Sayangnya, akhir-akhir ini kesalahan, bahkan termasuk tindakan buruk kepada seseorang ‘mudah’ saja diselesaikan hanya dengan surat permohonan maaf dan janji untuk tidak melakukan lagi dengan tandatangan kedua belah pihak yang dibubuhi meterai.
Kata MAAF sedang hits seminggu ini terkait IdulFitri. Entah berapa kali kalimat ‘Maaf Lahir Batin’, atau ‘Maaf, bila ada salah kata, sikap, dan perbuatan’; diteruskan dalam pesan percakapan.Kita memosisikan diri meminta maaf kepada orang lain, atau justru di posisi menberi maaf atau memaafkan orang lain.
Tulisan ini, tidak khusus pembahasannya menurut keyakinan tertentu; melainkan dari sisi psikologi dan relasi dengan orang lain.
“Ya, udah berulangkali dia nyakitin gue. Awal-awal masih berusaha mengerti dia. Tapi gue nggak bisa lagi percaya sama kata-katanya!”
Atau
“Aku udah minta maaf, bahkan di depan umum. Tapi dia bilang sikapku itu hanya untuk pamer ke orang-orang aja, nggak tulus!”
Familiar dengan contoh di atas? Ada yang relate dengan diri sendiri?
Di suatu waktu, saya sempat berbagi di depan publik di mana ada narasumber, praktisi pelatihan untuk pikiran dan perasaan yang damai.
Saya bilang saat itu, “Jujur l saya sudah tak menganggap kejadian itu menganggu pikiran. Saya membuat jarak, meminimalisir interaksi juga. Tapi untuk benar-benar melupakannya sungguh sulit.”
Usai berbagi saya malah dikomentari sang praktisi, saya belum benar-benar memaafkan.
Malas untuk berdebat di hadapan publik, saya menganalisis sendiri. Proses memberi maaf dan memaafkan ini memang sangat personal. Perlu pemahaman betul untuk bisa mengerti bagaimana posisi orang yang mengalami.
Karena bisa saja hal itu traumatis. Mengancam nyawa, merugikan hidup, bahkan termasuk membuat kita kehilangan hal-hal yang dulunya kita miliki, termasuk keluarga atau teman.
Jadi, proses maaf dan memaafkan bukanlah l sekadar saling berucap kata saja.
Memaafkan tak berarti kita tahu-tahunya TETAP BERSAHABAT BAIK dengan orang yang telah berbuat salah kepada kita. Juga bukan bilang ke orang lain, oh AKU NGGAK APA-APA diperlakukan demikian.
Memaafkan bukan juga berarti kita MENERIMA KEHADIRAN, PERLAKUAN orang yang telah berperilaku buruk kepada kita. Akan tetapi memilih untuk menerima hal atau kejadian buruk itu memang SUDAH TERJADI, dibanding mengharapkan hubungan baik terjalin kembali atau kita baik-baik saja.
Memaafkan berarti juga kita membuat batasan termasuk jarak, sebagai bentuk apresiasi atas keberadaan orang tersebut, serta untuk menghindari konflik lebih lanjut.
Memaafkan juga berarti kita sadar untuk ‘hadir’ dalam situasi sekarang, bukan terus bertahan dengan kejadian-kejadian lalu.
Ketika saya renungkan dan melihat lagi fase ketika mengalami kejadian buruk, umumnya awal respons seketika adalah marah. Lalu, berangsur-angsur perasan dikhianati muncul. Adalah langka orang yang seketika membiarkan kejadian itu cuma jadi memori saja.
Mengapa marah dan berujung merasa dikhianati? Kalau saya pribadi, karena merasa sudah bersikap baik kepada orang tersebut, tetapi dia begitu.
Pada fase itu saya memegang prinsip, seharusnya bila seseorang sudah bersikap baik, akan mendapat reaksi yang baik juga.
Ketika berbeda, sekejap merasa dikhianati. Diingkari keyakinan saya yang tadi. Aksi baik harus selalu ekuivalen dengan reaksi baik.
Mungkin kepada anak-anak kita bisa mengatakan demikian, “Kalau kamu bersikap baik dengan teman, temanmu akan begitu juga terhadapmu.“ Namun, menginjak dewasa kita menyadari dunia berjalan tidak selalu demikian adanya.
Lama kelamaan keteguhan berpegang pada prinsip aksi baik = reaksi baik justru akan ‘berbahaya’. Karena kita bisa terlalu kecewa karena reaksi yang didapat tak selalu yang kita harap.
Meski para psikolog meyakinkan bahwa memaafkan itu sesederhana memilih melepaskan kemarahan dan sakit hati, tanpa memikirkan tindakan membalas seperti apa yang setara dengan yang dia lakukan; realitanya sulit.
Atau, sesimpel, “Sakit sih. Tapi, orang kayak gitu nggak usah dipedulikan. Toh hidup saya tak tergantung pada apa yang dilakukannya.”
Mudah? Jelas, tidak.
Perlu proses pemahaman dan waktu untuk memudarkan perasaan tidak terima atas apa yang telah terjadi, termasuk apa yang keliru dilakukan orang lain.
Sayangnya, akhir-akhir ini kesalahan, bahkan termasuk tindakan buruk kepada seseorang ‘mudah’ saja diselesaikan hanya dengan surat permohonan maaf dan janji untuk tidak melakukan lagi dengan tandatangan kedua belah pihak yang dibubuhi meterai.
