Cerpen : Ayah

Di sana, dalam pekatnya malam, seraut wajah tertunduk lesu. Warna-warna cerah yang dulu membaluti tiap gerak dalam kehidupannya, seakan terkurung oleh hitamnya jelaga yang membaur dalam setiap kata dari bibirnya yang pucat. Hatinya kian merana, pikiran akan keruntuhan dan kehampaan terus bergejolak. Ia menanti apa yang ada dan tiada. Ia menanti tanpa bisa berkata-kata.

Sesungguhnya ia tahu akan masa-masa yang telah dilakukannya, sekuat apa pun ia bertahan, kegemparan itu akan muncul. Tak ada yang mengasihani, tak ada lagi sahabat, mereka yang dulu memuja berbalik menghujat, tapi itulah kehidupan, tak ada yang bisa ia sisipkan kepercayaannya pada siapa pun, tak ada. Kala image buruk itu kian berkumandang, baik yang berdosa maupun yang tidak berdosa akan ikut menghujat. Dalam sekejap mereka berubah menjadi manusia-manusia angkuh yang sudah memastikan hati mereka seputih salju dan merasa dosa mereka tak ada lagi.

Fakta yang ada tak bisa dipungkiri dan ia mengakui itu. Ia tak kuasa untuk mengelaknya, ia juga tak kuasa untuk menjelaskannya, karena dalam bibir kelunya, ia menyesali semuanya, sesal yang datang bersama semua hujatan yang terus memburu, memburu selama tapaknya masih memijak bumi. Ia kini terpuruk dalam perjalanan hidup yang tak pernah disangka akan begini akhirnya. Ia adalah ayahku…


Ayah duduk di sudut ruang tamu, di atas kursi goyang kuno peninggalan Kakek. Pipa kayu penghisap cerutu yang warnanya coklat tua bertengger di bibirnya. Tak ada asap yang keluar dari pipa itu, ayah sudah lama tidak mengisap cerutu lagi, sejak dioperasi by pass akibat terkena serangan jantung setahun lalu, ia menghentikan segala hal yang membuat tubuhnya menderita. Koran yang dipegangnya ia buka lembar demi lembar. Ketika lembar keempat, tepat di kolom berita, suara ayah terdengar tertahan, ia memanggilku dengan lemah. “Tania, ambilkan obat Ayah, cepat Naaak…”katanya sambil memegang dada kirinya.

Kehebohan terjadi dalam sekejap. Pagi yang tadinya riuh oleh ceracau burung dari pepohonan di halaman depan rumah, berganti dengan hiruk-pikuk menggemparkan dari suara-suara yang ada di dalam ruang tamu. Ibu tergopoh-gopoh menopang dan membangunkan ayah, aku memasukan pil-pil obat penyakit jantung ke mulutnya, adikku Jun repot telpon ke berbagai rumahsakit menanyakan ambulan untuk membawa ayah. Tampaknya kepanikkan itu membuat semuanya tidak lagi memikirkan mengapa penyakit jantung ayah tiba-tiba kumat hingga membuat dadanya berdentam-dentam, seperti tambur yang dipukul dengan kuatnya.

“Sudah, jangan panggil ambulan, aku sudah pulih!” kata ayah tiba-tiba. Ia mengangkat kepalanya dari pangkuan Ibu, matanya mengerjap, tangannya memegang dada kiri lalu ia menarik nafas panjang. “Berita itu, berita itu akhirnya muncul juga. Tania, tolong Ayah, hapus semua akun Ayah di Facebook, ganti no Handphone Ayah, untuk sementara jangan terima tamu. Tutup pintu, jika ada yang menanyakan Ayah, bilang sedang ke luar kota. Pokoknya tutup semua akses yang dapat menghubungkan Ayah dengan siapa pun!”

Setelah menarik nafas beberapa kali, di hadapan aku, ibu dan Jun adikku, ayah menyodorkan koran pagi yang tadi dibacanya:

Seorang sastrawan terkenal diadukan ke polisi oleh mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi. Sang mahasiswi yang tengah hamil 7 bulan itu, menuntut penyair berinisial ST untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mahasiswi berinisial RA menuntut penyair itu dihukum seberat-beratnya karena secara halus telah memperkosanya. Pemerkosaan terjadi tatkala sang mahasiswi tengah mendiskusikan tugas akhirnya di ruang kost sastrawan tersebut yang terletak di Jakarta Utara.

“Akhirnya, dia membeberkannya juga di media massa…” bisik ayah.

“Maksudmu?” selidik ibu.

“Aku khilaf, itu terjadi begitu saja. Kau jauh dariku dan aku kesepian. Sungguh, aku tidak erniat memperkosanya.” Ujar ayah serak.

Kami diam. Ibu berdiri perlahan, matanya tak lepas dari wajah ayah. Suasana tegang, kami menunggu episode berikutnya. Ibu penentu segalanya, akankah bencana ‘tsunami’ ini menjadi lebih dahsyat lagi atau berhenti hanya sampai di sini.

“Tidak berniat memperkosanya, itu berarti sebelumnya kau telah bermaksud buruk padanya. Hhh…namamu sudah diketahui semua orang kini. Kau bukan lagi sastrawan panutan dengan wajah welas asih yang mampu mengayomi sastrawan-sastrawati muda, tapi kau telah menghancurkan semua yang kau bangun dalam sekejap, kau tak bisa menahan libido liar yang menjalari kemaluanmu. Kau bodoh!” ucap ibu datar dan berwibawa.

Ucapan kata ‘bodoh’ yang dilontarkan ibu pada ayah membuat aku tersentak. Ibu, perempuan lembut, anggun dan terkesan pasrah itu, kini mengeluarkan taringnya. Kali ini kebodohan yang dilontarkan Ibu pada ayah memang benar. Ibu memandang ayah bagai seonggok laki-laki paruh baya, penyakitan yang hanya mampu berharap pertolongan darinya. Hilang sudah kecerdasan berpikir yang selama ini tercermin dari tulisan-tulisan ayah. Ia bagai sosok kayu usang tak bernyawa yang siap dibuang ke pembakaran sampah. Ayah telah menciptakan kehancurannya sendiri.

Bagai gunung es yang luruh perlahan-lahan, pada akhirnya es yang menjelma menjadi air itu menerjang apa saja yang ada di hadapannya. Gunung es itu mulai marah, ia menyirami ayah dengan lahar dingin yang teramat menusuk tulang belulang. Hujatan demi hujatan mulai bermunculan. Teman-teman ayah yang beberapa minggu lalu kerap datang ke rumah, lenyap tak berbekas. Tulian-tulisan bernada mengejek, menghina bahkan sumpah serapah bermunculan menit demi menit. Seluruh jalan untuk memperbaiki diri tertutup. Beragam media yang dulu kerap meminta karya-karya ayah membuat pengumuman bahwa mereka menarik tulisan-tulisannya dari pemuatan sebelumnya. Mereka menyatakan bahwa tulisan itu anggap saja tidak pernah dimuat.

Penjinah, pemerkosa, penipu, penjerat perempuan, peselingkuh, julukan-julukan itu kini mengganti gelar ayah. Seorang sastrawan kondang yang terhormat telah mengubah gelarnya menjadi sangat tidak terhormat. Jika para koruptor masih bisa tersenyum di balik pemberitaan ketika ia ditangkap dan dimasukkan ke penjara, ayah tidak. Ia meringkuk bersama penyakitnya dengan seluruh persendian tulang yang melemas. Koruptor dan pemerkosa memiliki kasus yang berbeda. Yang satu penjahat yang merugikan rakyat, satunya lagi penjahat yang tak bisa mengendalikan kelaminnya. Itu kata ibuku. Semua yang absurd menjadi bagian yang tak bisa terelakkan tatkala berita-berita pemerkosaan itu dilansir selama beberapa minggu di suratkabar-suratkabar ternama. Ayah kian terperosok dalam jurang hitam tanpa dasar.

“Kau tak bisa menahan nafsumu, kau merusak nama baikmu dan nama baik seluruh seniman dan budayawan di negeri ini.” Tegas Ibu.

Ayah membisu. Lelaki yang memasuki usia lima puluh tahun itu kian menua dalam hitungan menit. Dadanya naik turun, penyakit jantung koroner yang dideritanya sesekali membuatnya meringis. Aku iba. Biar bagaimanapun dia ayahku. Kesalahan telah menghamili seorang mahasiswi bagiku adalah kesalahan seorang pria yang tak bisa menahan nafsu syahwatnya, di luar itu, ia adalah ayah yang sangat menyayangiku. Aku dan Jun diperhatikannya melebihi ia memerhatikan dirinya sendiri. Kuingat bagaimana ayah berusaha sekuat tenaga agar aku tidak putus kuliah karena menunggak uang semester.

“Sabar Tania, jika novel ini selesai, Ayah akan ke Kuningan, di sana ada penerbit yang bersedia membayar kontan. Penerbit itu sudah janji, kau pasti bisa membayar uang kuliahmu, pasti!” atau “Jangan merasa rendah diri kau punya seorang ayah dengan profesi penyair. Ayahmu bukan pengangguran. Lihat, penghargaan-penghargaan yang Ayah peroleh, bukankah melalui penghargaan itu Ayah dan Ibumu kerap diundang ke luar negeri untuk ceramah? Pilihan menjadi penyair dan seniman itu bukan pilihan yang salah. Buktinya, sampai sekarang kau dan adikmu bisa kuliah serta tidak kekurangan sandang maupun pangan? Tataplah ayahmu Nak, jangan bersedih…”

Tangis itu menetes di pipiku. Ayah kian tersudut ketika namanya muncul di pemberitaan-pemberitaan di televisi. Inisial apa pun yang digunakan untuk mengganti nama aslinya orang akan tetap tahu dialah pelakunya. Kemudian, kisah ayah bagai penjahat kelas kakap yang mengkorupsi negeri ini puluhan milyar banyaknya. Bahkan ia memperoleh pedikat sebagai penjahat dengan kasta terendah. Pemerkosa! Ganjaran akan disiksa bila ia kalah di pengadilan dan masuk penjara kelak, serta penghakiman tanpa undang-undang sudah di depan mata. Kubayangkan tak mungkin ayah akan bertahan dengan terjangan bertubi-tubi dalam kondisi sakit jantung koroner. Tak mungkin.

“Ini bukan kali yang pertama. Kesalahan terbesar pada ayahmu selama kehidupan pernikahan kami adalah kegemarannya pada perempuan. Ia seperti mahluk dungu yang terperangkap dalam sikap jalangnya yang sulit terbendung.” Ujar ibu.

“Sejak kapan Ibu tahu Ayah seperti itu?”

“Satu tahun setelah pernikahan kami.”

“Mengapa Ibu mau menikah dengan Ayah? Cintakah Ibu padanya?”

“Ya, Ibu cinta. Itulah salah satu alasan mengapa Ibu membutakan mata dengan semua perilaku Ayahmu.”

“Apakah sebelum menikah Ayah sudah liar?”

“Dia flamboyan, memiliki banyak kekasih dan dicari para perempuan.”

“Ibu tahu itu, mengapa diam saja?”

“Karena ada kamu dan Jun.”

Jawaban itu langsung membuatku engan untuk bertanya lagi. Rasa pedih itu semakin menjurang. Namun hukum memang harusnya berjalan dengan semestinya. Ayah tetap ayahku, tak ada pasal atau dalil yang dapat memusnahkan hubungan darah antara anak dan ayah. Maka tatkala hukum itu menjeratnya, ayah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pasal 335 KUHP yang isinya tuduhan melanggar perbuatan tidak menyenangkan, kemudian merembet ke pasal 285 yang berisi tentang perkara perkosaan dan perbuatan cabul pada pasal 289, lengkap sudah semua itu membuat ayah kian terpuruk dan menerima eksekusi selanjutnya.

“Lambat atau cepat hukum akan menggiringku ke penjara.” Ayah menarik nafas panjang. “Aku harus menerimanya. Itu kesalahanku. Kesalahan yang kuperbuat pada perempuan itu, pada Ibumu juga pada kalian. Aku sudah berunding pada Ibumu untuk menikahinya. Tapi…perempuan itu menolaknya. Ia hanya ingin aku menyatakan kesalahanku di depan umum, mengakuinya di kepolisian, dan menyatakan permintaan maafku pada alamaternya serta rekan-rekan penyair…” ujarnya parau. Air mata penyesalan tampak mengumpul di sudut mata.

“Perempuan itu, ia…ia…yah tentu saja ia tak mau menikah dengan orang setuaku, penyakitan pula. Ia akan melahirkan anakku tanpa surat nikah yang sah. Orangtuanya pun menolak ketika kulamar anaknya. Mereka orang-orang yang bermartabat. Dan aku…”

“Kau pecundang berpenyakit jantung yang tak bisa menjaga nafsu liarmu. Kau tetap saja masih seperti dulu!” ketus suara Ibu terdengar.


Begitulah memang yang seharusnya terjadi. Apa pun bentuk pembelaan yang dilakukan ayah sudah tak bermakna lagi. Ia memang telah mencoreng wajahnya dengan jelaga hitam yang juga ia ciptakan sendiri. Jelaga itu teramat sulit untuk dicuci. Sisa-sisa kotorannya menempel erat seolah menyatu dengan kulit. Ayah telah menerima karmanya. Dunianya kini benar-benar kelam, kehancuran ada di ambang pintu.

“Ayah, ini adalah takdir yang kau buat sendiri. Kau harus perkasa menerimanya. Temui gadis itu, apa pun yang akan terjadi, aku selalu mendapingimu…” serak suaraku terdengar. “Kecamanan dan tuduhan-tuduhan yang memekakkan telinga terus memborbardir. Aku, Ibu dan Jun sudah tak tahan. Itulah jalan satu-satunya yang harus Ayah lakukan!”

Ayah membisu.

Lalu kisah ini tak selesai sampai di sini, pasa-pasal yang menguatkan ayah sebagai pemerkosa menariknya untuk mempertanggungjawabkan segalanya. Dunia telah mengadilinya, ia seorang sastrawan dengan nama yang cukup terkenal, dengan beragam penghargaan yang menghiasi dinding rumah, dengan penghormatan yang berlebih, pada akhirnya tersapu dalam sekejap, tersapu bersama desiran angin malam yang datang lamat-lamat dan penuh misteri.

“Benar kau akan di sampingku, Nak? Benar kau tak malu memiliki ayah seorang pemerkosa?”

Kuanggukkan kepalaku. “Pada dasarnya kau orang yang baik Ayah. Aku tahu itu, semua manusia bisa khilaf, kurasa ini ganjaran terakhir untuk Ayah, sekeluarnya dari penjara nanti, jadilah kau seperti Ayah yang selalu kukenal, Ayah yang aku cinta dengan setulus hati…”

Ayah menangis. Ketika para polisi menciduknya, aku, Jun dan Ibu menatap kepergiannya dengan segumpal harap, di sana dalam ruang berjeruji itu semoga ia memperoleh perlakuan yang layak, ia hanya seorang penjahat kelamin, bukan koruptor, ada banyak orang yang berbuat seperti dirinya dengan rahasia yang tersimpan rapi. Mungkin mereka tidak terkena tuduhan pemerkosaan, namun menjadikan mereka isteri kedua, ketiga, keempat, kelima, selingkuhan atau simpanan terselubung yang menutup rapat-rapat suara mereka dengan uang, jabatan dan kekuasaan atau nama besar. Di luar sana, banyak yang tersembunyi…

Oleh : Fanny Jonathan Poyk

Cerpen: Isteri Untuk Suamiku

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis