada sisa uang lebih. Sederhana, dan tidak mimpi muluk-muluk.
Mencari keuntungan itu yang halal dan beresiko rendah (minim). Kenapa? Saya tidak memiliki modal besar. Relasi saya juga bukan orang gedongan, pengusaha, teknokrat, atau kaum terhormat. Melainkan rakyat kebanyakan.
Alasannya juga sederhana, pangsa pasar usaha saya adalah kalangan menengah ke bawah. Harganya juga murah meriah, yang penting hati sumringah. Bahagia.
Saya pernah bekerja di percetakan kertas, jual pakaian, ikan asin, atk, hingga alat-alat rumah tangga untuk dikreditkan atau arisan warga.
Saya juga mempunyai pengalaman yang lucu tapi konyol, ketika saya usaha jualan kantong plastik.
Saat mencari pelanggan baru, saya suka nongkrong di pasar tradisional mengamati truk barang. Ketika truk itu membawa barang yang dikemas plastik, saya lalu menanyakan alamat pabrik dan nomer telpon. Kendati bersikap sopan, saya sering dikira preman.
Ada pula tetangga yang menyebar isu saya sebagai pengangguran, karena hobi nongkrong di pasar itu. Atau, yang paling konyol adalah saat saya bersama teman menyegat motor gerobak roti. Kami dikira perampok. Padahal kami ingin membeli roti sambil menanyakan alamat pabrik.
Menurut Ayah, mencari uang itu yang penting ubet, ulet, dan ngirit. Kita harus rajin, tahan uji, hemat, dan senang menabung. Apapun usaha kita jangan berorientasi mencari untung besar agar kita tidak lengah, sehingga buntung (rugi). Lebih parah lagi, jika kita tertipu, dan bangkrut.
“Jangan suka pilih-pilih pekerjaan, tapi carilah pengalaman sebanyak mungkin, hingga kau temukan passionmu,” nasehat Ayah itu saya teruskan pada anak-anakku.
Intinya, kita ditantang untuk berani melakukan hal-hal baru. Jika sukses, kita tidak boleh lupa untuk memberdayakan sesama. Karena hidup kita adalah amanah. Urip iki urup, hidup itu harus bermakna.
Tetaplah semangat, dan bahagia.
Foto : Kate Trysh/Pixabay