Padahal bisa saja kasusnya berat, mempermalukan dan melukai hati. Besar anggapan saya, masyarakat ingin menunjukkan bahwa berjiwa besar menyelesaikan masalah dengan saling bermaafan, padahal faktanya tidak semua masalah bisa mudah diselesaikan hanya dengan surat permintaan maaf.
Mudah atau Sulit Meminta Maaf
Sepanjang usia saya, dua tipe manusia seperti ini selalu saja ada. Amati saja anak-anak ketika terjadi pertengkaran.
Anak yang mudah minta maaf, TIDAK SELALU berarti berkarakter baik. Temuan psikologi dari laman psychcentral.com; terlalu mudah meminta maaf bisa mengindikasikan anak atau orang tersebut, punya self esteem yang rendah, people pleaser, serta punya gangguan kecemasan. Seperti cemas bila ditinggalkan orang sekitar , memilih menghindari konflik bukan menghadapinya, termasuk juga gejala awal depresi.
Karena umumnya anak atau seseorang itu meminta maaf sebagai excuse agar kejadian terlupakan, dan orang lebih fokus pada permintaan maaf tadi.
Sebenarnya ketika kita menemukan individu yang berkarakter seperti ini, perlu diwaspadai juga apakah dia mengalami ‘kekerasan’ sejak kecil, di mana keluarga selalu memosisikannya sebagai korban yang tidak berdaya atau tidak berhak atas apapun.
Pada kasus lain, di mana bukan kekerasan yang terjadi, tetapi abandonement issues, sangat mudah individu itu melontarkan kata maaf, tanpa tendensi betul-betul meminta maaf dan menyadari kesalahan.
Penyebabnya dia cemas akan ‘ditinggalkan’ orang-orang atas perbuatannya. Jadi meski bukan kesalahan sepenuhnya, dia yang akan mengaku salah lebih dahulu saja, untuk menyelesaikan masalah.
Konsekuensi jangka panjangnya, ketika benar-benar individu tersebut tulus meminta maaf, orang lain sudah tidak peduli.
Temuan lain menunjukkan, dalam dunia dengan paham patriarki, perempuan lebih sering di posisi mudah meminta maaf. Umumnya karena merasa ragu apakah mereka tidak kompeten atau trampil, tidak yakin akan nilai dan sikap yang diambil, serta merasa perlu divalidasi akan kontribusinya dalam masyarakat.
Sebagai lanjutannya, anak atau dewasa lelakilah yang lebih sulit meminta maaf. Psikolog menemukan adanya pola asuh (lagi-lagi patriarki) yang selalu membenarkan tindakan yang dilakukan mereka.
Hal tersebut biasa bertujuan, menunjukkan lelaki punya privilese dalam keluarga, pola asuh yang memanjakan, berpegang alasan ‘ah, dia atau mereka masih anak-anak’, atau sebagai upaya mencegah anak tantrum, dalam arti orang tua tidak mau repot mengurusi terjadinya konflik.
Terbiasa bersalah tidak ditegur, tidak diajak diskusi bagaimana seharusnya; mendorong anak merasa dirinya selalu benar dan orang tua akan siap membelanya, apapun yang terjadi.
Tindakan sulit meminta maaf bila dibiarkan akan membentuk individu yang bias norma. Hal terburuk yang mungkin terjadi, apapun aturannya, selama orang tua atau keluarga membenarkan, dia akan menerobos saja segala rule itu.
Kesulitan meminta maaf yang cenderung dimiliki individu lelaki ini terkait dengan perasaan tidak berdaya, merasa kalah dan kehilangan kepopuleran, kecerdasan maupun status sosial ekonomi selama ini.
Meminta Maaf yang Tulus
Lalu, bagaimana seharusnya kita meminta maaf?
Langkah awalnya dengan mencerna hal yang terjadi dulu sebelum berkata. Pikirkan apa kesalahan itu akibat sikap atau tindakan kita, dan seberapa besar akibat yang ditimbulkan.
Lalu, lakukanlah meminta maaf kepada orang ybs. Bila dia tidak bisa memaafkan, terimalah dulu bahwa demikianlah konsekuensi dari tindakan kita.
Selanjutnya lakukan evaluasi dan perbaiki mana hal yang menyebabkan kesalahan. Sambil mempertimbangkan kemungkinan terburuk; hubungan dengan orang tersebut tidak akan sama lagi, berjauhan lebih baik, adanya batasan interaksi maupun tidak mau berhubungan lagi sama sekali.
Tentang hal yang terakhir, adalah hak dari masing-masing pihak untuk bagaimana bersikap.
Sebagai manusia, dengan pola asuh didik keluarga, agama, budaya, status sosial ekonomi berbeda tentu tergantung cara masing-masing dalam berjiwa besar, minta maaf maupun memaafkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, catatan penting bagi kita adalah TIDAK MEMINTA MAAF untuk :
– Mencintai dan menyayangi seseorang
– Menjadi diri sendiri, termasuk membuat batasan diri
– Berkata tidak
– Menikmati ME time yang pantas, termasuk membelanjakan diri sendiri
– Mendahulukan prioritas
– Mengakhiri hubungan yang toksik
– Ketidaksempurnaan diri
– Tidak mengetahui semua hal
– Tidak mengejar posisi sesuai ekspektasi orang lain
– Kesalahan yang dilakukan orang lain
– Berkata jujur, sesuai fakta
– Terlambat merespons menurut waktu yang ditentukan orang lain
Yuk, kita belajar mempraktikkannya.
Hadiah Lebaran Buat Ganjar dan Indonesia
Uang Digital ( CBDC) dan Nasib Uang Kripto
SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain